Analisis Ekonomi Politik Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Aktor dan Deteritorialisasi.
View/Open
Date
2019Author
Rahmadian, Faris
Dharmawan, Arya Hadi
Kinseng, Rilus A
Metadata
Show full item recordAbstract
Indonesia adalah penguasa sebagian besar suplai Crude Palm Oil (CPO)
dunia, memproduksi sedikitnya 31,49 juta ton minyak sawit, dan menghasilkan
setidaknya 18 miliar USD dari pendapatan ekspor (BPS 2016). Melekatnya
komoditas pertanian ekspansif dengan industri kapitalistik kerap dimaknai sebagai
ekses yang destruktif dalam berbagai aspek, hingga degradasi sosial dan ekologi
yang masif. Terlebih, ekspansi perkebunan kelapa sawit terus terjalin dalam ruang
kepentingan ekonomi-politik yang pragmatis. Penelitian ini dilakukan secara
kualitatif di lokasi penelitian yang mewakili dinamika ekspansi perkebunan kelapa
sawit di Indonesia, yakni di Kec. Kembang Janggut, Kab. Kutai Kartanegara,
Prov. Kalimantan Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga tujuan
penelitian utama, yakni: (1) Menganalisis relasi aktor dalam proses perizinan
untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit; (2) Menganalisis dampak
deteritorialisasi dalam proses ekspansi perkebunan kelapa sawit terhadap aspek
sosiokultural masyarakat; (3) Mengkonseptualisasikan gagasan untuk merespons
dinamika ekonomi-politik dalam proses ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Pertama, harus dipahami bahwa aktor selalu melekat dalam ruang kuasa
dan kepentingan tertentu. Dalam konteks ekspansi perkebunan kelapa sawit,
“perizinan” menjadi subjek utama, namun sekaligus komoditas utama dalam relasi
aktor. Proses perizinan kelapa sawit di Indonesia dilakukan melalui beberapa
tahapan, yang tidak hanya meliputi satu lembaga pemerintahan dan satu pihak
swasta atau investor. Namun, dalam konteks historis perizinan terkait dengan
sumber daya alam, selalu terdapat tendensi pragmatisme di dalamnya. Konsep
perizinan yang dimaksud adalah perizinan atas Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
yang banyak diterbitkan pada era Orde Baru (1965 – 1998), menjadi awal
bagaimana pola perizinan yang lekat dalam pola komodifikasi sumber daya alam
terbentuk. Pola tersebut selanjutnya direplikasi oleh pemerintah hingga pada saat
ini, yang dapat dilihat dari bagaiman izin usaha perkebunan melalui proses-proses
yang bahkan tidak legal. Proses tersebut muncul karena adanya “retakan” yang
dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang dominan, yakni melalui yang disebut sebagai
retakan extralegal dan retakan total illegal. Retakan tersebut tidak hanya muncul
dari upaya untuk memanfaatkan pasal-pasal multi-tafsir dalam peraturan
perundangan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit, namun juga menjadi
ruang untuk melakukan kolaborasi dan bahkan ajang antar aktor saling
memberikan “restitusi” dan imbalan tertentu untuk melancarkan proses ekspansi
perkebunan kelapa sawit. Namun, proses tersebut tidak berlajan dalam satu ruang
linear, terlebih ketika diketahui bahwa masyarakat tidaklah monolitik, dan terbagi
menjadi “Masyarakat Progresif” dan “Masyarakat Konservatif” yang kelak
berkaitan juga dengan bagaimana relasi antar aktor terjalin secara lebih kompleks.
Kedua, harus dipahami deteritorialisasi adalah sebuah fase yang berkaitan
dengan ruang spasial dan ruang sosiokultural, yang telah dimulai sejak fase
teritorialisasi atau proses pemagaran awal lahan-lahan yang kelak akan
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. Deteritorialisasi sendiri terdiri dari
vi
dua fragmen, yakni: (a) Deteritorialisasi Tahap Awal; (b) Deteritorialisasi Tahap
Lanjut. Fase tahap lanjut tersebutlah yang menandakan terjadinya proses
transformasi sosiokultural di dalam masyarakat, yang ditandai dengan proses
internalisasi “ideologi baru”, atau relasi, gagasan dan pedoman yang berkaitan
erat dengan sistem sosiokultural mekanistik-formal yang berbasis pada
kepentingan individu, akumulasi ekonomi, dan komodifikasi ekologi, dan
cenderung mengabaikan dan bahkan menghapus “ideologi lama” masyarakat.
Proses transformasi tersebut melibatkan dua faktor pendorong utama, yakni: (a)
Alat Fisik, yang direpresentasikan oleh aktor-aktor yang bertindak secara fisik dan
represif untuk menjustifikasi “ideologi baru”; (b) Alat Gagasan, yang
direpresentasikan oleh lembaga-lembaga yang sangat dekat dengan masyarakat
yakni, (i) Pendidikan; (b) Adat dan Agama; (c) Lembaga Tani; (d) Infrastruktur,
dan menodorong untuk justifikasi atas “ideologi baru”. Justifikasi terhadap
gagasan-gagasan tersebut menjadi salah satu titik kritis, karena kelak bertanggung
jawab dari terciptanya kesadaran palsu (false consciousness). Kondisi tersebut
menandakan pihak masyarakat secara langsung berada di bawah kontrol dari
pihak penguasa, dan tidak hanya sebatas untuk mengaburkan upaya kolektif dalam
mendobrak ketimpangan sosial dan kepemilikan, melainkan juga menjadikan
mereka untuk turut serta dan mendukung penguasa dalam proses-proses produksi
kapitalistik. Atau dengan kata lain, kelas penguasa (Swasta hingga Negara) tidak
hanya memproduksi materi (dalam produk perkebunan kelapa sawit), melainkan
juga mereproduksi “ideologi” untuk menjamin kelangsungan proses produksi
materi tersebut. Sehingga, tujuan akhir dari proses deteritorialisasi adalah
“terintegrasinya” masyarakat dengan sistem “ideologi baru” tersebut. Namun,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat derajat intergrasi berbeda yang
dialami oleh masyarakat, yakni: (a) Integrasi Total; (b) Integrasi Parsial; (c)
Disintegrasi.
Ketiga, dinamika ekonomi-politik ekspansi perkebunan kelapa sawit yang
kompleks tersebut juga harus mampu direspons dengan suatu gagasan kolektif
yang mendorong keadilan sosial, ekonomi hingga ekologi. Penelitian ini
menawarkan bentuk konseputalisasi gagasan dalam bentuk “Jaringan Masyarakat
Independen”, yakni merupakan suatu tindakan yang berkesadaran kolektif yang
berlandaskan pada dua komponen fundamental, yakni: (1) Edukasi Inklusif; (2)
Aksi Kolaboratif. Edukasi Inklusif memiliki makna sebagai proses pembelajaran
dan penciptaan cara pandang yang mengaitkan seluruh tindakan sosial dalam
nilai-nilai keberlanjutan dan kepentingan timbal balik antara manusia dengan
alamnya. Sedangkan, Aksi Kolaboratif adalah suatu metode dan praktik untuk
masyarakat secara inklusif bersama-sama mengurai relasi sosial yang dianggap
timpang dan mengabaikan hak-hak sosial, ekonomi hingga ekonomi masyarakat.
Kelompok ini kelak tidak hanya mampu menjadi wadah pembelajaran dialektis
atas kondisi yang dihadapi oleh masyarakat terkait dengan kondisi ekologis,
dominasi aktor hingga proses deteritorialisasi yang terjadi dan dialami oleh
masyarakat. Melainkan, juga diharapkan mampu untuk mengembalikan orientasi
“pembangunan“ dan mengarahkannya pada keberpihakan pada keseimbangan dan
keadilan sosial, ekonomi serta ekologi.
Collections
- MT - Human Ecology [2275]