Show simple item record

dc.contributor.advisorManalu, Wasmen
dc.contributor.advisorBoediono, Arief
dc.contributor.advisorAmrozi
dc.contributor.advisorWinarto, Adi
dc.contributor.authorPutro, Krido Brahmo
dc.date.accessioned2020-01-08T02:40:38Z
dc.date.available2020-01-08T02:40:38Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/100884
dc.description.abstractIntrauterine programming dengan metode stimulasi folikel menggunakan eCG sebelum kawin telah banyak diterapkan pada ruminansia kecil untuk mengoptimalkan kualitas anakannya. Penerapan pemberian equine chorionic gonadotrophin (eCG) sebelum kawin pada sapi sebagai hewan monotokus dapat menimbulkan masalah berupa risiko multiple calving. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh eCG dosis rendah (dosis non-superovulatori) pada perolehan folikel dominan dan kualitas estrus serta perubahan makro dan mikromorfologi ovarium dan uterus. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mempelajari perkembangan folikel dan pembentukan folikel dominan pre-ovulatori sehingga dapat diketahui dosis yang dapat menekan risiko multiple calving. Sapi peranakan ongole (PO) dara berjumlah 9 ekor dibagi ke dalam tiga kelompok dosis eCG, yaitu kontrol (NaCl 0.9% sebagai placebo), dosis eCG 0.5, dan 1.0 IU/kg BB. Injeksi eCG dilakukan pada awal gelombang folikel ke-2 berdasarkan perubahan dinamika ovari yang dikonfirmasi menggunakan USG diikuti injeksi PGF2α 48 jam kemudian. Perkembangan folikel sejak injeksi eCG hingga terbentuknya folikel dominan (Fd) diamati dan dipetakan menggunakan USG. Jumlah Fd tertinggi terdapat pada dosis eCG 1.0 IU/kg BB (4.67+1.67) secara signifikan (P<0.05), sedangkan Fd yang terbentuk pada dosis eCG 0.5 IU/kg BB berjumlah satu, sama dengan kelompok kontrol (P>0.05). Meskipun jumlah Fd yang terbentuk berjumlah satu, namun diameter dan volume kelompok sapi yang disuntik eCG dengan dosis 0.5 IU/kg BB lebih besar 16.13% dan 57.14% secara berurutan dibandingkan kelompok kontrol, diikuti oleh dosis 1.0 IU/kg BB dengan nilai tertinggi secara signifikan (P<0.05). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa jumlah Fd yang terbentuk pada dosis penyuntikan eCG 0.5 IU/kg BB dapat terkontrol sehingga dapat digunakan sebagai metode pendekatan intrautering programming pada hewan monotokus. Penelitian tahap kedua merupakan lanjutan dari tahap kesatu yang bertujuan untuk mempelajari kualitas estrus berdasarkan skoring pada perilaku estrus yang tampak dan mempelajari perubahan makroanatomi traktus reproduksi. Sembilan ekor sapi PO dara yang telah dewasa kelamin dibagi secara acak ke dalam tiga kelompok dosis eCG, yaitu 0 (kontrol), 0.5, dan 1.0 IU/kg BB yang diinjeksi secara intramuskuler pada awal gelombang folikel kedua. Dosis tunggal PGF2α diinjeksi 48 jam kemudian diikuti pengamatan estrus 48-72 jam kemudian dan koleksi traktus reproduksi yang dilakukan pada hari yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua sapi yang disuntik dengan eCG dosis 1.0 IU/kg BB (100%) menunjukkan nilai performa estrus tertinggi (skor 3). Sementara itu, sapi PO dara yang disuntik eCG dengan dosis 0.5 IU/kg BB hanya 33.33% yang mencapai skor 3 dan 66.67% masih mencapai skor 2. Kelompok sapi PO dara kontrol yang tidak disuntik eCG sebanyak 66.67% masih memiliki skor 1 dan hanya 33.33% yang mencapai skor 2. Dimensi ovarium ditemukan meningkat secara signifikan pada dosis eCG yg lebih tinggi (P<0.05), demikian pula diameter cornua uteri, corpus uteri, dan cervix yang lebih tinggi pada dosis yang meningkat secara signifikan (P<0.05). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian eCG dosis rendah dapat meningkatkan kualitas estrus yang erat kaitannya dengan peningkatan dimensi traktus reproduksi oleh sekresi lendir uterus dan cervix sehingga terindikasi kuat dapat meningkatkan peluang keberhasilan konsepsi apabila dikawinkan. Penelitian tahap ketiga difokuskan pada studi kuantitatif sel granulosa folikel dominan pre-ovulatori dan kaitannya dengan sekresi estradiol serta respons aktivitas kelenjar uterus berdasarkan pengamatan mikromorfologi endometrium. Sembilan ekor sapi PO dara dibagi ke dalam tiga kelompok dosis eCG (dalam IU/kg BB) masing-masing sebagai kontrol (0), dosis 0.5, dan 1.0 IU/kg BB. Injeksi eCG dilakukan pada awal gelombang folikel kedua yang diikuti injeksi PGF2α 48 jam kemudian. Kemudian pada fase estrus dilakukan koleksi sampel darah untuk evaluasi konsentrasi estradiol plasma. Pada hari yang sama dilakukan koleksi ovarium dan traktus reproduksi untuk pengamatan histologi jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis eCG non-superovulatori pada gelombang folikel kedua mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel granulosa (GC) secara signifikan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi estradiol plasma sebesar 39.47 dan 113.57% secara berurutan pada sapi yang diinjeksi eCG dosis 0.5 dan 1.0 IU/kg BB. Peningkatan konsentrasi estradiol plasma menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar uterus secara signifikan (P<0.05) yang dibuktikan dengan adanya peningkatan pada semua parameter pengukuran kuantitatif histomorfologi kelenjar uterus. Administrasi eCG dosis rendah pada gelombang folikel kedua mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel granulosa Fd untuk memproduksi estradiol dalam jumlah yang lebih tinggi sehingga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar uterus tanpa meningkatkan risiko multiple calving.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcAnimal husbandryid
dc.subject.ddcCattleid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcSukabumi-Jawa Baratid
dc.titlePerbaikan Kondisi Intrauterus Sapi PO Dara pada Fase Estrus dengan eCG Dosis Rendah.id
dc.title.alternativeIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordeCGid
dc.subject.keywordfolikel dominanid
dc.subject.keywordintrauterine programmingid
dc.subject.keywordsapi POid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record