Etnobiologi dan Pengelolaan Sumberdaya Hayati Berkelanjutan Masyarakat Hatam di Papua Barat.
View/ Open
Date
2019Author
Sutarno, Simon
Qayim, Ibnul
Muhadiono, Ignatius
Purwanto, Yohanes
Zuhud, Ervizal AM
Metadata
Show full item recordAbstract
Masyarakat Hatam adalah bagian (anak suku/sub suku) dari kelompok suku
besar Arfak yang merupakan penduduk asli pegunungan Arfak di Manokwari,
Papua Barat. Sebagian besar masyarakat Hatam mendiami daerah perkampungan
yang tersebar dari dataran rendah hingga pegunungan. Masyarakat Hatam
sejatinya memiliki budaya dan adat istiadat yang kuat sebagai cerminan kuatnya
interaksi mereka dengan lingkungan sekitar, meskipun dalam perkembangannya
mereka lebih dituntut untuk dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan
setiap perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan informasi dan teknologi.
Saat menghadapi inovasi yang kerap mengatasnamakan kesejahteraan, masyarakat
Hatam harus berhadapan dengan berbagai intervensi yang justru bertolak belakang
dengan adat ataupun kebiasaan yang mereka jalani. Kondisi demikian kemudian
memunculkan ketidaksinambungan antara program pembangunan dengan nilainilai
budaya dan pengetahuan tradisional masyarakat Hatam. Pengetahuan lokal
yang dimiliki masyarakat Hatam sangat luas dan kompleks, termasuk di dalamnya
pengetahuan tentang lingkungan, hewan dan tumbuhan.
Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi, mengungkapkan, dan
menganalisis pengetahuan etnobiologi masyarakat Hatam (etnoekologi, etnobotani,
dan etnozoologi) serta faktor yang mempengaruhinya dalam rangka pengelolaan
sumberdaya alam hayati dan ekosistem secara berkelanjutan. Adapun tujuan
khususnya yaitu : (i) terungkapnya pengetahuan etnobiologi masyarakat Hatam
secara rinci (etnoekologi, etnobotani, dan etnozoologi) sebagai dasar untuk
pengembangan sumberdaya alam dan ekosistemnya secara berkelanjutan. (ii)
Mengetahui jenis-jenis sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang memiliki
potensi ekonomi untuk dikembangkan secara berkelanjutan.
Pemahaman masyarakat Hatam terhadap lingkungan dan fungsinya sangat
baik. Masyarakat Hatam mengelompokkan satuan lingkungan ke dalam dua
kategori yaitu satuan lingkungan alami yang terdiri dari bahamti (hutan yang
dilindungi); dan menyei (sungai), serta satuan lingkungan buatan terdiri dari :
minu (kampung); menut miei (bekas kampung); meaisi (kebun baru); breisi
(kebun lama); stumti (bekas kebun); susti (hutan sekunder muda); dan nemahanti
(hutan sekunder). Breisi merupakan satuan lingkungan yang memiliki tingkat
kepentingan paling tinggi diantara satuan lingkungan yang ada. Selain sebagai
tempat bercocoktanam khususnya tanaman pangan, breisi juga merupakan dapur
alam yang berperan sebagai tempat penyimpanan bahan makanan khususnya
berupa ubi-ubian, dan sayuran.
Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional masih menjadi ciri masyarakat
Hatam di pegunungan Arfak. Penggunaan tumbuhan sebagai bahan pangan, obat,
kayu bakar, bahan konstruksi, serat dan tali, pewarna alami, dan teknologi
tradisional merupakan bentuk-bentuk penggunaan tumbuhan yang umum
dijumpai dalam kehidupan mereka. Masyarakat Hatam dapat memenuhi
kebutuhan pangan nabati melalui kegiatan budidaya terutama untuk makanan
pokok/penghasil karbohidrat. Tercatat 76,92 % tumbuhan penghasil karbohidrat
yang dikonsumsi masyarakat Hatam merupakan hasil budidaya, sedangkan
sisanya 23,07 % merupakan tumbuhan liar. Kegiatan budidaya tumbuhan
merupakan salah satu strategi masyarakat Hatam dalam mempertahankan
ketersediaan pangan, selain memanfaatkan ketersediaan di alam. Analisis Index of
Cultural Significance (ICS) menunjukkan sembilan jenis tumbuhan memiliki
nilai tinggi yaitu : Dodonaea viscosa, Dendrocalamus asper, Manihot esculenta,
Alstonia scholaris, Zingiber officinale, Ipomoea batatas, Schizostachyum lima,
Areca catechu, dan Hornstedtia scotiana.
Peranan hewan dalam kehidupan masyarakat Hatam ditunjukkan melalui
tujuh bentuk penggunaan hewan dalam kehidupan mereka meliputi : hewan
konsumsi/bahan pangan, bahan obat, hewan bernilai ekonomis, hewan untuk
keperluan adat, berburu, aksesoris, dan hewan yang memiliki makna tertentu.
Masyarakat Hatam secara turun temurun aktif melakukan perlindungan terhadap
hewan dan habitatnya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan manfaatnya.
Bentuk perlindungan yang masih dilakukan hingga kini adalah dengan membuat
tanda larangan tradisional. Terdapat dua bentuk tanda larangan yaitu mingkuen
dan kuak. Kedua bentuk tanda larangan tersebut memiliki fungsi yang sama,
hanya saja bahan yang digunakan berbeda. Mingkuen dibuat menggunakan bambu
(Schizostachyum lima), sedangkan kuak terbuat dari pohon Polyscias nodosa.
Perubahan habitat merupakan ancaman yang cukup serius bagi keberadaan
pengetahuan etnozoologi masyarakat Hatam.
Perlindungan fungsi ekologi meliputi perlindungan bahamti (hutan primer)
dan kehidupan di dalamnya, pemanfaatan tumbuhan dan hewan berikut strategi
pelestariannya, dan nilai-nilai sosial budaya yang menjamin hubungan sosial
masyarakat Hatam merupakan bagian dari aspek pembangunan berkelanjutan
yang telah ada pada kehidupan masyarakat Hatam sejak lama. Untuk
mengintegrasikan pengetahuan masyarakat Hatam ke dalam sebuah konsep
kebijakan pembangunan berkelanjutan diperlukan dukungan Perguruan Tinggi,
dan Lembaga Penelitian sebagai penghasil RUMAS (Pengetahuan Baru Untuk
Kesejahteraan Masyarakat), dan pemerintah daerah sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab bagi pembangunan masyarakat.
Secara keseluruhan, simpulan dari penelitian adalah adanya kemampuan
masyarakat Hatam untuk mengelola tiap satuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Kemampuan melakukan budidaya tanaman pangan, dan
pengetahuan tentang pengobatan alami merupakan potensi besar untuk
dikembangkan demi meningkatkan ketahanan pangan dan kesehatan yang lebih
baik bagi masyarakat Hatam kedepan. Untuk membangun masyarakat Hatam
secara berkelanjutan, maka tiga hal yang harus diperhatikan adalah : (i)
mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam rancangan kebijakan
pembangunan berkelanjutan yang diperuntukan bagi masyarakat Hatam, (ii)
menjamin pengakuan dan penguatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal
masyarakat Hatam dalam kerangka pengelolaan kawasan konservasi berbasis
sosial budaya yang berkelanjutan, (iii) pendampingan masyarakat Hatam dengan
sumberdaya dan IPTEKS yang sesuai dengan spesifik lokal sumberdaya alamnya
secara berkelanjutan.