Show simple item record

dc.contributor.advisorSumardjo
dc.contributor.advisorSutjahjo, Surjono H
dc.contributor.advisorWidiatmaka
dc.contributor.advisorKurniawan, Rachman
dc.contributor.authorGeria, I Made
dc.date.accessioned2020-01-08T02:39:43Z
dc.date.available2020-01-08T02:39:43Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/100882
dc.description.abstractSistem tata kelola irigasi tradisional yang menjadi pilar kebudayaan masyarakat Bali mulai mengalami masalah, terutama pada budaya subak. Permasalahan yang terjadi adalah alam mulai terdegradasi dan berpotensi dalam melemahkan harmonisasi manusia dan lingkungannya pada sejumlah subak. Khususnya, budaya subak berkaitan erat dengan ritual, hanya efektif dalam tataran ideologi. Masyarakat Bali menganut kepercayaan yang masih melekat dengan konsep Tri Hita Karana (THK). Namun dalam tatarannya, konversi lahan mengakibatkan implementasi sejumlah subak mulai terdegradasi, alih profesi, ekonomi lemah, dan hilangnya minat generasi muda untuk melanjutkannya. Pemenuhan kebutuhan hidup yang dialami masyarakat mulai dihadapkan pada masalah ekonomi yang kurang baik. Perubahan ekologi pada masyarakat Sarbagita dinilai akan mengancam konsep keseimbangan antara manusia dan alamnya yang dikenal dengan keseimbangan Buana Agung (bumi) dan Buana Alit (manusia). Perubahan ekologi peradaban subak mencakup alih fungsi lahan, kawasan sumber resapan dan pengelolaan pertanian yang tidak ramah lingkungan. Terjadinya alih fungsi lahan yang meningkat didorong oleh perilaku hedoisme masyarakat yang relatif tinggi. Pada tahun 2013 Bali memiliki lahan sawah sekitar 81,165 ha dari total luasan penggunaan lahan. Pada tahun 2016 lahan sawah yang dimiliki Bali berkurang menjadi 79,526 ha. Pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 terjadi alih fungsi lahan sawah di Bali seluas 1,639 ha atau sebesar 2.02 persen (BPS Bali 2016). Kepercayaan mengenai adanya kayu larangan yang merupakan sumber resapan dan pencegahan erosi juga mulai berkurang. Permasalahan lain yang terjadi adalah adanya alih profesi dari bidang pertanian ke bidang pariwisata. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), pada tahun 2013 dan 2016 penduduk Bali yang bekerja di bidang pertanian berjumlah sebesar 547,750 dan 506,251, sedangkan penduduk Bali yang bekerja di bidang pariwisata sebesar 616,610 dan 728,757. Terjadinya penurunan pada sektor pertanian berjumlah 7.6 persen, sementara sektor pariwisata mengalami peningkatan sebesar 18.2 persen (BPS 2017). Penurunan tersebut disebabkan pekerjaan pertanian yang dilakukan merupakan pekerjaan tambahan serta kurangnya minat generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena subak mempunyai peran sebagai cagar budaya masyarakat Bali dan sebagai konservasi lingkungan. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menyinergikan kearifan subak dengan pengembangan ekowisata. Perubahan dan kemajuan pariwisata diyakini memberikan pengaruh dan kontribusi yang baik. Namun melalui peraturan daerah, perlu dipertimbangkan upaya peningkatan ekonomi masyarakat yang tetap mengacu pada upaya keberlanjutan. Beberapa aspek penting bagi pariwisata di antaranya berkaitan dengan perjalanan wisata, lingkungan alam, keterlibatan masyarakat lokal, budaya lokal, dan kelestarian lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis eksistensi peran kearifan lokal subak dalam pelestarian lingkungan di Sarbagita Bali; (2) menganalisis status keberlanjutan subak di kawasan Sarbagita ditinjau dari enam dimensi keberlanjutan pembangunan, (3) membangun model dinamik pengelolaan subak yang berkelanjutan di kawasan Sarbagita Bali, dan (4) menyusun arah strategi kebijakan pengembangan subak yang berkelanjutan berbasis wisata peradaban ekologi (eco cultur tourism) di kawasan Sarbagita Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis deskriptif yang digunakan untuk mengukur eksistensi dan efektivitas peradaban subak di Sarbagita, (2) analisis Multi Dimensional Scaling yang digunakan untuk mengetahui status keberlanjutan peradaban subak di Sarbagita, (3) pendekatan sistem dinamis yang digunakan untuk membuat model pengelolaan peradaban subak yang berkelanjutan, dan (4) analisis AWOT (AHP-SWOT) yang digunakan untuk membuat strategi pengembangan peradaban subak sebagai wisata peradaban ekologi (eco culture tourism). Hasil analisis menunjukkan bahwa budaya subak masih terus berkembang dan kuat pada tataran superstruktur. Namun, khususnya pada daerah perkotaan mulai terjadi pelemahan pada tataran implementasi. Pelaksanaan dan pelestarian masyarakat Sarbagita didasarkan tiga komponen yang diteliti efektif, bahkan untuk komponen superstruktur, masuk kedalam kategori sangat efektif dengan nilai efektivitas mencapai 83.84 persen. Dengan demikian, perlu dipertahankan komponen superstruktur yang menjadi benteng peradaban di Sarbagita. Komponen struktur sosial dan infrastruktur mempunyai nilai cukup rendah yaitu 59.55 persen dan 50.32 persen yang termasuk dalam kategori efektif, tetapi berada pada titik kritis. Perbaikan perlu dilakukan pada tataran struktur sosial dan infrastruktur agar ketiga komponen peradaban subak dapat berjalan efektif. Peradaban subak Sarbagita secara umum berkelanjutan lemah pada setiap dimensi. Dimensi sosial budaya memiliki nilai relatif tinggi dengan nilai keberlanjutan mencapai 55.92 persen. Di sisi lain, dimensi ekonomi dan ekologi masih rendah dengan nilai keberlanjutan sebesar 50.61 persen dan 52.78 persen. Terdapat empat sub-modal pada model pengelolaan subak Sarbagita, yaitu modal sosial, modal lingkungan, modal ekonomi, dan modal budaya. Simulasi pada setiap model untuk keberlanjutan peradaban subak Bali dilakukan pada model sosial dengan cara menghambat atau mengontrol laju pertumbuhan agar luas pemukiman dapat terkontrol pada model lingkungan. Dampak yang terjadi pada lahan sawah dapat ditekan pada pemukiman sehingga luas sawah dapat dikendalikan, bahkan dapat bertambah luasnya. Luas sawah yang tetap terjaga akan menghasilkan produksi padi. Peran peradaban subak dapat mendukung penyelamatan budaya subak yang berkelanjutan dengan penguatan ekonomi di bidang pariwisata. Intervensi perlu dilakukan terhadap kebijakan pemerintah melalui regulasi, peran swasta, masyarakat, dan peran subak sebagai subjek. Peradaban subak Sarbagita sebagai eco culture tourism memanfaatkan kekuatan sistem religi yang masih dipegang oleh masyarakat Bali. Selain itu, penyerapan tenaga kerja menjadi faktor penting terkait kebutuhan kehidupan dan peningkatan perekonomian masyarakat Bali. Hal tersebut merupakan salah satu solusi yang dapat diimplementasikan untuk menyinergikan pertanian dan pariwisata dengan menerapkan eco culture tourism.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcNatural Resourcesid
dc.subject.ddcLocal Civilizationid
dc.subject.ddc2018id
dc.subject.ddcDenpasar, Baliid
dc.titleModel Pengelolaan Subak Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Sarbagita Baliid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordAWOTid
dc.subject.keywordkeberlanjutanid
dc.subject.keywordMDSid
dc.subject.keywordperadaban subakid
dc.subject.keywordsistem dinamisid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record