Show simple item record

dc.contributor.advisorKartodihardjo, Hariadi
dc.contributor.advisorSaleh, Muhammad Buce
dc.contributor.advisorNurwadjedi, Nurwadjedi
dc.contributor.authorMunajati, Sri Lestari
dc.date.accessioned2022-01-26T07:54:44Z
dc.date.available2022-01-26T07:54:44Z
dc.date.issued2022
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/110816
dc.description.abstractPerubahan penutupan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satu upaya untuk mendukung penataan ruang yang ramah lingkungan adalah dengan memasukkan nilai jasa ekosistem ke dalam mekasnismenya. Komponen jasa ekosistem terdiri dari dua aspek, yaitu: (1) perubahan penutupan lahan untuk menilai fluktuasi kualitas lingkungan; dan (2) faset lahan untuk menilai daya dukung lingkungan. Peran kelembagaan merupakan penentu dalam pengelolaan lingkungan, termasuk dalam hal penataan ruang. Aspek kebijakan dan regulasi dalam sebuah kelembagaan memegang peranan penting karena memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga dapat membatasi dan mengontrol peran semua pihak dalam mengelola sumber daya, termasuk lahan. Di samping itu, peran aktor yang berinteraksi dalam kerangka kebijakan dan regulasi tersebut juga sangat menentukan kinerja dari sebuah pengelolaan sumber daya. Namun demikian di lapangan seringkali ditemukan adanya tumpang tindih aturan dan pemahaman pemangku kepentingan yang berbeda-beda, yang merupakan tantangan utama dalam melakukan pengelolaan lahan yang baik, terutama yang berbasis konsep jasa ekosistem. Dengan demikian, analisis kelembagaan yang didukung oleh analisis spasial untuk pengelolaan lahan berbasis jasa ekosistem perlu dilakukan untuk penataan kelembagaan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan input perbaikan pengaturan kelembagaan pengelolaan lahan berdasarkan tolok ukur jasa ekosistem di Kabupaten Bogor agar perubahan penutupan lahan dapat dikendalikan. Tujuan penelitian tersebut dicapai melalui tujuan spesifik sebagai berikut: (1) Menganalisis kinerja jasa ekosistem; (2) Menganalisis kinerja kelembagaan perubahan penutupan lahan berdasarkan tolok ukur jasa ekosistem; dan (3) Merumuskan opsi perbaikan kelembagaan pengelolaan lahan berdasarkan kinerja jasa ekosistem. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) peta RBI skala 1:25.000 tahun 2000; (2) Citra SPOT 4/6/7 tahun 2009, 2010, 2011 dan 2017; (3) Peta faset lahan skala 1:25.000; dan Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS) resolusi 8m. Peta RBI diekstraksi sehingga diperoleh peta penutupan lahan tahun 2000. Citra SPOT diinterpretasi secara visual untuk mendapatkan peta penutupan lahan tahun 2010 dan 2017. Peta faset lahan skala 1:25.000 divalidasi menggunakan DEMNAS dan SPOT 6/7. Survei lapangan dilakukan untuk validasi peta penutupan lahan dan faset lahan serta dilakukan wawancara mendalam. Selanjutnya untuk menentukan aktor yang terlibat langsung dan berpengaruh terhadap atau dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan dilakukan wawancara dengan metode snowball sampling. Analisis jasa ekosistem menggunakan pendekatan proxy penutupan lahan dan faset lahan yang direpresentasikan dengan Indeks Jasa Ekosistem (IJE). Perhitungan IJE dilakukan melalui penilaian dan pembobotan oleh para ahli (expert judgment) terhadap penutupan lahan dan faset lahan pada lima fungsi jasa ekosistem yaitu penyediaan pangan, penyediaan air bersih, pengaturan tata aliran air dan banjir, rekreasi dan ekoturisme dan pencegahan bencana. Penilaian dan pembobotan dihitung menggunakan analytical hierarchy process (AHP) atau proses hirarki analitik dengan metode perhitungan pairwise comparison. Untuk mengetahui kinerja jasa ekosistem dilakukan penghitungan perubahan IJE pada tahun 2000-2010 dan 2010-2017. Selanjutnya, analisis deskriptif eksploratif berdasarkan kerangka kerja Institutional Analysis and Development (IAD) dilakukan untuk menganalisis kelembagaan perubahan penutupan lahan berbasis jasa ekosistem. Analisis aktor dilakukan menggunakan kerangka analisis Grimble (1998), Bundle of Power dari Ribot dan Peluso (2003) dan Reed et al. (2009) melalui matriks kepentingan dan pengaruh aktor. Hasil analisis kinerja jasa ekosistem menunjukkan bahwa secara akumulatif nilai IJE Kabupaten Bogor pada tahun 2000, 2010 dan 2017 didominasi oleh kelas rendah hingga sedang dengan presentase lebih dari 60%. Kinerja jasa ekosistem mengalami kenaikan dan penurunan, namun penurunannya lebih besar dibandingkan kenaikannya. Penurunan terjadi baik di private property maupun state property, namun di arena private property penurunannya lebih tinggi dibandingkan di arena state property. Penurunan jasa ekosistem di private property lebih sulit untuk dikendalikan karena semua lahan milik masyarakat. Pemerintah tidak memiliki bargaining power yang kuat untuk mengendalikan perubahan penutupan lahan di private property yang menyebabkan turunnya jasa ekosistem. Hasil analisis aktor menunjukkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bupati Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan perusahaan tambang merupakan pemangku kepentingan yang mempunyai pengaruh dan kepentingan tinggi pada state property. Sedangkan pada private property, aktor yang paling berpengaruh dan berkepentingan tinggi adalah masyarakat pemilik lahan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Bupati, Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan Dinas Lingkungan Hidup. Untuk mengurangi dampak penurunan jasa ekosistem maka dapat dilakukan beberapa input perbaikan kelembagaannya. Input perbaikan kelembagaan dalam perubahan penutupan lahan berbasis jasa ekosistem untuk state property adalah dengan melakukan desentralisasi atau devolusi pengelolaan sumber daya. Sementara itu, input perbaikan kelembagaan pada private property dengan melakukan pendataan ulang sumber daya dengan menggunakan teknologi, pemberian isentif-disinsentif dan memberlakukan rekayasa sosial dengan rekayasa hak kepemilikan lahan privat (private property) menjadi pengelolaan bersama (common property).id
dc.description.abstractChanges in land cover due to uncontrolled population growth could cause environmental damage. One of efforts to support environmentally friendly spatial planning is by incorporating value of ecosystem services into its mechanism. The ecosystem services component consists of two aspects, namely land cover changes for assessing fluctuations in environmental quality, and land facets for assessing the carrying capacity of the environment. Aspects of policy and regulation in an institution play an important role because they have binding legal force. In addition, the role of interacting actors in the policy and regulatory framework also greatly determines performance of a resource management. However, overlapping rules and understanding of different stakeholders is often found in reality, which is become the main challenge in implementing good land management, especially those based on the concept of ecosystem services. Thus, institutional analysis supported by spatial analysis for land management based on ecosystem services needs to be carried out for better institutional arrangement. This study aims to provide input for improving land management institutional arrangements based on ecosystem services benchmarks in Bogor Regency for controlling land cover changes. The research objectives were achieved through the following specific objectives: (1) Analyzing the performance of ecosystem services; (2) Analyzing the institutional performance of land cover change based on the benchmark of ecosystem services; and (3) Formulating options for improving land management institutions based on ecosystem service performance. The data used in this study consisted of: (1) RBI map scale 1:25.000 in 2000; (2) SPOT 4/6/7 images in 2009, 2010, 2011 and 2017; (3) Land facet map of 1:25.000 scale; and the National Digital Elevation Model of 8m resolution. The RBI map was extracted to obtain the year 2000 land cover map. The SPOT images were visually interpreted to obtain the year 2010 and 2017 land cover map. The 1:25.000 scale land facet map was validated using DEMNAS and SPOT 6/7. Field surveys were conducted to validate land cover maps and land facets followed by in-depth interviews. To determine the actors who are directly involved and influenced or affected by changes in land cover, the interviews carried out by using snowball sampling method. The analysis of ecosystem services was approached using land cover proxy and the land facet as represented by the Ecosystem Services Index (IJE). IJE calculations were carried out through expert judgment and weighting of land cover and land facets on five ecosystem service functions, namely food supply, clean water supply, water flow and flood regulation, recreation and ecotourism and disaster prevention. The assessment and weighting were calculated using the analytical hierarchy process (AHP) or the analytical hierarchy process using a pairwise comparison calculation method. To find out the performance of ecosystem services, the IJE changes were calculated between the year 2000-2010 and 2010-2017. Furthermore, an exploratory descriptive analysis based on the Institutional Analysis and Development (IAD) framework was carried out to analyze institutional land cover changes based on ecosystem services. The actor analysis was carried out using the analytical framework of Grimble (1998), Ribot and Peluso's Bundle of Power (2003) and Reed et al. (2009) through a matrix of the interests and influence of actors. The results of the analysis of the performance of ecosystem services showed that the accumulative of IJE value of Bogor Regency in 2000, 2010 and 2017 were dominated by low to medium classes with a percentage of more than 60%. The performance of ecosystem services has increased and decreased, however the decline was greater than the increase. The decline occurred in both private property and state property, whereas the decline in the private property was higher than in the state property. The decline of the ecosystem services in private property would be more difficult to be controlled since all of the land belongs to the community. The government does not have strong bargaining power to control changes of land cover in private property which alead to decline a decline in ecosystem services. The results of the actor's analysis shows that the Ministry of Environment and Forestry, the Regent of Bogor, the Department of Agriculture and Forestry, the Department of the Environment and the mining companies are stakeholders who have high influence and interest in state property. Whereas in private property, the most influential and high-interest actors are the landowners, the Ministry of Agriculture, the Ministry of Public Works and Public Housing, the Ministry of Agrarian Spatial Planning/National Land Agency, the Regent, the Agriculture and Forestry Service, and the Environment Service. To reduce the impact of the decline in ecosystem services, several inputs for institutional improvement could be made. The input for institutional improvement in land cover changes based on ecosystem services for state property is by decentralization or devolution of resource management. Meanwhile, the input for institutional improvement on private property is by re-collecting resources using technology, providing incentives and implementing social engineering by engineering private property rights into common property.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleDampak Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Fungsi Jasa Ekosistem di Kabupaten Bogor: Pendekatan Kelembagaanid
dc.title.alternativeImpact of Land Cover Changes on Ecosystem Service Functions in Bogor District: Institutional Approachid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordfaset lahanid
dc.subject.keywordkelembagaanid
dc.subject.keywordkerangka kerja IADid
dc.subject.keywordperubahan penutupan lahanid
dc.subject.keywordProses Hirarki Analitikid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record