dc.description.abstract | Permintaan daging premium semakin meningkat seiring dengan pengembangan
sektor pariwisata dan industri, serta adanya perubahan gaya hidup masyarakat
menengah ke atas. Menurut Lunt et al. (2005), standard kriteria daging premium
didefinisikan secara kuantitatif adalah berasal dari sapi dengan umur potong maksimal
30 bulan, luas area mata rusuk minimal 15 inch2, dengan nilai keempungan Warner
Blatzler Share Force maksimal 3,3 kg/cm2 serta skor marbling minimal 3 atau
persentase marbling terhadap daging pada Longissimus dorsi adalah 25,8%. Lebih
detail lagi dijelaskan kriteria daging premium adalah memiliki skor warna daging
berada pada kisaran 2-6, dengan skor warna lemak maksimal adalah 4 dan kandungan
asam lemak tak jenuh tunggal (mono unsaturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh
ganda (poly unsaturated fatty acid) lebih dari 53% dari total lemak marbling. Kebutuhan
daging premium di Indonesia setiap tahunnya mencapai 9,58-14,37 ribu ton atau setara
dengan 10-15% kebutuhan daging nasional (Kementerian PPN/Bapenas-JICA, 2014).
Potensi pasar yang besar tersebut belum dapat dipenuhi oleh produksi sapi lokal
Indonesia, sehingga suplai kebutuhan daging premium didominasi dari impor sapi
bakalan dan daging beku, di antaranya dari bangsa sapi Angus dan Wagyu.
Sapi lokal pada umumnya digunakan untuk memasok pasar tradisional
(Halomoan et al. 2001). Kendala utama pemasaran sapi lokal adalah tidak bisa
memenuhi kebutuhan pasar khusus (hotel, restauran, katering, dan industri pangan
berbasis daging) karena kualitas daging yang bermutu rendah (alot). Berdasarkan hasil
Survey Karkas Nasional yang dilakukan oleh Fakultas Peternakan IPB (2012)
menunjukkan sebesar 84.9% sapi lokal dipotong dalam kondisi kurus-sedang dan
29.55% sapi dipotong pada umur diatas 3.5 tahun. Kondisi ini menyebabkan kualitas
daging sapi lokal rendah, sehingga perlu dilakukan pengembangan untuk meningkatkan
kualitas daging sapi lokal. dst ... | id |