Show simple item record

dc.contributor.advisorFarajallah, Achmad
dc.contributor.advisorMuladno
dc.contributor.advisorWibawan, I Wayan T
dc.contributor.authorMuttaqin, Wildan Najmal
dc.date.accessioned2021-01-05T03:36:07Z
dc.date.available2021-01-05T03:36:07Z
dc.date.issued2020
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/105139
dc.description.abstractDomba ekor tipis adalah domba yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Umumnya, domba ekor tipis dibudidayakan di daerah basah dengan curah hujan tinggi seperti Jawa Barat dan Sumatera. Permasalahan yang dialami oleh domba ekor tipis ini salah satunya adalah infeksi cacing saluran pencernaan terutama Haemonchus contortus. Infeksi oleh cacing H. contortus berakibat fatal karena dapat menyebabkan anemia hingga kematian. Umumnya, kondisi yang parah dialami oleh domba yang berumur kurang dari satu tahun. Para peternak memberikan obat antihelmin pada ternak mereka yang terinfeksi cacing. Namun, pemberian obat antihelmin dalam jangka panjang telah menyebabkan munculnya resistensi terhadap obat tersebut. Upaya untuk mengatasi masalah resistensi terhadap obat salah satunya adalah dengan melakukan seleksi dan pengembangan galur ternak yang bersifat tahan terhadap infeksi cacing, penerapan kartu FAMACHA untuk mendeteksi ternak yang benar-benar anemia dan perlu diberi obat, serta manajemen padang penggembalaan. Seleksi dan pengembangan galur domba yang tahan infeksi cacing dimulai dari melakukan karakterisasi sifat Fenotipe (Tahan/Rentan) dan Genotipe yang terkait imunitas. Analisis karakterisasi sifat domba ekor tipis yang tahan terhadap infeksi H. contortus di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol - Institut Pertanian Bogor (UP3J IPB, n=68) dan di padang penggembalaan masyarakat kecamatan Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat (n=95), menunjukkan bahwa secara umum domba di kedua lokasi tersebut bersifat tahan terhadap infeksi H. contortus. Namun demikian domba di Majalengka memiliki performa lebih baik daripada domba di UP3J. Rata-rata bobot badan domba di Majalengka lebih berat dari domba di UP3J (17.7±2.63 kg > 12.4±2.36 kg). Nilai PCV pada domba yang terinfeksi berat di Majalengka juga lebih tinggi dari domba di UP3J (29.38±4.8%>26.27±2.87%). Pertambahan Bobot Badan Harian domba di Majalengka lebih besar dari pada domba di UP3J (0.19 kg > 0.18 kg). Analisis asosiasi single nucleotide polymorphisms (SNP) dengan karakter ketahanan terhadap infeksi cacing H. contortus dengan pendekatan Linkage disequlibrium (LD), diperoleh hasil 2 gen yang dapat menjadi penanda molekuler sifat tahan infeksi cacing H. contortus. Kedua gen tersebut adalah Toll like receptor 5 (TLR5) yang berada pada kromosom 12 dan gen C-type lectin domain family 1, member B (CLEC1B). Kedua gen tersebut memiliki Linkage Disequilibrium (LD) yang tinggi (D‟>0.8; r2> 0.8). Analisis dengan pendekatan Odd Ratio diperoleh hasil 11 SNP dimana satu SNP (SN36) menjadi kandidat terkuat sebagai penanda genetik terkait infeksi H. contortus. Kartu FAMACHA© dibuat untuk mengenali ternak domba dan kambing yang mengalami anemia akibat infeksi H. contortus. Penerapannya di berbagai negara menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada penelitian ini, efektifitas kartu FAMACHA© pada domba yang digembalakan di kedua lokasi menunjukkan hasil yang cukup baik karena memiliki nilai sensitivity dan specificity masing- masing diatas 50%. Namun demikian, perlu juga diterapkan analisis pendamping seperti analisis feses di laboratorium untuk menyertai penerapan sistem FAMACHA ini. Alternatif lainnya adalah peranan dari dokter hewan di lapang atau orang yang terlatih yang bisa mengenali ciri-ciri domba yang terinfeksi oleh H. contortus. Peranan ekologi dalam pengendalian infeksi cacing juga sangat besar. Penelitian pada padang penggembalaan masyarakat di Majalengka menemukan fenomena yaitu padang penggembalaan yang memiliki tingkat keragaman tumbuhan tinggi (terutama tumbuhan antihelmin) memliki tingkat infestasi parasit yang jauh lebih rendah. Lokasi A dengan jumlah tumbuhan sebanyak 21 buah (5 diantaranya diketahui sebagai antihelmin) memiliki jumlah infestasi telur cacing pada domba rata-rata sebesar 100 telur per gram feses. Lokasi B (14 tumbuhan/2 tumbuhan antihelmin) dan lokasi C (8 tumbuhan/3 tumbuhan antihelmin), yang memiliki keragaman tumbuhan lebih rendah dari lokasi A, tercatat jumlah infestasi telur cacing lebih tinggi yaitu rata-rata 1256 dan 340 telur per gram feses, secara berurutan. Berdasarkan hasil penelitian ini, tiga strategi dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas peternakan domba di Indonesia dan mengurangi penggunaan obat-obatan untuk mengatasi infeksi cacing. Yang pertama adalah melakukan seleksi dan pengembangan galur domba yang tahan infeksi cacing. Kedua, menerapkan sistem FAMACHA sehingga hanya domba yang benar-benar anemia karena infeksi H. contortus yang perlu diberi obat. Ketiga, menerapkan manajemen padang pengembalaan melalui penanaman tumbuhan antihelmin berdampingan dengan tumbuhan pakan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subjectBogor Agricultural University (IPB)
dc.subject.ddcAnimal Biosciencesid
dc.titleRespon Biologi Infeksi Cacing Haemonchus contortus Rudolphi, 1803 pada Domba Ekor Tipisid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keyworddomba ekor tipisid
dc.subject.keywordtahan cacingid
dc.subject.keywordHaemonchus contortusid
dc.subject.keywordFAMACHAid
dc.subject.keywordtumbuhan antihelminid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record