dc.description.abstract | Intrauterine programming dengan metode stimulasi folikel menggunakan
eCG sebelum kawin telah banyak diterapkan pada ruminansia kecil untuk
mengoptimalkan kualitas anakannya. Penerapan pemberian equine chorionic
gonadotrophin (eCG) sebelum kawin pada sapi sebagai hewan monotokus dapat
menimbulkan masalah berupa risiko multiple calving. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari pengaruh eCG dosis rendah (dosis non-superovulatori) pada
perolehan folikel dominan dan kualitas estrus serta perubahan makro dan
mikromorfologi ovarium dan uterus.
Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mempelajari perkembangan folikel
dan pembentukan folikel dominan pre-ovulatori sehingga dapat diketahui dosis
yang dapat menekan risiko multiple calving. Sapi peranakan ongole (PO) dara
berjumlah 9 ekor dibagi ke dalam tiga kelompok dosis eCG, yaitu kontrol (NaCl 0.9%
sebagai placebo), dosis eCG 0.5, dan 1.0 IU/kg BB. Injeksi eCG dilakukan pada awal
gelombang folikel ke-2 berdasarkan perubahan dinamika ovari yang dikonfirmasi
menggunakan USG diikuti injeksi PGF2α 48 jam kemudian. Perkembangan folikel
sejak injeksi eCG hingga terbentuknya folikel dominan (Fd) diamati dan dipetakan
menggunakan USG. Jumlah Fd tertinggi terdapat pada dosis eCG 1.0 IU/kg BB
(4.67+1.67) secara signifikan (P<0.05), sedangkan Fd yang terbentuk pada dosis eCG
0.5 IU/kg BB berjumlah satu, sama dengan kelompok kontrol (P>0.05). Meskipun
jumlah Fd yang terbentuk berjumlah satu, namun diameter dan volume kelompok sapi
yang disuntik eCG dengan dosis 0.5 IU/kg BB lebih besar 16.13% dan 57.14% secara
berurutan dibandingkan kelompok kontrol, diikuti oleh dosis 1.0 IU/kg BB dengan
nilai tertinggi secara signifikan (P<0.05). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui
bahwa jumlah Fd yang terbentuk pada dosis penyuntikan eCG 0.5 IU/kg BB dapat
terkontrol sehingga dapat digunakan sebagai metode pendekatan intrautering
programming pada hewan monotokus.
Penelitian tahap kedua merupakan lanjutan dari tahap kesatu yang bertujuan
untuk mempelajari kualitas estrus berdasarkan skoring pada perilaku estrus yang
tampak dan mempelajari perubahan makroanatomi traktus reproduksi. Sembilan
ekor sapi PO dara yang telah dewasa kelamin dibagi secara acak ke dalam tiga
kelompok dosis eCG, yaitu 0 (kontrol), 0.5, dan 1.0 IU/kg BB yang diinjeksi
secara intramuskuler pada awal gelombang folikel kedua. Dosis tunggal PGF2α
diinjeksi 48 jam kemudian diikuti pengamatan estrus 48-72 jam kemudian dan
koleksi traktus reproduksi yang dilakukan pada hari yang sama. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua sapi yang disuntik dengan eCG dosis 1.0 IU/kg BB
(100%) menunjukkan nilai performa estrus tertinggi (skor 3). Sementara itu, sapi
PO dara yang disuntik eCG dengan dosis 0.5 IU/kg BB hanya 33.33% yang
mencapai skor 3 dan 66.67% masih mencapai skor 2. Kelompok sapi PO dara
kontrol yang tidak disuntik eCG sebanyak 66.67% masih memiliki skor 1 dan
hanya 33.33% yang mencapai skor 2. Dimensi ovarium ditemukan meningkat
secara signifikan pada dosis eCG yg lebih tinggi (P<0.05), demikian pula
diameter cornua uteri, corpus uteri, dan cervix yang lebih tinggi pada dosis yang
meningkat secara signifikan (P<0.05). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa pemberian eCG dosis rendah dapat meningkatkan kualitas
estrus yang erat kaitannya dengan peningkatan dimensi traktus reproduksi oleh
sekresi lendir uterus dan cervix sehingga terindikasi kuat dapat meningkatkan
peluang keberhasilan konsepsi apabila dikawinkan.
Penelitian tahap ketiga difokuskan pada studi kuantitatif sel granulosa
folikel dominan pre-ovulatori dan kaitannya dengan sekresi estradiol serta respons
aktivitas kelenjar uterus berdasarkan pengamatan mikromorfologi endometrium.
Sembilan ekor sapi PO dara dibagi ke dalam tiga kelompok dosis eCG (dalam
IU/kg BB) masing-masing sebagai kontrol (0), dosis 0.5, dan 1.0 IU/kg BB.
Injeksi eCG dilakukan pada awal gelombang folikel kedua yang diikuti injeksi
PGF2α 48 jam kemudian. Kemudian pada fase estrus dilakukan koleksi sampel
darah untuk evaluasi konsentrasi estradiol plasma. Pada hari yang sama dilakukan
koleksi ovarium dan traktus reproduksi untuk pengamatan histologi jaringan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis eCG non-superovulatori pada
gelombang folikel kedua mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
sel granulosa (GC) secara signifikan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi
estradiol plasma sebesar 39.47 dan 113.57% secara berurutan pada sapi yang
diinjeksi eCG dosis 0.5 dan 1.0 IU/kg BB. Peningkatan konsentrasi estradiol
plasma menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar uterus secara
signifikan (P<0.05) yang dibuktikan dengan adanya peningkatan pada semua
parameter pengukuran kuantitatif histomorfologi kelenjar uterus. Administrasi
eCG dosis rendah pada gelombang folikel kedua mampu meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan sel granulosa Fd untuk memproduksi estradiol
dalam jumlah yang lebih tinggi sehingga meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan kelenjar uterus tanpa meningkatkan risiko multiple calving. | id |