Dampak Ekonomi Kebijakan Perhutanan Sosial di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
View/Open
Date
2020Author
Astuti, Eny Widiya
Hidayat, Aceng
Nurrochmat, Dodik Ridho
Metadata
Show full item recordAbstract
Kebijakan sektor kehutanan menjadi penting dalam perspektif pembangunan
nasional, karena perannya yang sangat besar dalam sektor-sektor pembangunan
nasional baik forward dan backward linkages. Oleh karena itu, pada masa
pemerintahan saat ini, sektor kehutanan menjadi salah satu sektor penting termasuk
perhatian pada program perhutanan sosial. Perhutanan sosial ini muncul dalam
Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
(manfaat yang optimal) yang berkeadilan dan berkelanjutan (lestari).
Program perhutanan sosial merupakan kebijakan nasional yang menjadi salah
satu program utama Pemerintah dalam kebijakan sektor kehutanan secara khusus,
dan pencapaian target SDGs secara umum. Sebagai salah satu program unggulan
pemerintah di sektor kehutanan, perlu dilihat dampak kebijakan program
perhutanan sosial khususnya di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Untuk itu studi ini akan menjawab bagaimana dampak kebijakan program
perhutanan sosial dalam menurunkan angka deforestasi, bagaimana pengaruh
kebijakan program perhutanan sosial terhadap perekonomian masyarakat di sekitar
hutan, serta bagaimana dampak kebijakan program perhutanan pada aspek sosial
masyarakat, dan kelembagaan yang ada di masyarakat dalam program pengelolaan
hutan bersama masyarakat.
Dampak lingkungan perhutanan sosial dapat dilihat dari luasan deforestasi
yang semakin menurun. Tingkat deforestasi paling tinggi berada pada periode 1996
– 2000 dimana terjadi perubahan peraturan dengan diterbitkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.Terbitnya
peraturan tentang Perhutanan Sosial melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/2016 juga
berpengaruh pada penurunan luasan deforestasi periode 2016 – 2018.
Salah satu indikator yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan
masyarakat adalah pendapatan per kapita, dimana pendapatan per kapita per tahun
pada wilayah penelitian sebesar Rp 3.609.603,-. Informasi mengenai kesejahteraan
masyarakat perlu pula dilengkapi dengan informasi ketimpangan (Koefisien Gini),
di lokasi penelitian koefisien gini yang diperoleh lebih dari 0,5 atau dalam kategori
'tinggi'. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat di lokasi
penelitian belum terdistribusi dengan baik. Jika dibandingkan, kesenjangan
pendapatan pada kelompok responden yang mendapatkan program HKm lebih baik
daripada kelompok responden yang tidak mendapatkan program HKm. Data
koefisien gini menunjukkan bahwa program HKm cukup tepat sasaran. Program
HKm diduga dapat memperbaiki tingkat ketimpangan pendapatan (Koefisien Gini)
yaitu 0,483 (HKm) dibandingkan dengan 0,566 (non-HKm).
Kelembagaan pengelolaan kawasan hutan di wilayah penelitian dilakukan
oleh Gapoktan dengan mempertimbangkan aturan internal yang sudah disepakati
bersama atau disebut ‘awig-awig’. Awig-awig ini dinilai lebih efektif bagi
masyarakat penerima skema HKm dibandingkan dengan aturan formal yang
vi
dikeluarkan oleh Kantor Desa atau KPH. Hal ini sangat mungkin terjadi karena
penyusunan awig-awig yang dilakukan sendiri oleh masyarakat, dimana hak dan
kewajiban serta sanksi sudah disepakati bersama. Selain itu, analisis kelembagaan
dilakukan dengan memperhatikan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat, serta
kapasitas negara dalam pengelolaan hutan. Kapasitas negara pada kelima desa yang
berada dalam areal penelitian tersebut sebagian besar lemah, kecuali pada Desa
Lantan karena Kepala Desa Lantan adalah Sekretaris Gapoktan penerima HKm di
desa tersebut. Pada sisi lain, modal sosial masyarakat cukup kuat di tiga desa yaitu
Desa Aik Berik, Desa Setiling, dan Desa Lantan.
Penelitian ini menghasilkan beberapa hasil terkait pendapatan per kapita
masyarakat sekitar hutan, ketimpangan pendapatan masyarakat melalui koefisien
gini, perubahan tutupan lahan hutan akibat degradasi dan deforestasi, serta
identifikasi kelembagaan sesuai modal sosial dan kapasitas negara. Untuk
menghubungkan hasil riset dengan pengambil kebijakan, perlu dilakukan integrasi
dengan menggunakan metode RIU.
Collections
- MT - Economic and Management [3023]