Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia
View/ Open
Date
2020Author
Rahma, Hania
Fauzi, Akhmad
Juanda, Bambang
Widjojanto, Bambang
Metadata
Show full item recordAbstract
Fenomena Natural Resource Curse (NRC) telah diamati di banyak negara.
Istilah resource curse secara resmi pertama kali diperkenalkan oleh Auty pada
tahun 1993 setelah penelitiannya menemukan bahwa negara-negara yang kaya akan
sumber daya alam tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk
mendorong perekonomiannya sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih
lambat dari negara-negara yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.
Sachs dan Warner (1995) adalah yang pertama kali melakukan studi empiris untuk
membuktikan adanya pengaruh negatif antara ketergantungan sumber daya alam
dan pertumbuhan ekonomi. Setelah temuan Sachs dan Warner, banyak kajian
empiris dengan berbagai pendekatan dan alat analisis memperkuat temuan tentang
adanya fenomena tersebut di banyak negara.
Di Indonesia fenomena NRC diduga terjadi di tingkat daerah, namun masih
sangat jarang penelitian empiris yang menganalisis secara mendalam fenomena
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengukur indeks NRC di tingkat
provinsi di Indonesia; 2) Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi kausal yang
dapat menjelaskan terjadinya fenomena NRC di antara provinsi-provinsi penghasil
utama tambang di Indonesia; 3) Memprediksi fenomena NRC di provinsi-provinsi
tersebut di masa mendatang; dan 4) Melakukan analisis prospektif untuk
merumuskan variabel strategis dan peran para stakeholders dalam upaya mengatasi
fenomena NRC di provinsi yang mengalami fenomena NRC tertinggi.
Penelitian ini menggunakan empat jenis metode analisis. Metode Indeks
Komposit digunakan untuk menghitung Natural Resource Dependency Index
(NRDI), Regional Sustainable Development Index (RSDI) dan Regional Resource
Curse Index (RRCI) di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Kalimantan Utara.
Untuk menganalisis kondisi kausal yang dapat menjelaskan terjadinya fenomena
NRC pada tujuan kedua digunakan metode fuzzy-set Qualitative-Quantitative
Comparative Analysis (fsQCA). Metode Artificial Neural Network (ANN)
digunakan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu melakukan prediksi fenomena NRC
di masa datang. Terakhir, untuk melakukan analisis prospektif pada tujuan keempat
digunakan metode MICMAC dan MACTOR. Analisis dibatasi pada sumber daya
alam tambang. Analisis pada tujuan pertama hingga ketiga menggunakan data
sekunder kurun waktu 2013-2017, sedangkan tujuan keempat menggunakan data
primer yang diperoleh dari focus group discussion dan wawancara mendalam
dengan sejumlah stakeholders yang terkait dan terlibat dengan pengelolaan sumber
daya alam tambang.
Hasil penelitian membuktikan bahwa fenomena NRC terjadi di tingkat
provinsi di Indonesia. Ada empat temuan terkait hubungan antara tingkat
ketergantungan daerah terhadap sumber daya alam tambang dengan capaian kinerja
pembangunan berkelanjutan. Pertama, ketergantungan ekonomi dan keuangan yang
besar terhadap sumber daya alam tambang tidak menjamin suatu daerah mampu
menciptakan kinerja pembangunan berkelanjutan yang tinggi. Kedua, fenomena
NRC lebih rentan terjadi pada provinsi dengan ketergantungan sumber daya alam
tambang yang lebih besar. Ketiga, provinsi penghasil minyak dan gas bumi
mengalami fenomena NRC yang lebih besar dibandingkan provinsi lain yang hanya
mengandalkan mineral dan batubara. Keempat, provinsi dengan skor keberlanjutan
yang lebih tinggi dalam pembangunan daerahnya menunjukkan kecenderungan
yang lebih besar untuk terhindar dari fenomena NRC. Di antara 20 provinsi
penghasil utama tambang di Indonesia, Kalimantan Timur merupakan provinsi
yang mengalami fenomena NRC paling tinggi, diikuti oleh Papua Barat, Papua,
Riau, dan Aceh.
Tujuh kondisi kausal membentuk kombinasi pada empat pathway berbeda
dan secara baik mampu menjelaskan terjadinya fenomena NRC di 15 provinsi yang
dikategorikan mengalami fenomena NRC tinggi. Tujuh kondisi kausal tersebut
adalah: 1) rendahnya sumbangan sektor di luar pertambangan dan penggalian
terhadap PDRB; 2) banyaknya korupsi pada birokrasi pemerintahan; 3) rendahnya
kapasitas dan integritas kepala daerah; 4) rendahnya persentase jumlah ijin usaha
pertambangan yang berstatus clean and clear; 5) rendahnya alokasi belanja
pemerintah daerah untuk pendidikan; 6) rendahnya alokasi belanja pemerintah
daerah untuk kesehatan; dan 7) rendahnya alokasi belanja pemerintah daerah untuk
ekonomi. Tingkat korupsi yang tinggi muncul di seluruh pathway dan rendahnya
integritas kepala daerah muncul pada pathway yang dilewati oleh sejumlah provinsi
yang mengalami fenomena NRC tertinggi.
Model ANN memprediksi ke depan bahwa tumbuhnya sektor nonpertambangan,
berkurangnya tingkat korupsi pada birokrasi pemerintahan,
peningkatan kapasitas dan integritas kepala daerah, peningkatan persentase jumlah
ijin usaha pertambangan berstatus clean and clear, kenaikan alokasi belanja
pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan dan ekonomi dapat menurunkan
besaran fenomena NRC di masa datang pada hampir semua provinsi.
Hasil studi kasus di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa variabel
pada dimensi kelembagaan, politik dan tata kelola sumber daya alam menjadi
variabel kunci yang menentukan keberhasilan mengatasi fenomena NRC. Variabel
tersebut adalah: 1) kapasitas dan integritas kepala daerah; 2) kapasitas dan integritas
aparat birokrasi pemerintahan; 3) tingkat korupsi pada bisnis tambang; 4)
keberadaan oligarki pada bisnis tambang; 5) transparansi dalam sistem perijinan
usaha tambang; 6) koordinasi antar-organisasi pemerintah dalam tata kelola
tambang; 7) penegakan hukum; dan 8) pengawasan pemerintah terhadap aktivitas
tambang. Variabel-variabel tersebut terutama berpengaruh terhadap variabel
lainnya, yaitu: 1) akurasi data produksi yang dilaporkan oleh pengusaha; 2) akurasi
pembayaran royalti yang disetorkan oleh pengusaha ke kas negara; 3) pelaksanaan
reklamasi lahan bekas tambang; 4) kualitas lingkungan hidup di kawasan tambang
dan sekitarnya; dan 5) penanganan konflik yang terjadi antara pengusaha tambang
dan masyarakat di kawasan lingkar tambang.
Dinas ESDM, inspektur tambang dan Bappeda merupakan influence
stakeholder dengan tingkat pengaruh neto paling tinggi. Ketiganya menjadi aktor
kunci untuk melakukan perbaikan pada sebagian besar variabel-variabel penting di
atas agar dapat mendorong daerah keluar dari fenomena NRC. Upaya tersebut akan
semakin kuat jika ketiga aktor tersebut membangun aliansi atau kerja sama yang
efektif dengan aktor lainnya. Variabel yang paling efektif untuk memobilitasi para
aktor untuk membangun aliansi tersebut adalah variabel reklamasi paska tambang,
variabel pengawasan pemerintah terhadap aktivitas tambang dan variabel
peningkatan kapasitas dan integritas kepala daerah. Sementara itu, aktor dengan
derajat mobilisasi paling tinggi adalah Dinas ESDM dan CSO tambang.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah
Pusat dalam menentukan kebijakan hubungan keuangan Pusat dan daerah terutama
dalam merumuskan formulasi Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan sumber
daya alam yang lebih transparan, efisien, akuntabel dan mengedepankan prinsip
keadilan bagi daerah penghasil. Perbaikan kualitas kelembagaan pemerintahan
harus menjadi perhatian utama. Peningkatan integritas kepala daerah dan birokrasi
pemerintah dapat dilakukan dengan membuat regulasi daerah yang mengedepankan
aspek partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem perijinan usaha
pertambangan. Perlu dilakukan penambahan jumlah inspektur tambang dan
penyidik ASN di sektor mineral dan batubara untuk menghindari pelaporan data
produksi, penjualan dan pembayaran royalty yang tidak akurat dan berpotensi
merugikan keuangan negara. Untuk mengatasi oligarki, diperlukan regulasi yang
mewajibkan perusahaan dalam industri tambang untuk mengungkapkan nama
pemilik manfaat (beneficiary owner) atau Politically Exposed Person (PEP). Saat
ini perusahaan hanya diwajibkan untuk menyebutkan nama dewan direktur dan
pemegang saham (pemilik legal).
Dalam jangka panjang, perlu disusun sebuah road map daerah untuk
melakukan transisi struktur ekonomi dari ekonomi berbasis tambang ke ekonomi
berbasis non tambang, serta percepatan transisi energi dari batubara ke energi bersih
dan terbarukan. Pemulihan kualitas lingkungan hidup pada kawasan tambang dan
sekitarnya perlu didorong dengan penegakan hukum yang lebih berani terhadap
pengusaha tambang yang melakukan pelanggaran kewajiban reklamasi dan juga
mendorong diterapkannya PP No.46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup.