Ikan Pelangi Arfak, Melanotaenia arfakensis Allen, 1990: Konservasi dan Pengembangannya di Sistem Sungai Prafi, Manokwari
View/Open
Date
2019Author
Manangkalangi, Emmanuel
Rahardjo, M. Fadjar
Hadiaty, Kurnia Hadiaty
Hariyadi, Sigid
Simanjuntak, Charles PH
Metadata
Show full item recordAbstract
Ikan pelangi arfak, Melanotaenia arfakensis adalah salah satu sumber daya
hayati endemik di perairan tawar Papua, khususnya pada beberapa sungai di
Manokwari. Spesies ikan ini berpotensi sebagai ikan hias karena berwarna
cemerlang dan ukuran yang relatif kecil, serta sebagai pengendali hayati
(biokontrol) terhadap larva nyamuk.
Kecenderungan populasi ikan endemik ini di habitat alami patut diduga
mengalami penurunan, berkaitan dengan perubahan habitat alaminya sebagai akibat
aktivitas penebangan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit, pertanian, dan
permukiman. Perubahan kondisi hidrologis sungai juga berkaitan dengan
pembuatan bendungan dan saluran irigasi. Penurunan kualitas habitat juga berkaitan
dengan masuknya pestisida dan limbah pengolahan minyak kelapa sawit ke dalam
sistem sungai. Juga keberadaan spesies ikan asing dikhawatirkan menambah
tekanan terhadap keberadaan populasi ikan pelangi arfak. Keberadaan ikan pelangi
arfak saat ini cukup banyak mengalami gangguan, dan statusnya dalam IUCN
redlist sudah berada dalam kategori rentan (vulnerable) dengan kriteria A2ce.
Berdasarkan beberapa masalah yang telah dikemukakan, penelitian ini
dilakukan untuk (1) mendeskripsikan degradasi dan fragmentasi habitat ikan
pelangi arfak di Sungai Nimbai dan S. Aimasi, (2) mendekripsikan efektivitas
mencari makan terkait dengan kondisi kekeruhan air, (3) menganalisis ekologi
trofik pada komuitas ikan terkait interaksi kompetisi dan pemangsaan terhadap ikan
endemik ini, (4) mendeskripsikan aktivitas pemijahan, perkembangan awal, dan
pertumbuhan larva sebagai informasi awal untuk keberhasilan dalam upaya
penangkaran dan pelepasliaran di habitat alami, dan (5) menyusun konsep strategi
konservasinya terkait informasi biologi dan ekologi yang telah tersedia.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan pelangi arfak terutama ditemukan
pada lokasi di bagian hulu Sungai Nimbai (L1-L4) dan Sungai Aimasi (L6-L7.2)
berdasarkan frekuensi kehadiran (>90,9 %) dan kelimpahan relatif (25,5 %).
Frekuensi kehadiran dan kelimpahan yang rendah ditemukan pada lokasi saluran
pembuangan limbah (L4.1-L4.3) dan lokasi di bagian ke arah hilir (L5 dan L8).
Indeks tumpang tindih pemanfaatan tipe habitat di lokasi ini juga menunjukkan nilai
yang semakin besar di antara ikan pelangi arfak dan spesies ikan asing. Persebaran
dan kelimpahan ikan pelangi arfak yang tinggi di bagian hulu diduga terkait dengan
kondisi habitat yang masih relatif sesuai bagi kehidupannya. Lokasi di bagian hulu
S. Nimbai dan S. Aimasi dicirikan oleh konsentrasi oksigen yang lebih tinggi,
kecepatan aliran air yang lebih tinggi, kedalaman air yang lebih dalam, dan pH air
yang lebih basa, kelimpahan ikan pelangi yang lebih tinggi. Sementara lokasi di
bagian saluran pembuangan limbah dan di bagian hilir dicirikan oleh tingkat
kekeruhan, alkalinitas total, konduktivitas, suhu air, dan kelimpahan ikan asing
yang lebih tinggi. Penurunan kualitas habitat di bagian hilir kedua sungai,
menyebabkan persebaran ikan pelangi arfak terbatas dengan kelimpahan menurun.
Habitat ikan pelangi arfak di bagian hilir Sungai Nimbai telah mengalami
degradasi berkaitan dengan berkurangnya vegetasi hutan riparia di bagian tepi
sungai sehingga masukan partikel tersuspensi dan kekeruhan dalam sistem sungai
meningkat. Hasil penelitian skala laboratoris menunjukkan bahwa tingkat
pemangsaan ikan pelangi arfak akan semakin menurun dengan semakin
meningkatnya tingkat kekeruhan. Tingkat pemangsaan rata-rata dalam setiap kelas
ukuran tidak berbeda nyata (p>0,05) di antara tingkat kekeruhan yang rendah
(50,52 NTU), dan mulai berbeda nyata (p<0,05) pada tingkat kekeruhan yang
lebih tinggi (>100,12 NTU). Kekeruhan menyebabkan penurunan efektivitas
mencari makan dan selanjutnya berakibat penurunan laju pertumbuhan, kelimpahan,
serta penyebaran di habitat alaminya.
Komposisi makanan ikan pelangi arfak didominasi oleh kelompok larva
insekta, khususnya Diptera dan Ephemeroptera. Tiga spesies ikan asli (E. fusca,
S. cynocephalus, A. grammepomus) dan tiga spesies ikan asing (A. panchax,
G. affinis, B. binotatus) juga memanfaatkan makanan yang sama. Dua spesies ikan
asli (A. marmorata, B. segura) dan dua spesies ikan asing lainnya (C. batrachus,
M. albus), terutama memakan kelompok hewan (termasuk fraksi ikan). Kategori
tumpang tindih relung makanan yang besar ditemukan di antara ikan pelangi arfak
dan ikan asli, juga dengan ikan asing. Hasil ini menunjukkan potensi interaksi
kompetisi secara alami di antara ikan pelangi arfak dan ikan asli, maupun sebagai
akibat masuknya ikan asing. Interaksi pemangsaan belum bisa dibuktikan secara
langsung, namun diduga berkaitan dengan ikan asing yang termasuk kelompok
karnivora. Keberadaan ikan asing menambah tekanan terhadap populasi ikan
pelangi arfak dan ikan asli terkait dengan pemangsaan dan kompetisi terhadap
sumber daya makanan.
Karakteristik aktivitas pemijahan ikan pelangi arfak berlangsung selama
waktu pagi-siang hari dalam tiga periode, dan selama 8-11 hari dalam satu periode.
Telur dilekatkan dengan filamen pada substrat di kedalaman 7,3-34 cm. Sebanyak
78-116 telur hasil pemijahan berdiameter 1,05-1,36 mm. Telur menetas dalam
periode 4-10 hari menjadi larva dengan panjang tubuh 4,13-4,40 mm. Ada tiga
tahap perkembangan larva yang berhasil dideskripsikan yakni preflexion with yolk,
flexion, dan postflexion. Pertumbuhan larva lambat sampai hari ke 8 dan meningkat
sampai hari ke 23, dan kembali menurun. Tingkat sintasan menurun dari 93,7 %
menjadi 57,0 % pada hari ke-5-14 (periode kritis) sampai 48,1% pada pengamatan
hari ke-41. Informasi ini memiliki implikasi terhadap keberhasilan upaya
perkembangbiakan dalam penangkaran dan pelepasliarannya di habitat alami.
Berdasarkan informasi biologi dan ekologi ikan pelangi arfak di sistem
Sungai Prafi yang telah tersedia, konsep strategi konservasi dapat diaplikasikan
secara in situ dan ex situ. Dalam skala in situ, pengembangan strategi konservasi
bisa dilakukan melalui upaya perlindungan yang terbatas berdasarkan daerah
sebaran dan/atau periode puncak musim pemijahan, restorasi habitat yang telah
rusak, dan peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap sumber
daya hayati ini. Secara ex situ, pengembangan strategi konservasi melalui upaya
penangkaran untuk perkembangbiakan dan pelepasliarannya di habitat alami.
Diharapkan konsep ini dapat membantu pelestarian populasi ikan endemik ini.
Collections
- DT - Fisheries [736]