Show simple item record

dc.contributor.advisorTriadiati, Triadiati
dc.contributor.advisorSulistyaningsih, Yohana Caecilia
dc.contributor.advisorPradono, Dyah Iswantini
dc.contributor.authorSubaryanti, Subaryanti
dc.date.accessioned2021-02-27T02:22:20Z
dc.date.available2021-02-27T02:22:20Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/106116
dc.description.abstractKencur (Kaempferia galanga L.) adalah terna aromatik yang tergolong keluarga Zingiberaceae, tanaman obat potensial ini banyak dibudidayakan karena merupakan tanaman yang multifungsi. Bagian yang bernilai ekonomi dari kencur adalah rimpang dan digunakan di berbagai industri. Peluang pengembangan budidaya kencur cukup terbuka mengingat banyaknya manfaat dari tanaman ini. Parameter mutu rimpang kencur antara lain kadar air, kadar pati, kadar serat, kadar minyak atsiri, dan kadar abu. Kadar minyak atsiri dalam rimpang kencur berkisar antara 2,5‒3,8% dengan komponen utamanya etil-p-metoksisinamat (EPMS) tidak kurang dari 4,3%. Aroma dan rasa yang khas pada kencur merupakan salah satu bagian yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, intensitas aroma dan rasa tersebut didominasi oleh senyawa turunan asam sinamat. Asam sinamat merupakan metabolit sekunder dari golongan fenol yang secara genetik dikendalikan oleh faktor lingkungan salah satunya adalah intensitas cahaya. Kencur dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dengan ketinggian 1000 m dpl, namun sampai sejauh mana kemampuannya tumbuh di dataran tinggi masih perlu dipelajari. Kencur dapat tumbuh optimal pada ketinggian 50‒600 m dpl, bahkan pada ketinggian lebih dari 600 m dpl masih menunjukkan pertumbuhan yang baik, meskipun terjadi penurunan hasil. Data keragaman hasil dan mutu berbagai varietas, ekotipe atau landrace tanaman kencur yang dibudidaya di Indonesia sampai saat ini belum tersedia. Varietas unggul (Galesia 1, Galesia 2, dan Galesia 3) yang ada adaptif pada ketinggian 50‒600 m dpl, sementara itu informasi tentang pertumbuhan, hasil, dan mutu kencur pada ketinggian di atas 600 m dpl masih sangat terbatas. Dengan demikian perlu dilakukan eksplorasi dan seleksi sumberdaya genetik kencur sebagai upaya untuk mendapatkan keragaman hasil dan mutu dari berbagai lokasi di Indonesia, khususnya di pulau Jawa sebagai sentra produksi kencur. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mendapatkan aksesi kencur yang memiliki bobot rimpang dan kadar EPMS tinggi sehingga berpeluang menjadi kandidat varietas unggul. Penelitian dilakukan dalam 4 kegiatan yaitu (1) desk-study dan survei lapang untuk menentukan lokasi penelitian dan eksplorasi, (2) eksplorasi sumber daya genetik kencur, (3) analisis karakter fisiologi, hasil, dan mutu rimpang aksesi kencur, dan (4) analisis profil senyawa metabolit dan identifikasi lokasi metabolit sekunder dalam rimpang aksesi kencur. Pada penelitian ini dilakukan uji terhadap 2 lokasi dari 7 aksesi kencur yaitu Purbalingga (PBG), Cilacap (CLP), Purworejo (PWJ), Karanganyar (KRA), Pacitan (PCT), Madiun (MAD), dan varietas pembanding Galesia 2 (GAL 2) di Darmaga dan Cisarua Bogor dengan ketinggian masing-masing 214 dan 780 m dpl yang mewakili dataran rendah dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dataran rendah meningkatkan karakter fisiologi berupa luas daun, laju fotosintesis, laju transpirasi, dan konduktansi stomata, sedangkan dataran tinggi meningkatkan klorofil total dan kadar gula rimpang kencur. Dataran rendah juga meningkatkan bobot rimpang segar sebesar 1448,7 g/rumpun dihasilkan dari aksesi PBG. Sebaliknya, dataran tinggi meningkatkan kadar gula sebesar 3,8% dihasilkan dari aksesi PBG. Kemudian kandungan fenol total tertinggi dihasilkan dari aksesi PWJ sebesar 26,8 mg GAE/g ekstrak. Pada dua lokasi penelitian rendemen tertinggi dihasilkan oleh aksesi PBG sebesar 5,1% di dataran tinggi. Di dataran rendah, aksesi MAD menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 2,7%. Ketujuh aksesi kencur memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menghasilkan senyawa EPMS. Lokasi penanaman mempunyai pengaruh berbeda terhadap kandungan senyawa bioaktif kencur. Senyawa EPMS tertinggi dihasilkan oleh aksesi PBG di dataran tinggi sebesar 74,8% dan di dataran rendah dihasilkan oleh aksesi PCT sebesar 71,6%. Dataran rendah meningkatkan jumlah dan komposisi senyawa metabolit sekunder. Profil metabolit sekunder mengelompokkan aksesi berdasarkan jumlah senyawa metabolitnya ke dalam dua kelompok. Kelompok I terdeteksi 18 senyawa dengan senyawa penciri genkwanin pada aksesi PCT, sedangkan kelompok II terdeteksi 8 senyawa dari dataran rendah dan 18 senyawa dari dataran tinggi. Kelompok II memiliki senyawa penciri curdion dari aksesi CLP, EPMS dan turmeron dari aksesi PBG, galanganol dan oleamide dari GAL 2. Dataran rendah meningkatkan kerapatan sel idioblas (metabolit sekunder) rimpang kencur pada jaringan empulur. Kerapatan sel idioblas tertinggi dihasilkan oleh aksesi PCT (90,5 sel/mm2) di dataran rendah, sedangkan dari dataran tinggi dihasilkan oleh aksesi PBG (77,1 sel/mm2). Kencur aksesi PBG memiliki hasil dan mutu yang konsisten di dua lokasi penelitian. Berdasarkan produksi rimpang dan kandungan EPMSnya, maka aksesi PBG adalah terbaik. Simpulan dari hasil penelitian adalah bahwa dataran rendah memengaruhi karakter fisiologi aksesi kencur pada luas daun, laju fotosintesis, laju transpirasi, dan konduktansi stomata, sedangkan klorofil total dan kadar gula rimpang dipengaruhi oleh dataran tinggi. Dataran rendah meningkatkan produksi rimpang, namun menurunkan kadar dan rendemen minyak atsiri serta EPMS. Dataran rendah meningkatkan jumlah metabolit sekunder. Profil metabolit sekunder terbagi dua kelompok, kelompok I ada 18 senyawa (dataran rendah), kelompok II ada 8 senyawa (dataran rendah) dan 18 senyawa (dataran tinggi). Dataran rendah meningkatkan kerapatan sel idioblas tempat minyak atsiri tersimpan di jaringan empulur rimpang kencur. Aksesi Purbalingga (PBG) lebih unggul dalam hal bobot rimpang, rendemen minyak atsiri, dan EPMS. Perlu penelitian lebih lanjut untuk hasil dan mutu pada kencur aksesi Purbalingga (PBG) dan Pacitan (PCT) di lokasi penelitian lain dengan musim tanam berulang untuk menguji aksesi-aksesi tersebut agar dapat dijadikan kandidat varietas unggul baru. Rekomendasi yang diajukan adalah bahwa aksesi PBG dengan produksi rimpang dan kadar EPMS yang tinggi dapat dijadikan aksesi unggul.id
dc.description.abstractGalangal (Kaempferia galanga L.) is an aromatic herb belonging to the family Zingiberaceae, this potential medicinal plant is widely cultivated because it is a multifunctional plant. The economically valuable part of galangal is its rhizome and is used in various industries. Opportunities in developing galangal cultivation are quite open considering the large variety of benefits of this plant. Galangal rhizome quality parameters include moisture content, starch content, fiber content, essential oil content, and ash content. The essential oil in galangal rhizome ranges from 2,5‒3,8% with the main component ethyl-p-methoxycinnamate (EPMC) not less than 4,3%. The distinctive aroma and taste of galangal is one part that is influenced by environmental factors, the intensity of the aroma and taste is dominated by cinnamic acid derivatives. Cinnamic acid is a secondary metabolite of the phenol group which is genetically regulated by environmental factors especially light intensity. Galangal can grow from the lowlands to an altitude of 1000 m above sea level (asl), but to what extent its ability to grow in the highlands still needs to be studied. Galangal can grow optimally at an altitude of 50‒600 m asl, even at an altitude of more than 600 m asl, it still shows good growth despite a decrease in yield. Until now, data on yield diversity and quality of various varieties, ecotypes or landraces of galangal cultivated in Indonesia are not yet available. The superior varieties (Galesia 1, Galesia 2, and Galesia 3) are adaptive at an altitude of 50‒600 m asl, while information on growth, yield, and quality of galangal at an altitude of more than 600 m asl is still very limited. Thus, it is necessary to explore and select galangal genetic resources as an effort to obtain a variety of yields and quality from various locations in Indonesia, especially in Java as a production center for galangal. The aim of this research is to obtained galangal accession which has high rhizome weight and EPMC content so that it has the opportunity to become a candidate for superior varieties. The research was carried out in 4 activities, namely (1) desk-study and field survey to determine research locations and exploration locations, (2) exploration of galangal genetic resources, (3) analysis of physiological responses, yields, and quality of galangal accession rhizomes, and (4) ) analysis of metabolite compound profiles and identification of secondary metabolite locations in galangal accession rhizome. In this study, tests were carried out on 2 locations from 7 accessions of galangal, namely Purbalingga (PBG), Cilacap (CLP), Purworejo (PWJ), Karanganyar (KRA), Pacitan (PCT), Madiun (MAD), and comparison varieties Galesia 2 (GAL 2) in Dramaga and Cisarua Bogor with altitudes respectively 214 and 780 m asl representing the low and highlands. The lowlands increase physiological characters in the form of leaf area, photosynthesis rate, transpiration rate, and stomatal conductance, while highlands increase total chlorophyll and sugar content. The lowlands also increased fresh rhizome weight by 1448,7 g/clump resulting from PBG accession. Conversely, the highlands increased sugar content by 3,8% resulting from PBG accession. Then the highest total phenol content was produced from PWJ accession, namely 26,8 mg GAE/g extract. In the two locations the highest yield by PBG accession was 5,1% in the highlands. In the lowlands, MAD accession produced the highest yield of 2,7%. The yield of 5,1% was the highest yield produced by PBG accession from the lowlands. The seven accessions of galangal had different tendencies in producing EPMC compounds. The location of planting has a different effect on the content of galangal bioactive compounds. The highest EPMC compound was produced by PBG accession in the highlands of 74,8% and in the lowlands it was produced by PCT accession of 71,6%. The lowlands increase the number of secondary metabolite compounds. The secondary metabolite profile shows the grouping of accessions based on the metabolite compounds divided into two groups. Group I detected 18 compounds with genkwanin of marker metabolites in PCT accession, while group II detected 8 compounds from the lowlands and 18 compounds from the highlands. Group II had curdion of marker metabolites from CLP accession, EPMC and turmerone from PBG accession, galanganol and oleamide from GAL 2. The lowlands increase the density of idioblast cells (secondary metabolites) of galangal rhizome in the pith tissue. The highest idioblast cell density was produced by PCT accession (90,5 cells/mm2) grown in the lowlands, whereas from the highlands it was produced by PBG accession (77,1 cells/mm2). The PBG accession had consistent results and quality across the two locations. Based on rhizome production and EPMC content, the best galangal accession is PBG accession. The result showed that lowland affects the physiological characters of galangal accession on leaf area, photosynthesis rate, transpiration rate, and stomatal conductance, while total chlorophyll and rhizome sugar content are influenced by highland. Lowlands increase rhizome production, but reduce levels and yields of essential oils and EPMC. Lowlands increase the number of secondary metabolites. The secondary metabolite profile were divided into two groups, group I there are 18 compounds (lowlands), group II there are 8 compounds (lowlands) and 18 compounds (highlands). The lowlands increase the density of idioblast cells where essential oil is stored in the pith tissue of the galangal rhizome. Accession Purbalingga (PBG) was superior in terms of rhizome weight, essential oil yield, and EPMC. The further research is needed for yield and quality on Purbalingga (PBG) and Pacitan (PCT) accessions in other research locations with repeated planting seasons to test these accessions so that they can be used as candidates for new superior varieties. The recommendation put forward was that PBG accession with rhizome production and high levels of EPMC could be used as superior accession.id
dc.description.sponsorshipBPPDN (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri)id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subjectBogor Agricultural University (IPB)
dc.titleKarakter fisiologi, kualitas, dan metabolit sekunder rimpang kencur (Kaempferia galanga L.) pada agroekologi berbeda untuk mendapatkan aksesi unggulid
dc.title.alternativePhysiological characters, quality, and secondary metabolites of galangal rhizome (Kaempferia galanga L.) at different agroecology to obtained superior accessionid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordagroekologiid
dc.subject.keywordEPMCid
dc.subject.keywordlengkuasid
dc.subject.keywordsel idioblasid
dc.subject.keywordprofil metabolitid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record