Sugarcane streak mosaic virus pada Tebu di Lampung dan Sulawesi Selatan: Insidensi Penyakit, Karakterisasi Gen Protein Selubung dan Pengembangan Metode Deteksinya.
View/Open
Date
2020Author
Subekti, Dwi
Hidayat, Sri Hendrastuti
Damayanti, Tri Asmira
Purwono
Metadata
Show full item recordAbstract
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman komersial yang penting dan kontribusinya besar untuk produksi gula di dunia, termasuk di Indonesia. Produksi gula dalam negeri yang masih rendah, menyebabkan pemerintah melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah berusaha mengurangi nilai impor gula dengan melakukan peningkatan luas lahan, produktivitas dan rendemen. Peningkatan luas lahan secara ekstensifikasi dilakukan dengan mengembangkan perkebunan tebu ke luar wilayah sentra produksi dan secara intensifikasi dengan penggunaan varietas unggul dan benih bermutu.
Produktivitas tanaman tebu terutama ditentukan oleh kondisi agroklimat dimana tanaman tumbuh dan gangguan hama dan penyakit, termasuk yang disebabkan oleh infeksi virus. Virus utama yang dilaporkan menginfeksi tanaman tebu adalah Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV), dan Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV). Informasi mengenai status sebaran ketiga virus utama tersebut di luar Pulau Jawa belum ada yang melaporkannya. Data mengenai status sebaran tersebut diperlukan, terkait dengan program pemerintah untuk mengembangkan daerah sentra produksi tebu baru di luar Pulau Jawa. Salah satu konsekuensi dari pembukaan lahan sebagai sentra produksi tebu baru adalah harus dijamin ketersediaan bibit tebu berkualitas dan sehat dalam jumlah besar. Kegiatan indeksing dan pemantauan kesehatan bibit tebu harus didukung oleh metode deteksi dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang baik, serta memungkinkan digunakan untuk mendeteksi sampel dalam jumlah besar.
Penelitian telah dilakukan dengan tujuan: (1) Mengetahui daerah sebar SCSMV dan virus penyebab penyakit mosaik tebu yang lain di Lampung dan Sulawesi Selatan; (2) Melakukan karakterisasi molekuler berbasis asam nukleat dan protein terhadap gen selubung protein (CP) isolat SCSMV asal Lampung dan Sulawesi Selatan, serta hubungan filogenetiknya dengan isolat dari negara lain; dan (3) Mendapatkan metode deteksi cepat SCSMV sebagai metode untuk melakukan indeksing dan pemantauan kesehatan bibit tebu. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi tiga topik penelitian, yaitu (1) Survei distribusi dan insidensi SCSMV, SCMV, dan SCYLV di perkebunan tebu di Lampung dan Sulawesi Selatan; (2) Karakterisasi molekuler asam nukleat dan protein gen CP beberapa isolat SCSMV; dan (3) Pengembangan metode serologi (dot immunobinding assay/DIBA dan enzyme-linked immunosorbent assay/ELISA) dan molekuler (reverse transcription polymerase chain reaction/RT-PCR, hibridisasi asam nukleat dan immunocapture (IC)-RT-PCR) sebagai metode deteksi SCSMV.
Hasil survei lapangan dan deteksi di laboratorium mengonfirmasi bahwa infeksi SCSMV, SCMV dan SCYLV pada tebu secara tunggal maupun ganda
telah ditemukan di Lampung Tengah, Bone, Gowa dan Takalar. SCSMV sudah menginfeksi beberapa klon tebu komersial yang ditanam di dalam maupun luar Pulau Jawa. Insidensi dan keparahan penyakit pada penyakit mosaik bergaris dipengaruhi oleh kondisi agroklimat, terutama curah hujan di daerah perkebunan tebu. Semakin tinggi curah hujan, nilai insidensi dan keparahan penyakit semakin tinggi. Berkaitan dengan kegiatan survei dan pemantauan penyakit di lapangan dapat direkomendasikan untuk mengambil daun tebu urutan -2 sebagai sampel lapangan, karena daun tersebut mengandung konsentrasi SCSMV yang tinggi (2.037 ng.μL-1) berdasarkan hasil uji PCR kuantitatif.
Deteksi dengan metode konvensional PCR menggunakan pasangan primer SCSMV 547F/AP3 berhasil mengamplifikasi bagian dari gen protein selubung (CP) SCSMV dari sampel tebu hasil survei. Satu klon gen CP SCSMV yang mewakili masing-masing SCSMV isolat Bone, Gowa, Takalar dan Lampung Tengah dipilih untuk digunakan dalam analisis runutan gen CP SCSMV. Homologi runutan nukleotida maupun asam amino 4 klon tersebut dengan SCSMV asal Pasuruan adalah 98.9%; sedangkan homologinya dengan isolat SCSMV asal negara lain yang tertinggi adalah dengan India, Pakistan, Iran, Thailand, Myanmar dan Cina. Hanya ditemukan satu variasi asam amino antara klon isolat SCSMV pada penelitian ini dengan isolat asal Pasuruan, Thailand, Myanmar dan Iran, yaitu berturut-turut pada asam amino ke-170, 108, 172, dan 167. Hal tersebut menunjukkan keragaman genetik yang rendah pada gen CP SCSMV. Lebih lanjut analisis filogenetik menunjukkan bahwa SCSMV isolat Bone, Gowa, Takalar, dan Lampung Tengah berada pada grup yang sama dengan SCSMV asal Cina, India, dan Pakistan.
Optimasi yang dilakukan terhadap metode DIBA, I-ELISA dan RT-PCR menunjukkan bahwa masing-masing metode deteksi memiliki batas sensitivitas yang berbeda. Batas sensitivitas untuk metode DIBA dan I-ELISA berturut-turut pada pengenceran antisera 1:5.106 dan 1:105; sedangkan batas sensitivitas metode RT-PCR pada pengenceran DNA 10-6. Metode hibridasi asam nukleat dan IC-RT-PCR diuji coba sebagai metode deteksi SCSMV, dan diketahui memiliki batas sensitivitas berturut-turut pada pengenceran DNA 10-10 dan 75.10-4. Uji konfirmasi kelayakan menunjukkan bahwa semua metode dapat mendeteksi sampel tebu dari lapangan. Metode DIBA dan I-ELISA berpotensi untuk dikembangkan sebagai metode indeksing karena memiliki tingkat sensitivitas dan kespesifikan yang tinggi, mudah diaplikasikan, dapat digunakan untuk mendeteksi sampel dalam jumlah besar, waktu pengujian singkat, serta biaya pengujian per sampel relatif murah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa 3 virus utama tebu (SCSMV, SCMV, dan SCYLV) telah ditemukan menyebar di Sulawesi Selatan dan Lampung. Penggunaan bibit tebu asal Kebun Bibit Induk di Pulau Jawa diduga menjadi penyebab penyebaran SCSMV ke luar Pulau Jawa. Analisis molekuler beberapa isolat SCSMV memperkuat dugaan adanya kontribusi perpindahan bibit tebu terhadap penyebaran penyakit. Berdasarkan analisis runutan nukleotida, isolat SCSMV asal Bone, Gowa, Takalar, dan Lampung Tengah berada dalam kelompok yang sama, serta memiliki homologi yang tinggi dengan isolat asal Pasuruan, Jawa Timur. Oleh karena itu, penggunaan bibit tebu berkualitas dan bebas penyakit harus diprioritaskan sebagai strategi untuk mencegah penyebaran SCSMV yang lebih meluas. Metode deteksi
cepat dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang baik, waktu pengerjaan yang singkat, serta biaya pengujian murah untuk melakukan indeksing dan pemantauan kesehatan bibit tebu menjadi andalan untuk program penyediaan bibit tebu bebas penyakit. Metode deteksi serologi DIBA dan I-ELISA berpotensi untuk digunakan sebagai metode deteksi SCSMV tetapi perlu penyediaan antisera SCSMV secara komersial.
Collections
- DT - Agriculture [754]