Show simple item record

dc.contributor.advisorGuhardja, Edi
dc.contributor.advisorRifai, Mien A.
dc.contributor.advisorSupriyanto
dc.contributor.advisorSukamo, Nampiah
dc.contributor.authorWulandari, Arum Sekar
dc.date.accessioned2022-02-07T00:14:06Z
dc.date.available2022-02-07T00:14:06Z
dc.date.issued2002
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/111043
dc.description.abstractMelinjo (Gnetum gnemon L.) merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki nilai ekonorni yang tinggi dan potensial untuk dikembangkan. Selain G. gnemon, ada 13 jenis melinjo yang terdapat di Indonesia dan sebagian diantaranya menjadi koleksi Kebun Raya Bogor. Secara alarni, tanarnan melinjo dapat berasosiasi dengan jamur ektomikoriza Scleroderma sinnamariense Mont., dan tubuh buah muda dari jamur ini juga dapat dimakan. Jenis Scleroderma yang lain yang sering dan banyak ditemukan di Indonesia adalah Scleroderma columnare Berk. & Br. (berasosiasi dengan tanarnan dipterocarp) dan Scleroderma dictyosporum Pat. (berasosiasi dengan tanarnan Pinus merkusii). Banyak manfaat yang dapat diperoJeh dari tanarnan melinjo dan asosiasinya dengan ektomikoriza di alarn tetapi sedikit yang meneliti mengenai masalah tersebut. Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1996 sarnpai 1999. Penelitian ini terdiri dari beberapa percobaan, yaitu: (1) Uji kompatibilitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya dilakukan inokulasi buatan Scleroderma spp. untuk mendapatkan bibit melinjo berrnikoriza; dan untuk mengetahui pengaruh waktu inokulasi, jenis jarnur, jenis tanah, bent uk inokulum, dan asal lokasi inokulum terhadap efektivitas dan infektivitas dari ektomikoriza yang dihasilkan. (2) Morfologi dan anatorni ektomikoriza. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi dan anatorni akar G. gnemon yang terinfeksi oleh S. sinnamariense, S. co/umnare, dan S. dictyosporum. Hasil yang diperoleh dari sintesis ektomikoriza di rumah kaca digunakan sebagai panduan untuk mengamati perubahan morfologi dan anatomi ektomikoriza pada Gnetum spp. yang menjadi koleksi Kebun Raya Bogor. (3) Induksi tubuh buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh faktor lingkungan (suhu) dan nutrisi terhadap pembentukan tubuh buah S. sinnamariense. Bibit melinjo yang digunakan dikembangkan dari benih, stek pucuk, dan bibit cabutan. Biji yang disemai berasal dari I pohon induk melinjo yang berlokasi di Darrnaga, Bogor. Bahan stek diambil dari pohon induk yang berumur 10 tahun dari perkebunan melinjo yang berlokasi di Cibedug, Bogor. Bibit cabutan yang digunakan diambil dari Carita, Jawa-Barat. Jamur ektomikoriza yang digunakan S. sinnamariense, S. co/umnare, dan S. dictyosporum. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah:pasir:kompos dengan perbandingan 1: 1: 1 (v/v/v). Perbanyakan tanaman melinjo dengan menggunakan biji dilakukan dengan cara menyemai biji dalam bak kecambah berisi media pasir; sedang perbanyakan dengan stek dilakukan dengan cara memotong bahan stek dengan kemiringan ± 60°, kemudian ditanam pada pot plastik yang berisi media tanam dan diberi sungkup. Untuk uji kompatibilitas, bibit melinjo yang sudah mempunyai akar lateral dipindahkan ke dalam polibag dan diinokulasi dengan inokulumjamur. Pada percobaan morfologi dan anatomi, proses pembuatan preparat awetan dilakukan dengan metode parafin (Sass,1958). Percobaan renjatan suhu dilakukan dengan cara menempatkan bibit melinjo yang pada awalnya ditumbuhkan dalam rumah kaca dengan suhu rata-rata 28.2°C, kemudian dipindahkan dalam ruangan bersuhu 26°C selama 3 minggu, dan kemudian dipindahkan lagi ke rumah kaca dengan suhu 28-30°C. Perbanyakan tanarnan melinjo dengan menggunakan biji menghasilkan persentase perkecambahan biji sebesar 13% dalam jangka waktu 6 - 20 bulan sejak disemai. Perbanyakan tanaman melinjo dengan menggunakan stek pucuk mempunyai tingkat keberhasilan 21.40% (stek bertunas dan berakar) dan 41.54% (stek bertunas) dalam jangka waktu 3 - 6 bulan sejak stek ditanam. Inokulasi buatan S. sinnamariense dapat dilakukan pada bibit melinjo untuk memperoleh bibit yang berrnikoriza. S. columnare yang diambil dari asosiasi dengan dipterocarp dan S. dictyosporum yang diambil dari asosiasi dengan Pinus merkusii juga dapat berasosiasi dengan bibit melinjo. Inokulasi jamur ektomikoriza masih dapat dilakukan pada bibit melinjo yang berumur 16 bulan, namun untuk mendapatkan bibit yang terkolorusasi dengan baik oleh ektomikoriza, sebaiknya bibit melinjo diinokulasi pada umur 1 bulan. Adanya asosiasi ektomikoriza S. sinnamariense dan S. dictyosporum pada akar melinjo dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo, sedang asosiasi dengan ektomikoriza S. columnare tidak meningkatkan pertumbuhan bibit. Perbedaan jerus tanah tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan ektomikoriza S. sinnamariense dan S. dictyosporum; dan pertumbuhan bibit melinjo. Berbagai bentuk formulasi inokulurn jamur ektomikoriza dapat digunakan untuk menginokulasi bibit me~o dengan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan bibit dan persentase kolorusasi S. sinnamariense pada akar. Tubuh buah S. sinnamariense yang berasal dari beberapa lokasi (berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut) dan digunakan sebagai sumber inokulum untuk menginokulasi bibit meiinjo, menghasilkan ektomikoriza yang tidak berbeda nyata dalam hal efektivitas dan infektivitasnya. Ektomikoriza yang terbentuk pada akar meiinjo yang berasosiasi dengan ketiga jenis Scleroderma mempunyai persamaan dan perbedaan ciri morfologi dan anatorni. Persarnaan ciri morfologi dan anatominya adalah: ketiganya menghasilkan percabangan monopodial; infeksi hanya terjadi sampai batas epidermis; epidermis memanjang secara radial (Radially Elongated Epidermis CellsIREEC); dan pada infeksi awal Hartig net hanya terdiri dari 1 lapis sel. Secara morfologi, S. sinnamariense dapat dibedakan dengan S. columnare, S. dictyosporum dari wama ektomikoriza yang terbentuk. Ektomikoriza S. sinnamariense berwama kuning, sedang S. columnare, S. dictyosporum berwama putih. S. columnare dapat dibedakan dari S. dictyosporum bila ektomikoriza yang terbentuk dicuci dengan air, S. dictyosporum menjadi seperti kapas basah dan butiran tanah yang meiekat di sekitar ektomikoriza sukar hilang. Secara anatorni, S. sinnamariense dapat dibedakan dengan S. columnare, S. dictyosporum dari mantel yang terbentuk. Mantel S. sinnamariense tidak mempunyai jaringan plektenkima dan terdiri dari 2 lapis jaringan pseudoparenkima, sedang mantel S. columnare, S. dictyosporum terdiri dari 1 lapis jaringan plektenkima dan 2 lapis jaringan pseudoparenkima. S. columnare dapat dibedakan dari S. dictyosporum pada bagian jaringan pseudoparenkima di lapisan tengah mantel. S. columnare bentuk jaringan pseudoparenkimanya tidak beraturan dan memanjang secara transversal, sedang S. dictyosporum memanjang secara longitudinal. Perlakuan renjatan suhu yang dilakukan dalam penelitian ini rnenghasilkan pembentukan tubuh buah S. sinnamariense pada bibit melinjo. Selama 16 rninggu pengamatan, ukuran tubuh buah S. sinnamariense yang dihasilkan berkisar 2-8 mrn dengan berat kering 0.5-102 mg. Ukuran ini 10 kali lebih kecil dari ukuran normal tubuh buah yang dihasilkan dl alam. Spora yang masak hanya terbentuk jika tubuh buah yang dihasilkan berukuran lebih dari 10 mm. Penambahan pupuk nitrogen dalam perJakuan renjatan suhu mengurangi jurnlah dan ukuran tubuh buah S. sinnamariense yang dihasilkan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subjectBogor Agricultural University (IPB)
dc.titleBeberapa Gatra Biologi Ektomikoriza Scleroderma pada Melinjoid
dc.typeDissertationid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record