Ekstraksi Protein Alergen dari Biji Kecipir, Belut Sawah dan Tutut untuk Pembuatan Reagen Uji Tusuk Kulit
Date
2022-06-03Author
Lusiana, Lusiana
Zakaria, Fransiska Rungkat
Prangdimurti, Endang
Wijaya, Hendra
Metadata
Show full item recordAbstract
Alergi pangan merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan yang
disebabkan oleh reaksi antibodi imunoglobin E (IgE) terhadap protein makanan.
Prevalansi jenis alergi terbilang tinggi terutama pada kelompok bayi dan anakanak usia dini. Gejala yang timbul akibat alergi pangan antara lain kulit
kemerahan dan gatal, bibir menebal, mual, diare, bersin, sulit bernafas, pusing
hingga pingsan. Untuk menghindari alergi tersebut, masyarakat cenderung
menghindari makanan yang diduga menimbulkan alergi, terutama makanan
berprotein tinggi secara menyeluruh sehingga dapat berdampak buruk bagi
pertumbuhan anak-anak karena keterbatasan sumber-sumber protein pangan.
Alergenitas protein pangan bersifat tidak menentu, dapat berubah sesuai dengan
jumlah, jenis dan kondisi protein serta kondisi fisiologis penderita alergi. Oleh
karena itu, diperlukan uji diagnosis alergi agar penderita, khususnya anak-anak,
dapat dipastikan protein penyebab alergi pada saat itu sehingga hanya secara
selektif menghindari pangan sumber protein alergen tersebut. Tes alergi yang
dilakukan untuk mengetahui jenis pangan yang menyebabkan seseorang tersebut
alergi pada saat itu adalah Skin Prick Test atau uji tusuk kulit. Pereaksi yang
digunakan untuk uji tusuk kulit adalah ekstrak protein pangan. Bahan pangan
yang digunakan adalah biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L), tutut
(Filopaludina javanica (von dem Busch, 1844)) dan belut sawah (Monopterus
javanensis La Cepéde, 1800). Ketiga jenis makanan lokal ini merupakan sumber
protein yang murah dan cukup melimpah di Jawa Barat sehingga anak-anak yang
tidak alergi terhadap protein-protein ini tidak perlu menghindari jenis makanan ini.
Sejauh ini belum ada penelitian yang spesifik membahas mengenai alergi ketiga
sampel bahan makanan tersebut. Pada penelitian ini, ekstraksi protein tutut dan
belut sawah menggunakan variasi beberapa macam ekstrak atau bufer.
Penggunaan pelarut yang sesuai berperan penting dalam proses ekstraksi protein
karena dapat meningkatkan rendemen dan aktivitas protein alergen yang
dihasilkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengekstraksi protein alergen dari biji
kecipir (segar dan rebus) pada titik isoelektriknya, serta tutut dan belut (segar dan
rebus) menggunakan berbagai bufer (bufer tris glisin/TG, bufer tris glisin
DTT/TGD, dan bufer posphate bufer saline/PBS) dan mengakarakterisasi ekstrak
protein alergen yang dihasilkan dengan uji elektroforesis SDS-PAGE,
immunoblotting dan ELISA menggunakan sera 10 subjek hasil seleksi, dan
menguji reaktivitas ekstrak protein biji kecipir, tutut dan belut sawah untuk
keperluan diagnosis alergi pangan dengan metode uji tusuk kulit pada subjek
penderita alergi pangan di klinik alergi.
Hasil ekstraksi protein biji kecipir segar (KS) menghasilkan rendemen
ekstrak protein sebesar 30.06%. Hasil ekstraksi protein biji kecipir rebus (KR)
menghasilkan rendemen ekstrak protein sebesar 1.41%. Hasil ekstraksi protein
belut sawah segar menggunakan bufer TG (BSTG) menghasilkan ekstrak protein
dengan rendemen sebesar 8.87%, belut sawah segar menggunakan bufer TGD
iv
(BSTGD) sebesar 4.92% dan belut sawah segar menggunakan bufer PBS
(BSPBS) sebesar 3.46%. Hasil ekstraksi protein belut sawah rebus menggunakan
bufer TG (BRTG) menghasilkan ekstrak protein dengan rendemen sebesar 3.60%,
belut sawah rebus menggunakan bufer TGD (BRTGD) sebesar 2.59% dan belut
sawah rebus menggunakan bufer PBS (BRPBS) sebesar 1.93%. Hasil ekstraksi
protein tutut segar menggunakan bufer TG, TGD dan PBS menghasilkan ekstrak
protein dengan rendemen masing-masing adalah sebesar 7.01%, 14.31% dan
4.84%. Hasil ekstraksi protein tutut rebus menggunakan bufer TG, TGD dan PBS
menghasilkan ekstrak protein dengan rendemen masing-masing adalah 4.54%,
4.14% dan 3.65%.
Profil protein yang dihasilkan dari biji kecipir segar sebanyak 11 pita (22
kDa-89 kDa), biji kecipir rebus sebanyak 9 pita (22 kDa-73 kDa). Belut segar
bufer TG memiliki fraksi protein sebanyak 16 pita (22 kDa-233 kDa), belut segar
bufer TGD sebanyak 6 pita (22 kDa-112 kDa) dan belut segar bufer PBS
sebanyak 16 pita (22 kDa-93 kDa). Tutut segar bufer TG memiliki 10 fraksi
protein (22 kDa-264 kDa), tutut segar bufer TGD dengan 9 fraksi protein (22
kDa-163 kDa), tutut segar bufer PBS memiliki 3 fraksi protein (24 kDa-33 kDa).
Belut rebus bufer TG memiliki 7 fraksi protein (24 kDa-267 kDa), belut rebus
bufer TGD terdeteksi sebanyak 10 fraksi protein (24 kDa-235 kDa), belut rebus
bufer PBS meemiliki 10 fraksi protein (24 kDa-297 kDa). Tutut rebus bufer TG
memiliki 4 fraksi protein (24 kDa-141 kDa), tutut rebus bufer TGD memiliki 5
fraksi protein (24 kDa-67 kDa), tutut rebus bufer PBS memiliki 2 fraksi protein
yatu 24 kDa dan 26 kDa.
Hasil ELISA IgE total dari sera 10 subjek hasil seleksi yang berpartisipasi
pada penelitian ini menunjukkan bahwa semua subjek merupakan penderita alergi
dengan kadar IgE total berkisar antara 0.068 dan 0.607 OD. Dari hasil IgE
spesifik dari subjek juga menunjukkan hasil yang positif sehingga bisa
disimpulkan bahwa semua subjek memiliki alergi terhadap protein dari semua
komoditi yang digunakan pada penelitian ini. Immunoblotting dapat mendeteksi
fraksi protein spesifik yang dapat menimbulkan alergi terhadap penderita alergi.
Dari hasil analisis immunoblotting dari sera 10 subjek pada fraksi protein kecipir
segar menunjukkan satu fraksi protein berikatan positif dengan IgE pada subjek 1
(24 kDa), satu fraksi protein dari subjek 5 (219 kDa), dua fraksi protein dari
subjek 7 (23 kDa dan 29 kDa) dan satu fraksi protein dari subjek 9 (17 kDa). Pada
kecipir rebus, dua fraksi protein berikatan positif dengan IgE pada subjek 7 (24
kDa dan 31 kDa) dan subjek 8 (23 kDa dan 31 kDa). Hasil immunoblotting dari
sera 10 subjek pada fraksi protein belut sawah, satu fraksi protein berikatan
positif dengan IgE pada subjek 2 yaitu BSPBS (101 kDa), tiga fraksi protein pada
subjek 4 (BSPBS 78 kDa, BSTGD 25 kDa dan BSTG 25 kDa) dan pada subjek 8,
dua fraksi protein BSTGD (23 kDa dan 29 kDa), satu fraksi protein BSPBS (51
kDa), satu fraksi protein BRTG (23 kDa), dan satu fraksi protein BRTGD (23
kDa). Hasil immunoblotting dari sera 10 subjek pada protein tutut menunjukkan
fraksi protein berikatan positif dengan IgE pada subjek 1 yaitu satu fraksi protein
TSPBS (167 kDa), dua fraksi protein TSTG (28 dan 120 kDa), dua fraksi protein
TSTGD (29 kDa dan 125 kDa), untuk subjek 2 yaitu dua fraksi protein TSTG (25
kDa dan 67 kDa), dua fraksi protein TSTGD (64 kda dan 384 kDa), lima fraksi
protein TSPBS (23 kDa, 24 kDa, 29 kda, 105 kDa dan 273 kDa), fraksi protein
yang berikatan positif pada subjek 3 yaitu satu fraksi protein TSTG (97 kDa), dua
v
fraksi protein TSTGD (97 kDa dan 117 kDa), satu fraksi protein TSPBS (98 kDa),
dan dua fraksi protein TRTG (107 kDa dan 137 kDa), fraksi protein yang
berikatan positif dengan IgE pada subjek 4 yaitu tiga fraksi protein TSTG (25 kDa,
87 kDa dan 489 kDa), tiga fraksi protein TSTGD (25 kDa, 94 kDa dan 501 kDa),
tiga fraksi protein TSPBS (24 kDa, 100 kDa dan 450 kDa), satu fraksi protein
TRTG (25 kDa), satu fraksi protein TRTGD (25 kDa) dan satu fraksi protein
TRPBS (24 kDa), fraksi protein yang berikatan positif dengan IgE pada subjek 5
yaitu satu fraksi protein TSTG (28 kDa), TSTGD (28 kDa), TSPBS (26 kDa), tiga
fraksi protein TRTG (22 kDa, 23 kDa dan 29 kDa), satu fraksi protein TRTGD
(28 kDa) dan satu fraksi protein TRPBS (26 kDa), fraksi protein yang berikatan
positif dengan IgE pada subjek 6 yaitu satu fraksi protein TSTG (77 kDa),
TSTGD (66 kDa), dua fraksi protein TSPBS (24 kDa dan 62 kDa), subjek 8 yaitu
satu fraksi protein TSTG (145 kDa), TSTGD (138 kDa),dan fraksi protein yang
berikatan positif dengan IgE pada subjek 9 satu fraksi protein TSTG (61 kDa),
dua fraksi protein TSTGD (21 kDa dan 68 kDa), dan satu fraksi protein TSPBS
(74 kDa).
Hasil uji tusuk kulit untuk semua sampel pada semua subjek
memperlihatkan hasil yang bervariasi dari +1 sampai +4. Beberapa subjek
menunjukkan hasil yang negatif pada uji tusuk kulit walaupun dari hasil IgE
spesifiknya terhadap sampel tersebut positif. Ukuran bentol pada uji tusuk kulit
yang mengandung protein tutut lebih besar daripada ukuran bentol pada sampel
protein belut. Ukuran bentol pada protein tutut mencapai +4 pada beberapa subjek,
sedangkan pada protein belut hanya mencapai ukuran +3 pada beberapa subjek.
Hal ini dikarenakan tidak semua fraksi dalam ekstrak protein bersifat alergen,
demikian pula reaksi pada masing-masing subjek bisa berbeda terhadap protein
yang sama.