Show simple item record

dc.contributor.advisorFauzi, Akhmad
dc.contributor.advisorFaridha
dc.contributor.advisorMulatsih, Sri
dc.contributor.authorWijayanto, Hudha
dc.date.accessioned2022-04-22T06:37:27Z
dc.date.available2022-04-22T06:37:27Z
dc.date.issued2022
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/111652
dc.description.abstractBioetanol adalah etanol (etil alkohol) yang diproduksi dari tumbuh-tubuhan sebagai bahan baku. Beberapa tanaman yang bisa dijadikan feedstock bioetanol generasi pertama adalah tebu, jagung, shorgum manis, sagu, nira aren, , nira lontar dll. Melalui proses untuk menghilangkan kadar air (unhydrous) didalam alkoholnya, bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati (biofuel) menjadi substitusi bahan bakar minyak jenis bensin (gasoline). Berdasarkan Food & Agricultural Policy Research Institute (FAPRI), produksi bioetanol di dunia pada tahun 2019 mencapai sekitar 129 juta Kilo Liter (KL). Amerika Serikat dan Brazil adalah negara-negara produsen bioetetanol terbesar dengan 59,72 juta KL (USA) dan 35, 17 Juta KL (Brazil). Karakter bioetanol sebagai energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan sebagai bahan bakar di sektor transportasi, menjadikan International Energy Agency (IEA) mengembangkan peta jalan teknologi yang diperlukan agar target pengurangan CO2 global menjadi 50% pada tahun 2050 tercapai. Pada saat itu biofuel khususnya bioetanol diharapkan punya kontribusi sebesar 27% dari bahan bakar transportasi dunia dari hanya sekitar 3% saat ini. Di Indonesia pemanfaatan biofuel termasuk bioetanol mulai diregulasi melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) No. 32 Tahun 2008 kemudian mengatur mandatori pentahapan minimal pencampuran bioetanol kedalam bahan bakar minyak sebesar 20% pada tahun 2005. Setelah 13 tahun sejak Permen mandatori tersebut diundangkan, implementasi bioetanol masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terimplementasi secara berkelanjutan. Beberapa penelitian yang dilakukan sudah menjelaskan potensi besarnya pengembangan bioetanol di Indonesia, beberapa diantaranya juga merekomendasikan pemanfaatannya melalui dukungan skema insentif yang juga dilakukan oleh negara-negara yang sukses mengembangkan bioetanol, namun belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Penelitian ini mencoba untuk menggunakan pendekatan Gibson et.al. dalam konsep keberlanjutannya, dimana disampaikan bahwa perlu 9 komponen esensial yang mesti diimplementasikan yaitu: 1). Berbeda dengan pemikiran dan praktikpraktik konvensional; 2). Menyangkut well-being jangka pendek dan jangka panjang; 3). Komprehensif; 4). Menyadari keterkaitan dan ketergantungan antara manusia dan alam; 5) Menyadari kompleksitas sistem dan perlunya prinsip-prinsip kehati-hatian; 6). Menyadari keterbatasan dan menyumbang inovasi; 7) Proses yang terbuka; 8) keterikatan cara dan tujuan; dan 9). Universal dan “context-dependent”. Untuk mencapai komponen-komponen tersebut maka tujuan penelitian adalah : 1) Mengidentifikasi, variabel-variabel utama sistem pengembangan bioetanol, memetakan hubungan antara variabel-variabel tersebut, dan menjelaskan rantai sebab akibat sistem; 2). Mengidentifikasi dan menganalisis kekuatan antar stakeholder serta mengeksplorasi kesamaan dan perbedaan pandangannya terhadap permasalahan dan tujuan pengembangan bioetanol; dan 3). Menganalisis rencana kebijakan berdasarkan interaksi atas alternatif program, kebijakan, dan skenario untuk mencapai tujuan terbaik di masa datang. Penelitian menggunakan tiga metode analisis, yaitu metode Matrix of Cross Impact Multiplications Applied to a Clasification (MICMAC), Method Acteurs, Objective, Rapports de Force (MACTOR), dan Multicriteria Policy (MULTIPOL). Ketiga metode tersebut adalah modul-modul dari paket prospektif analisis “La Prospective” oleh Laboratoire d' investigation en Prospective, strategie et Organisation (LIPSOR). Sementara dipilihnya bioetanol berbasis molases (tetes tebu) di Jawa Timur sebagai studi kasus didasarkan pada 2 pertimbangan. Pertama terkait fakta di lapangan dimana pada saat ini industri bioetanol grade bahan bakar (fuel grade) yang masih beroperasi di Indonesia hanyalah yang berbasis molases dan yang berlokasi di Jawa Timur. Pertimbangan kedua adalah bahwa pada tahun 2019 sempat direncanakan oleh KESDM dan Pemerintah Daear Jawa Timur bahwa implementasi mandatori bioetanol nasional akan dimulai dengan program E2 di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengembangan bioetanol berbasis molases di Jawa Timur, koordinasi antar stakeholder, insentif industri bioetanol, dan subsidi bioetanol merupakan faktor-faktor utama yang punya potensi tinggi untuk mempengaruhi faktor-faktor lain baik pada masa sekarang maupun pada masa depan, sementara faktor kemandirian energi merupakan faktor yang paling punya ketergantungan terhadap faktor-faktor lainnya. Analisis kebijakan yang bisa dilakukan berdasarkan hal ini adalah bahwa untuk mendapatkan kemungkinan pengembangan bioetanol yang lebih baik, diperlukan regulasi yang bisa mensinergikan para stakeholder melalui aturan lebih tinggi daripada Peraturan Menteri yang bisa mengikat semua stakeholder. Regulasi setingkat Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah akan sangat membantu mewujudkan program mandatori bioetanol. Analogi yang tepat untuk hal ini adalah dengan melihat bahwa keberhasilan mandatori biodiesel tidak bisa lepas karena dukungan regulasi UU Perkebunan dan turunannya. Sementara itu aktor kunci yang punya pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah terhadap aktor lain adalah Kementerian Perekonomian, Kementerian keuangan, dan Badan Usaha Bioetanol. Hal ini menjadi penguat atas hasil analisis struktur diatas bahwa persepsi stakeholder sudah cukup konsisten. Kemenko perekonomian adalah aktor yang bertanggung jawab pada koordinasi stakeholder, Kementerian keuangan adalah aktor penting untuk terlaksananya subsidi bioetanol, dan Badan Usaha bioetanol adalah aktor terpenting pada industri bioetanol. Hasil penelitian lain yang didapatkan adalah bahwa seluruh stakeholder setuju dengan tujuan pengembangan bioetanol untuk mendorong perekonomian wilayah, sedangkan untuk tujuan mendorong peningkatan pemanfaatan produk samping gula mendapatkan nilai persetujuan tertinggi . Kementerian perdagangan menjadi satusatunya aktor yang cenderung tidak setuju dengan tujuan pemanfaatan produk samping gula ini. hal ini wajar mengingat bahwa mollases adalah komoditas ekspor yang menjadi salah satu Indikator Kinerja Utama Kementerian Perdagangan. Regulasi yang ada di Indonesia saat ini seakan terpisah, Badan usaha bioetanol sering merasa kesulitan mendapatkan sumber pasokan bahan baku molasses selain karena ketersediaan di pasar domestik terbatas juga harga beli yang cenderung tinggi dan tidak stabil sehingga ketika di sisi hilir seperti KESDM dan BU BBM ingin mendapatkan harga bioetanol yang lebih rendah agar bisa dibandingkan dengan harga BBM menjadi sulit didapat. Untuk itu implikasi kebijakan yang bisa ditempuh mengatasi hal ini adalah diperlukannya studi lanjut yang komprehensif tentang perbandingan keuntungan dan kerugian secara nasional antara pemanfaatan molasses sebagai komoditi ekspor versus penggunaan untuk domestik sebagai bahan baku bioetanol atau produk industri lainnya. Hasil penelitian terkait tentang strategi pengembangan yang didapatkan, bahwa suatu perencanaan partisipatif yang tepat dapat mendukung pengambilan keputusan untuk pengembangan bioetanol berkelanjutan berbasis molases di Jawa Timur. Peran stakeholder lokal tentang kontribusi sumber daya lokal untuk pengembangan program nasional, dapat ditingkatkan disini untuk pemilihan skenario, kebijakan, dan program pengembangan bioetanol. Hasil kerangka kerja yang didapatkan pada penelitian ini terlihat cukup menjanjikan karena pendekatan partisipatif telah membentuk dasar untuk saling memahami rasa, nilai, visi dan pandangan lokal, serta penggabungannya kedalam proses perencanaan dan hasil yang ingin didapatkan. Dimulai dari Skenario 1: Pengembangan bioetanol berdasarkan mandatori, masih dianggap lebih baik sebagai tujuan pengembangan bioetanol dibandingkan skenario 2 yang mengedepankan pengembangan bioetanol berdasarkan voluntary. Baik dipilih skenario 1 maupun skenarrio 2, maka pilihan kebijakan P2 Bioetanol sebagai Public Service Obigation (PSO) menjadi yang terbaik disusul dengan kebijakan P1: Komersialisasi bioetanol, dan P5: Bioetanol untuk perbaikan neraca berjalan. Sementara program/actions yang dapat mendukung terlaksananya kebijakan dan skenario tersebut adalah A4: Pembangunan Sarfas Distribusi, A5: Penyediaan subsidi bioetanol , dan A9: Regulasi pemanfaatan dan penyerapan produk bioetanol.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleAnalisis Keberlanjutan Pengembangan Bahan Bakar Nabati Bioetanol Indonesia (Studi Kasus Berbasis Molases Di Jawa Timur).id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordfirst-generation bioethanolid
dc.subject.keywordsustainable developmentid
dc.subject.keywordstructural analysisid
dc.subject.keywordactor analysisid
dc.subject.keywordstrategy developmentid
dc.subject.keywordprospective analysisid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record