Etnobotani dan Ekologi Merpayang (Scaphium macropodum) di Kawasan Hutan Produksi Sarolangun Jambi
View/Open
Date
2019Author
Br Lubis, Rizky Febriana
Hikmat, Agus
Zuhud, Ervizal AM
Metadata
Show full item recordAbstract
Salah satu spesies scaphium yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Pengulu di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi sebagai obat adalah buah dari Scaphium macropodum dalam bahasa setempat disebut “merpayang” atau “mempayang”. Spesies S. macropodum merupakan salah satu tumbuhan yang berasal dari famili Sterculiaceae. Spesies ini memiliki tujuh sub spesies lainnya, namun S. macropodum yang memiliki sebaran yang lebih luas dan banyak dimanfatkan oleh masyarakat. Buah S. macropodum memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan karena memiliki manfaat yang sangat banyak. Buah dari tumbuhan ini telah lama dimanfaatkan sebagai obat dan minuman oleh masyarakat Indonesia maupun di luar negeri, seperti di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina.
Studi tentang etnobotani dan ekologi S. macropodum diperlukan sebagai informasi awal tentang pemanfaatan S. macropodum pada Suku Pengulu, kondisi populasi dan habitat S. macropodum di kawasan hutan produksi Sarolangun Jambi. Informasi ini berperan penting dalam pengelolaan S. macropodum oleh KPHP Limau Unit VII Hulu. Tujuan penelitian ini antara lain: mendeskripsikan etnografi Suku Pengulu, mengidentifikasi pemanfaatan S. macropodum oleh Suku Pengulu, menduga populasi S. macropodum di kawasan hutan produksi Sarolangun Jambi, menganalisis faktor ekologi yang mempengaruhi habitat S. macropodum dan menyusun strategi konservasi S. macropodum berdasarkan pengetahuan etnobotani dan kondisi ekologinya.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018 – Januari 2019. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan studi pustaka. Data dianalisis secara deskriptif dan kualitatif. Data etnografi dan etnobotani dianalisis secara deskriptif kualitatif. Faktor ekologi S. macropodum dianalisis dengan menggunakan INP (Indeks Nilai Penting), indeks diversitas (keanekaragaman dan kemerataan), indeks kesamaan komunitas (metode Ward), dan PCA (Principal Component Analysis).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Suku Pengulu merupakan salah satu Suku Melayu Sumatera Barat, yang tinggal di daerah pegunungan Kabupaten Sarolangun Jambi. Suku Pengulu masih mempertahankan sistem religi dan kepercayaan dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan cara berburu, peladang atau bertani, memanfaatkan hasil hutan dan mendulang emas. Masyarakat Suku Pengulu telah lama memanfaatkan buah S. macropodum sebagai obat panas dalam, demam, pencahar, ambeien, batuk anak, dan obat gatal. Selain buah, masyarakat juga memanfaatkan bagian lain dari S. macropodum seperti getah, kulit, daun, akar, anakan dan kayu sebagai obat atau penggunaan lainnya.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi di lapangan menunjukkan bahwa lokasi penelitian Hutan Adat Desa Meribung (HA DM) memiliki potensi jumlah tertinggi pada semua tingkat pertumbuhan S. macropodum yaitu ditemukan 215 ind/ha, Area Penggunaan Lain Napal Melintang (APL NM) dengan potensi jumlah S. macropodum yaitu 114 ind/ha, Hutan Lindung Desa Temalang (HL DT) dengan potensi jumlah S. macropodum 108, sedangkan Area Penggunaan lain Desa Mersip
(APL DM) dengan potensi jumlah S. macropodum yang ditemukan yaitu 83 ind/ha. Pola sebaran S. macropodum bersifat mengelompok pada tiga lokasi yaitu APL NM, HA DM, dan HL DT, dan seragam pada APL DM. Tegakan S. macropodum pada keempat lokasi penelitian memiliki kesamaan distribusi yang berbentuk grafik J terbalik. Hal ini terlihat dari jumlah S. macropodum terbanyak berada pada tingkat pertumbuhan semai lalu jumlah akan menurun sebanding dengan bertambahnya ukuran diameter dan tinggi batang S. macropodum sehingga S. macropodum yang memiliki ukuran diameter paling besar (pohon) memiliki jumlah yang paling sedikit.
Hasil penelitian menemukan 47 spesies dari 18 famili vegetasi pohon penyusun di habitat S. macropodum. Meranti (Shorea parviflora) merupakan spesies pohon yang dominan ditemukan di dua lokasi penelitian habitat S. macropodum yaitu APL NM dan HA DM. Pada lokasi penelitian HL DT dan APL DM spesies yang dominan ditemukan adalah kelapa tupai (Shorea multiflora) dan kaki nyamuk (Canarium sp). Analisis keanekaragaman Shannon-Wienner dan kemerataan (Evennes) pada keempat lokasi penelitian menunjukkan bahwa keragaman dan kemerataaan vegetasi pohon sedang. APL NM dan HA DM memiliki kesamaan komunitas yang cukup besar yaitu 90.81%, sedangkan APL DM pada umumnya memiliki indeks keanekaragaman yang rendah bila dibandingkan dengan APL NM, HA DM, dan HL DT. Simpai (Presbytis melalophos) merupakan satwa yang turut andil dalam proses pemencaran biji dari S. macropodum. Kelembaban merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap habitat pertumbuhan S. macropodum. Kelembaban yang sesuai untuk habitat S. macropodum seperti yang terdapat pada lokasi HA DM yaitu 89%. Hal ini sesuai dengan hasil di lapangan dimana anakan S. macropodum membutuhkan naungan untuk dapat bertahan hidup.
Konservasi S. macropodum diperlukan yaitu strategi dapat meningkatkan edukasi masyarakat agar mau membudidayakannya. Sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat dengan memberi pengetahuan tentang manfaat dan nilai ekonominya, peningkatan kesejahteraan dilakukan dengan memberdayakan masyarakat sekitar habitat S. macropodum dan untuk mengantisipasi viabilitas yang rendah dapat dilakukan dengan membudidayakan S. macropodum. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan informasi bagi KPHP Limau Unit VII Hulu untuk menjadi referensi dalam mengelola dan melestarikan S. macropodum di alam.
Collections
- MT - Forestry [1445]