Show simple item record

dc.contributor.advisorKartodihardjo, Hariadi
dc.contributor.advisorHendrayanto
dc.contributor.advisorDarusman, Dudung
dc.contributor.authorSiswantoro, Rudy Dwi
dc.date.accessioned2022-01-25T13:07:10Z
dc.date.available2022-01-25T13:07:10Z
dc.date.issued2022-01-25
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/110796
dc.description.abstractTaman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki peran yang sangat strategis sebagai daerah tangkapan air (catchments area) bagi daerah-daerah yang ada di bawahnya, yang menyediakan kebutuhan air untuk kebutuhan sehari-hari, pertanian, industri dan kebutuhan domestik lainnya. Pengelolaan pemanfaatan air dari kawasan TNGGP bermula pada tahun 2006. USAID menginisiasi pengelolaan pemanfaatan air di TNGGP berdasarkan konsep kemitraan melalui pendirian lembaga FORPELA (Forum Peduli Air)-TNGGP. Pada tahun 2009, FORPELA mewadahi 113 pengguna air melalui sistem keanggotaan. Pada tahun 2011, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa pemanfaatan di kawasan konservasi harus melalui mekanisme izin. Selanjutnya, proses pembentukan Peraturan di tingkat Kementerian Kehutanan mulai dibuat dengan tujuan untuk menjamin keteradilan distribusi dan ketersediaan air bersih untuk daerah hilir. Pada tahun 2013, terbit Peraturan Menteri Kehutanan P.64/2013. Peraturan ini mengatur agar setiap pihak di dalam dan sekitar kawasan yang hendak atau sudah memiliki sumber air di dalam kawasan harus memiliki IPA (Izin Pemanfaatan Air) untuk pengguna air non-komersial dan IUPA (Izin Usaha Pemanfaatan Air) untuk pengguna air komersial. Selama 6 tahun Permenhut berlaku, perizinan pemanfaatan air dari dalam kawasan TNGGP belum dapat ditertibkan. Terdapat 65 desa penyangga yang memperoleh air dari kawasan, tetapi hanya terdapat 25 pemegang IPA. Sementara itu, dari 51 kegiatan usaha yang terdata dalam FORPELA, hanya 1 kegiatan usaha yang mengurus dan memperoleh IUPA. Oleh sebab banyaknya pengguna air terutama untuk kegiatan komersial yang tidak mengurus perizinan sehingga banyak pengguna air yang terindikasi memperoleh air dengan cara ilegal. Hal ini menyebabkan pelaksanaan pemanfaatan atau pengusahaan pemanfaatan air sesuai dengan asas konservasi tidak tercapai; potensi konflik antar para pengguna air akibat distribusi air yang tidak merata terutama masyarakat sekitar kawasan; serta Pemerintah tidak mendapatkan PNBP dari kegiatan komersial. Maka, diperlukan penataan kelembagaan untuk mengelola pemanfaatan air dengan baik. Analisis kelembagaan perlu dilakukan untuk mengevaluasi kinerja implementasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya air di kawasan TNGGP. Analisis kelembagaan dilakukan dengan pendekatan kerangka kerja IAD (Institution Analysis and Development). Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2019 sampai Oktober 2021. Lokasi penelitian di Bidang Wilayah Pengelolaan Cianjur dan Sukabumi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, observasi, telaah dokumen dan analisis regulasi. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive dan snowball sampling. Jasa lingkungan air di TNGGP dapat dinikmati oleh banyak orang secara bersama-sama dan sulit untuk mengecualikannya. Sumber daya dengan karakter ini disebut common pool resources. Sumber daya air dari kawasan TNGGP yang bersifat CPRs membutuhkan kebijakan yang efektif untuk mengaturnya, maka sumber daya ini juga menimbulkan biaya transaksi tinggi. Atribut komunitas yang mempengaruhi arena aksi, meliputi (1) nilai-nilai perilaku didorong oleh faktor ekonomi dan faktor keakraban masyarakat kepada pemerintah setempat lebih tinggi dibanding dengan pihak balai; (2) tingkat pemahaman mengenai sumber daya air di kawasan konservasi partisipan berbeda satu sama lain; serta (3) tingkat homogenitas preferensi dalam pemanfaatan air dipengaruhi beragam kepentingan yang belum selaras. Selanjutnya, hasil analisis peraturan menunjukkan bahwa penertiban pemegang izin belum dapat dilaksanakan sehingga KLHK dan BBTNGGP sebagai prinsipal belum mampu membedakan hak antara pengguna air yang berizin dan tidak berizin. Dalam pengelolaan pemanfaatan air di TNGGP terdapat beberapa aktor yang terlibat. KLHK sebagai prinsipal tingkat satu, BBTNGGP sebagai prinsipal tingkat dua, pengguna air non komersial dan komersial sebagai agen, dan pemerintah desa sebagai partisipan tambahan. Hubungan prinsipal dan agen dianalisis melalui hubungan kontraktual dan faktual. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam implementasi kebijakan pemanfaatan air, terdapat kesenjangan yang terjadi pada hubungan keagenan prinsipal dan agen, antara lain : (1) kelemahan prinsipal dalam mengetahui karakteristik dan kinerja agen; (2) sosialisasi peraturan kepada agen tidak berjalan dengan baik; (3) prinsipal tidak mampu membedakan hak antara pengguna air yang berizin dan tidak berizin. Hal ini menyebabkan kinerja agen tidak sesuai dengan harapan prinsipal sehingga outcomes yang dihasilkan antara lain : (1) jumlah pemegang IPA dan IUPA terbatas; (2) banyak aktivitas pemanfaatan air terindikasi ilegal; (3) adanya perilaku adverse selection dan moral hazard; dan (4) implementasi peraturan hanya menghasilkan output bukan outcome. Perumusan strategi mengacu pada kriteria adaptabilitas, efisiensi, ekuitas dan akuntabilitas. Input strategi perbaikan yang dihasilkan antara lain : (1) perizinan pengguna air non komersial berbasis collective action dengan menerapkan pengelolaan pemanfaatan air non komersial melalui mekanisme mitra kerja sama dengan pemerintah desa disertai dengan peningkatan kapasitas leadership masyarakat; (2) perbaikan implementasi peraturan perizinan untuk pengguna air komersial melalui inventarisasi pengguna air komersial dan pendekatan door to door kepada pengguna komersial; (3) peningkatan jumlah staf bagian pemanfaatan di BBTNGGP dan pemisahan divisi pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata; (4) peningkatan jumlah staf Resort dan pemberian tupoksi khusus untuk Resort dalam hal sosialisasi peraturan dan pemantauan pemanfaatan air; (5) penggunaan meteran air pada pipa saluran di bak penampungan sebagai alat kontrol untuk prinsipal; (6) pelaksanaan aturan proporsi volume pemanfaatan air yang boleh digunakan sesuai; (7) pelaksanaan evaluasi kinerja pengelolaan pemanfaatan air tidak hanya dilakukan oleh prinsipal tetapi juga oleh agen; (8) pemberikan insentif bagi desa yang dapat melaksanakan pengelolaan pemanfaatan air dengan baik; (9) pemberian sanksi pemberhentian aliran air untuk pengguna komersial yang tidak mematuhi peraturan.id
dc.description.abstractGunung Gede Pangrango National Park (TNGGP) has a very strategic role as a catchment area for the areas below it, which provides water for daily, agriculture, industry, and other domestic needs. In 2006, USAID initiated water use management in Gunung Gede Pangrango National Park based on a partnership concept through the establishment of FORPELA (Forum Peduli Air)-TNGGP. In 2009, FORPELA accommodated 113 water users through a membership system. In 2011, Government Regulation Number 28 of 2011 was issued, stipulating that utilization in conservation areas must go through a permitting mechanism. Furthermore, establishing regulations at the Ministry of Forestry level began to be made to ensure equitable distribution and availability of clean water for downstream areas. In 2013, the Ministry of Environment and Forestry Regulation P.64/2013 was issued. This regulation stipulates that every party in and around the area who wants or already has a water source must have an IPA (Water Utilization Permit) for non-commercial water users and an IUPA (Water Utilization Business Permit) for commercial water users. There are 65 villages that received water from the national park area, but only 25 IPA holders. Meanwhile, of the 51 business activities recorded in FORPELA, only one business activity manages and obtains an IUPA. Many water users, especially for commercial activities without licenses, indicate that many water users obtain water illegally. This causes the implementation of the utilization or exploitation of water utilization following the conservation principle is not achieved, the potential for conflict between water users due to uneven water distribution, especially the community around the area, and the government does not get PNBP from commercial activities. Therefore, institutional arrangements are needed to manage water use properly. Institutional analysis needs to be carried out to evaluate implementing policies on the use of water resources in the Gunung Gede Pangrango National Park area. Therefore, institutional analysis was carried out using the IAD (Institutional Analysis and Development) framework approach. The research was conducted from November 2019 to October 2021 and is located in Gunung Gede Pangrango National Park. This study used a qualitative approach. In addition, the collected data were through semi-structured interviews, observation, document review, and review documents. Respondents were selected using purposive and snowball sampling techniques. Water ecosystem services in Gunung Gede Pangrango National Park can be enjoyed by many people together, and it is difficult to exclude them. Resources with this character are called common-pool resources. However, water resources from the Gunung Gede Pangrango National Park area that are CPRs require effective policies to regulate them. Therefore, these resources also incur high transaction costs. Community attributes that affect the arena of action include (1) behavioral values driven by economic factors and the community's familiarity with the local government is higher than that of the Gunung Gede Pangrango National Park Office; (2) the level of understanding of water resources in the participant's conservation areas is different from one another; and (3) the level of preference homogeneity in water use is influenced by various interests that are not yet aligned. Furthermore, the results of the regulatory analysis show that the control of permit holders cannot be carried out. Therefore, BBTNGGP as principals have not distinguished the rights between licensed and unlicensed water users. In the management of water use in Gunung Gede Pangrango National Park, there are several actors involved, which are the Ministry of Environment and Forestry as the first level principal, Gunung Gede Pangrango National Park Office as the second level principal, non-commercial and commercial water users as agents, and village government as additional participants. Principal and agent relationships are analyzed through contractual and factual relationships. The results of the analysis show that in the implementation of water utilization policies, there are gaps that occur in the relationship between the principal and the agent, including: (1) the principal's weakness in knowing the characteristics and performance of the agent; (2) socialization of regulations to agents did not go well; (3) the principal is unable to distinguish the rights between licensed and unlicensed water users. This causes the agent's performance not to match the principal's expectations so that the resulting outcomes include: (1) limited number of IPA and IUPA holders; (2) many water use activities are indicated as illegal; (3) the existence of adverse selection behavior and moral hazard; and (4) the implementation of regulations only produces outputs, not outcomes. Strategy formulation refers to adaptability, efficiency, equity, and accountability criteria. The inputs for the improvement strategy resulted include: (1) licensing of non-commercial water users based on collective action by implementing non-commercial water utilization management through a mechanism of partnership with the village government accompanied by increasing community leadership capacity; (2) improving the implementation of licensing regulations for commercial water users through an inventory of commercial water users and a door to door approach to commercial users; (3) increasing the number of staff in the utilization division at BBTNGGP and separating the division for utilization of water and tourism environmental services; (4) increasing the number of resort staffs and providing special job descriptions in terms of socialization of regulations and monitoring of water use; (5) the use of a water meter in the pipeline in the reservoir as a control tool for the principal; (6) implementation of the rules for the proportion of the volume of water utilization that may be used accordingly; (7) evaluation of water utilization management performance is not only carried out by the principal but also by the agent; (8) providing incentives for villages that can implement water use management properly; and (9) sanctions for stopping water flow for commercial users who do not comply with regulations.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleAnalisis Kelembagaan Pemanfaatan Air di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Baratid
dc.title.alternativeInstitutional Analysis of Water Utilization in the Gunung Gede Pangrango National Park Area West Javaid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordIAD frameworkid
dc.subject.keywordinstitutional issuesid
dc.subject.keywordwater use in TNGGPid
dc.subject.keywordinstitutional improvement strategiesid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record