Distorsi Ruang Publik dan Kuasa Politik Elite Lokal dalam Pembangunan
Date
2021Author
Fitriyah, Neka
Sarwoprasodjo, Sarwititi
Sjaf, Sofyan
Soetarto, Endriatmo
Metadata
Show full item recordAbstract
Sepanjang penerapan otonomi daerah pada tahun 2000, persoalan
pembangunan di Kabupaten Pandeglang masih berkutat pada persoalan
kemiskinan. Regulasi dan arah pembangunan yang dibuat tidak menjadikan
Pandeglang terbebas dari kemiskinan, karenanya persoalan kemiskinan selalu
menjadi isu sentral di daerah ini. Kondisi ini dipertajam dengan kenaikan angka
kemiskinan sebanyak 24.790 orang 2017 dari sebelumnya berjumlah 675.040
orang pada Maret 2018, atau naik 0,14 poin. Program Jamsosratu sudah 18 tahun
berjalan dan program infrastruktur jalan sudah dicanangkan sejak era orde baru.
Tetapi, Pemda Kabupaten Pandgeglang hanya mampu membiayai 30% program
infrastruktur jalan yang dibutuhkan. Implikasinya, banyak pergerakan barang dan
jasa terhambat, mengganggu produktivitas ekonomi dan memperlemah partisipasi
masyarakat.
Elite lokal di Pandeglang (ulama, jawara dan elite desa) memiliki
kemampuan untuk mengarahkan dan memposisikan masyarakat sebagai subjek
pembangunan. Tetapi kemudian, kemampuan politis para elite lokal belum
sepenuhnya dapat memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Elite
lokal memiliki berbagai agenda, baik agenda pembangunan, agenda politik
maupun agenda kelompok. Realitas ini diperkuat dengan sikap masyarakat yang
mewakilkan aspirasi terhadap para elite lokal. Implikasinya posisi elite lokal
menjadi semakin elitis di tengah-tengah masyarakat. Situasi ini kemudian
memudahkan elite lokal dalam membangun dan memperoleh dukungan politik
praktis. Padahal, jika orientasi elite lokal mengarah pada pemberdayaan
masayarakat, kekuatan komunikasi politik elite lokal melebihi kekuatan formal
(pimpinan daerah). Kekuatan ulama dan jawara dalam beberapa realitas sosial
bahkan melampaui batas geografis yang belum tentu dimiliki oleh elite lain.
Proposisi utama penelitian ini adalah komunikasi politik para elite lokal
dipengaruhi oleh berbagai agenda (kepentingan) yang didasari oleh perbedaan
orientasi terhadap pembangunan. Akibatnya konsensus dalam ruang publik tidak
melalui dialog kritis. Dampak yang lebih jauh, ruang publik belum sepenuhnya
mengarah pada kesadaran kritis dan partisipasi masyarakat. Yang terjadi adalah
kelesuan partisipasi dan ketidak percayaan masyarakat yang disebabkan
diskoneksi orientasi para elite lokal dalam pembangunan. Implikasinya,
komunikasi pembangunan belum berjalan sebagaimana mestinya. Salah satunya,
masyarakat mempercayakan aspirasinya pada para elite lokal tanpa
mengkritisinya terlebih dahulu. Perbedaan orientasi dan agenda antar para elite
lokal, menjadikan ruang publik syarat dengan agenda dan kepentingan sehingga
ruang publik terdistorsi dan tidak lagi menjadi medium yang netral.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik
komunikasi politik elite lokal dalam pembangunan, seperti apakah pertemuan
politis yang diikuti, bagaimana orientasi dan tipe komunikasi politik yang
digunakannya, apakah berdampak pada upaya penyadaran kritis atau sebaliknya
serta bagaimana keberfungsian ruang publik. Permasalahan ini kemudian ditinjau
dengan menggunakan teori tindakan komunikatif Habermas (1984) yang
menekankan pencapaian konsensus melalui klaim kebenaran, ketepatan dan
kejujuran. Penelitian ini kemudian menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi (primer). Tiga
metode penelitian digunakan dalam penelitian ini yakni: metode (1) Studi kasus
(2) Life history dan (3) Dokumentasi. Komunikasi politik dalam penelitian ini
dimaknai sebagai suatu proses penyampaian pesan untuk mempengaruhi
pembentukan sikap dan perilaku politik melalui pesan dan simbol-simbol.
Selain menghasilkan berbagai temuan, penelitian ini menjawab beberapa
persoalan: Pertama, dialog dan diskursus dalam ruang publik belum sepenuhnya
mengarah pada kesadaran kritis sehingga konsensus yang dicapai belum
mencerminkan aspirasi masyarakat. Pencapaian konsensus dalam ruang publik,
prosesnya dapat tercapai jika ada kesetaraan. Kesetaraan peran, akses, kesetaraan
literasi, kesetaraan perlakuan dan kesetaraan status, adalah prasyarat terjadinya
dialog kritis dalam ruang publik. Kesetaraan ini akan meminimalisir terjadinya
dominasi atas opini yang dikembangkan dan berkembang. Jikapun dalam
realitasnya kesetaraan sulit ditemui, maka bracketing menjadi solusinya.
Ruang publik yang ada di Pandeglang berkembang seiring dengan
perkembangan berbagai aspirasi, agenda dan kepentingan dari para elite dan
masyarakat. Akibatnya, ruang publik menjadi arena kontestasi politik yang
melahirkan kelompok-kelompok dan mengarah pada oligarkhi. Keberfungsian
ruang publik yang mensyaratkan kesetaraan, penghargaan dan kesempatan di
Pandeglang belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Para elite lokal dalam persoalan
pembangunan, orientasi politiknya tidak selamanya untuk penguatan dan
pemberdayaan masyarakat mikro. Banyak masyarakat di pedesaan khususnya
yang kebingungan dan tidak tahu bagaimana cara memberdayakan dirinya serta
mengaspirasikan gagasannya. Situasi ini dimanfaatkan oleh sebagian elite untuk
membangun opini mayoritas dalam pertemuan-pertemuan di ruang publik. Pada
posisi inilah ruang publik menjadi terdistorsi oleh agenda-agenda politik yang
mengatasnamakan kepentingan masyarakat.
Kedua, tindakan berbahasa ulama dan jawara dalam ruang publik ditandai
dengan pesan: Kognitif, Interaktif dan Ekspresif. Kognitif menekankan pada
rasionalitas dalam mengeksplorasi persoalan pembangunan. Tindakan interaktif
menekankan pada proses pembentukan konsensus yang berfungsi sebagai persuasi,
pegendalian sosial dan labenswelt. Adapun tindakan ekspresif mengarah pada
muatan-muatan pesan ketulusan dan membangun kesadaran kritis masyarakat.
Melihat kondisi sosiologis masyarakat Pandeglang, tidak semua tindakan
berbahasa dalam ruang publik dapat dilaksanakan secara bersamaan. Literasi
politik yang terbatas, akses dan persoalan otoritas dan struktural menyebabkan
hanya beberapa tindakan berbahasa yang umum berkembang di Pandeglang.
Pesan kognitif dan interaktif adalah tidakan berbahasa yang lebih mudah diterima
oleh masyarakat.
Ketiga, komunikasi politik terjadi dalam ruang publik karena ada
perbedaan orientasi yakni orientasi pemberdayaan dan politik praktis. Pada
program Jamsosratu elite lokal cenderung memiliki orientasi yang sama dan
bersatu, tetapi pada program infrastruktur jalan elite lokal memiliki ragam
orientasi dan kepentingan yang saling berhadap-hadapan. Keempat, tipe
komunikasi politik elite lokal terdiri dari empat tipe tindakan komunikatif: (1)
Tindakan teleologis untuk membangun konsensus (2) Tindakan normatif untuk
melaksanakan konsensus (3) Tindakan dramaturgis untuk membangun popularitas
(4) Tindakan komunikatif untuk membangun konsensus melalui bahasa dan
dialog kritis.
Tipe tindakan komunikatif ini embeded dalam sikap dan perilaku elite
lokal dalam menyusun dan merespon program pembangunan. Penelitian ini juga
menemukan temuan-temuan lain diantaranya: (1) Kedekatan para elite lokal
dalam persoalan pembangunnan terjadi selain karena faktor patrimonial dan
struktural juga karena faktor relasi yang sebelumnya sudah terbangun (2) Kondisi
sosiologis masyarakat Pandeglang dengan struktur dan kultur religius
memposisikan ulama dan jawara menjadi faktor determinan dalam pembangunan
dan politik lokal (3) Ada dua tipologi ulama dan jawara yakni tradisional dan
modern yang kemudian dibagi menjadi dua ketegori yakni organik dan simultan.
Ulama dan jawara modern adalah kelompok yang telah mengalami transisi dari
elite tradisional pedesaan menjadi elite legal formal dalam struktur sosial dan
politik. Sedangkan ulama dan jawara tradisional adalah kelompok yang masih
mempertahankan peran-peran tradisional yang aktivitas kesehariannya dekat
dengan masyarakat secara mikro.
Collections
- DT - Human Ecology [564]