Eksploitasi Tenaga Kerja Cadangan Pada Kapitalisme Pedalaman: Studi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah
View/Open
Date
2019Author
Moidady, Nuzulul Ichwal Fattah
Soetarto, Endriatmo
Agusta, Ivanovich
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan tiga hal. Pertama, menganalisa
bagaimana komodifikasi lahan dan tenaga kerja yang menyebabkan
kompetisi antar sesama kapitalis desa di Kecamatan Bualemo. Kedua,
Menjelaskan bagaimana perkebunan skala besar menciptakan dan memanfaatkan
tenaga kerja cadangan di desa-desa sekitar perkebunan. Ketiga, menjelaskan
eksploitasi tenaga kerja cadangan yang dilakukan perkebunan kelapa sawit dalam
proses produksi (pembibitan, penanaman, dan panen) di Kecamatan Buaelmo
Kabupaten Banggai. Dari ketiga tujuan tersebut peneliti juga menganalisis
indikasi-indikasi akan terjadinya ghost town sebagai konsekuensi beroperasinya
perkebunan skala besar (sawit).
Metodologi dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan ekonomi-politik agrarian (Bernstein 2014). Dimana untuk memahami
perubahan dan transisi agraria dalam dunia moderen, perlu analisis yang berpusat
pada kapitalisme dan perkembangannya. Kapitalisme yang dimaksud yakni,
sistem produksi dan reproduksi yang didasarkan pada relasi sosial antara kapital
dan buruh: kapital mengeksplioitasi buruh guna mengejar laba (keuntungan) dan
akumulasi, sementara buruh harus bekerja untuk kapital agar dapat bertahan hidup.
Informan dan responden dalam penelitian ini dipilih melalui teknik snow
ball (secara sengaja) sebanyak 14 orang. Informan-informan tersebut dari
berbagai macam latar belakang pekerja yakni, buruh harian lepas (lokal dan
transmigran) yang bekerja ditahapan pembibitan, penanaman, perawatan
(pemupukan dan pemarasan) dan panen untuk memperoleh data riwayat hidup,
jam kerja serta upah harian. Selain itu, peneliti juga mewawancarai petani pemilik
lahan luas baik penduduk lokal yang telah lama bermukim di Kecamatan
Bualemo maupun transmigran yang didatangkan Pemerintah Daerah sejak 1984.
Sedangkan pekerja di level manajemen, seperti estate manager, humas, HRD,
asisten kebun, koordinator lapangan, mandor, dan security perusahaan
diwawancara peneliti untuk memperoleh data bagaimana pekerja direkrut,
didisiplinkan dan dieksploitasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama, seperti disebutkan Li, (2011),
perkebunan menciptakan satu kantung pekerja (labour pool) di sekitar
perkebunan, sehingga tenaga kerja menjadi melimpah ruah, murah, dan sangat
mudah untuk mendisiplinkan dan mengontrol mereka. Dalam tesis ini (Bab V)
peneliti menemukan perkebunan tidak hanya menciptakan, tapi memanfaatkan
relasi identitas yang ada untuk menciptakan kantung tenaga kerja cadangan.
Penciptaan kantung pekerja tersebut bergantung pada proses-proses komodifikasi
lahan dan tenaga kerja yang terjadi antar penduduk lokal, transmigran dan
perkebunan skala besar (sawit). Situasi tersebut menciptakan kompetisi antar
sesama kelas kapitalis yang kemudian menghasilkan dominasi kapital perkebunan.
Tidak hanya itu, dalam merekrut buruh harian lepas, mandor dan humas
perusahaan juga bias relasi identitas yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan saat proses produksi berlangsung. Kedua, peneliti seturut dengan
argumentasi Das (2012) yang menyebutkan perampasan (apropriasi) nilai-lebih
absolut (absolut surplus value) tidak ditandai dengan penggunaan teknik
produksi yang maju. Cara yang ditempuh kelas kapitalis untuk mengapropriasi
nilai-lebih absolut adalah melalui peningkatan waktu kerja (surplus waktu kerja),
dimana kelas pekerja bekerja lebih lama. Atau, dengan memacu kelas pekerja
untuk bekerja secara intensif dalam waktu tertentu.
Sedangkan relative surplus value yakni eksploitasi kelas kapitalis terhadap
kelas pekerja melalui apropriasi nilai lebih relatif. Apropriasi nilai lebih relative
merupakan cara paling menonjol untuk meningkatkan eksploitasi terhadap kelas
pekerja dalam tahapan sejarah perkembangan kapitalisme yang lebih maju.
Apropriasi ini ditempuh dengan mengurangi nilai dari tenaga kerja melalui
pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi maju di dalam
proses produksi.
Namun, jika Das melihat dinamika perjuangan kelas (class struggle)
sebagai faktor yang memediasi perubahan relasi kerja antara buruh dan kelas
kapitalis, lainnya halnya dengan peneliti yang melihat dinamika tenaga kerja
cadangan yang terjadi menghasilkan eksploitasi yang dilakukan perkebunan skala
besar menggunakan dua strategi sekaligus dalam proses produksi yakni
absolute dan relative surplus value. Dimana dalam pembibitan dan
penanaman buruh harian lepas bekerja dengan waktu yang panjang, sedangkan
dalam perawatan dan panen buruh harian lepas bekerja lebih intensif dengan
penggunaan input teknologi moderen seperti pupuk NPK dan herbisida (round
up). Selanjutnya, atas proses eksploitasi tersebut, perusahaan mengalami
kontradiksi atas akumulasi yang dilakukannya. Disatu sisi ingin meningkatkan
nilai produksi panen TBS (Tandan Buah Segar) melalui introduksi input pertainan
seperti bibit, pupuk, dan herbisida dengan ongkos produksi yang besar. Disisi yang
lain, menekan biaya upah buruh serendah-rendahnya, namun tetap
memerlukannya sebagai syarat utama meningkatkan hasil produksi (Bab VI).
Ketiga, sebagai konsekuensi dari bekerjanya industri ekstraktif di hulu atau
wilayah yang jauh dari pusat kota, kontrol sosial menjadi nir. Sebagian besar
surplus juga hanya diperoleh elit desa (pekerja tetap) yang memanfaatkan relasi
identitas saat proses produksi berlangsung (relasi kerja industrial).
Akibat lanjutan yang ditimbulkan selama relasi kerja industrial
dipraktekkan perusahaan perlahan (ter-erosi) turut merubah relasi kekerabatan
yang menjadi penopang jika petani-petani kecil di desa mengalami kesulitan
hidup. Harapan akan membaiknya nasib para buruh saat terserap dalam sistem
kerja perkebunan nampaknya semakin sulit diwujudkan. Kesempatan
memperbaiki kehidupan menjadi niscaya karena status buruh harian lepas yang
permanen sepanjang beroperasinya perkebunan. Oleh karena itu, jika dalam
jangka waktu kurang dari satu dekade (2009-2017) saja tenaga kerja cadangan
mengalami persoalan pelik seperti disebutkan dalam Bab VI, dapat dipastikan
masa depan tenaga kerja cadangan semakin tidak menentu atas konsekuensikonsekuensi
sosial dan ekonomi yang diciptakan perkebunan (rekrutmen, proses
kerja dan pasca PHK) atau apa yang sebut Sajogyo (1982) sebagai
“Modernization Without Development”.
Collections
- MT - Human Ecology [2273]