2024-03-29T09:39:07Zhttp://repository.ipb.ac.id/oai/requestoai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124582022-07-13T04:33:02Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Nilai Hematologi, Frekuensi Jantung, Respirasi, Dan Suhu Tubuh Domba Jantan Yang Mnegonsumsi Pelet Daun dan Campuran Batang Lunak Katuk Depolarisasi
Byan, Aisyah
Suprayogi, Agik
Soesatyoratih, RR
Pemberian pelet katuk depolarisasi sebagai feed additive pada hewan ruminansia sudah popular dikalangan peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respon fisiologis dan hematologi domba jantan masa tumbuh yang diberikan pelet daun dan campuran batang lunak katuk Depolarisasi (15%). Dua puluh satu (21) ekor domba lokal jantan masa tumbuh, dikelompokkan menjadi 7 kelompok masing-masing 3 ekor. Pengelompokan berdasarkan perlakuan bahan baku daun katuk (D) dan campuran batang lunak 15% dengan daun katuk 85% (DBL), serta dosis pemberian pelet secara oral setiap hari yaitu D-1 5gram, D-2 10gram dan D-3 15gram, DBL-1 5gram, DBL-2 10gram, DBL-3 15gram. Parameter yang diamati adalah frekuensi jantung, respirasi, suhu tubuh, kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit dan leukosit serta persentase diferensiasi leukosit yang terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil, basofil, eosinofil dan rasio N/L. Penelitian ini menunjukkan Pemberian pelet D dan DBL tidak mempengaruhi nilai hematologi domba jantan. Nilai hematologi, frekuensi jantung, respirasi dan suhu tubuh masih dalam kisaran normal dan rasio N/L menunjukkan nilai yang masih wajar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan kedua bentuk pelet tersebut pada domba jantan masa tumbuh tidak menunjukkan adanya pengaruh fisiologis dan tidak menunjukkan tanda-tanda domba dalam kondisi stress. Substitusi batang lunak 15% sebagai bahan baku pelet sangat dimungkinkan dan tidak menggangu fisiologis domba. Kata kunci: Domba, pelet, daun katuk, fisiologis, hematologi
Giving depolarizing katuk pellets as a feed additive to ruminants has been popular among breeders. The aim of this study was to evaluate the physiological and hematological responses of growing rams that is given katuk leaf pellets and a mixture of depolarized katuk soft stems (15%). Twenty-one (21) young local rams were grouped into 7 groups of 3 each. The grouping was based on the treatment of pellet where (D) contains katuk leaf as the main ingredients and (DBL) contains a mixture of 15% soft stems with 85% katuk leaf, based on the dose that is given via oral, namely D-1 5gram, D-2 10gram and D-3 15gram, DBL -1 5grams, DBL-2 10grams, DBL-3 15grams. Observed Parameters were heart frequency, respiration, body temperature, hemoglobin and hematocrits levels, erythrocyte and leukocyte counts and the percentage of leukocyte differentiation consisting of lymphocytes, monocytes, neutrophils, basophils, eosinophils and the N/L ratio. This study showed that D and DBL pellets did not affect the hematological value of rams. Hematologic values, heart rate, respiration and body temperature were still in the normal range and the N/L ratio showed reasonable values. This study concluded that the use of these two forms of pellets in growing rams did not show any physiological effect and did not show signs of sheep under stress conditions. Substitution of 15% soft stem as raw material for pellets is very possible and does not disturb the sheep's physiology. Keywords: Sheep, pellets, katuk, physiological, hematology
2022-07-13
2022-07-13
2022-07-13
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112458
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1157512022-12-29T09:10:28Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Superovulation Stimulation Response of Mice Using PMSG-hCG and rFSH-rhCG Hormones
Maula, Yogi Nikmatul
Boediono, Arief
Pristihadi, Diah Nugrahani
Assisted Reproductive Technology (ART) is a tool for optimizing animal reproduction, particularly in the area of species conservation. ART is used to conserve endangered wildlife populations. This study aimed to analyze the stimulatory potential of two ART-supporting hormones, namely PMSG-hCG (commonly stimulating hormone/CSH) and recombinant hormones (a newly developed hormone). The study was performed on 63 female mice at four different estrus phases. Both CSH and recombinant hormones containing FSH- and LH-like properties were administered sequentially at 4:00-5:00 pm, 47-48 hours apart. The success of stimulation was assessed by the number of positive responses of the stimulated mice and the total number of ovulated oocytes. The results showed that CSH and recombinant stimulating hormones were effective in the diestrus phase. Approximately 60% of mice responded to CSH and 80% of the other mice responded to the recombinant stimulation. The number of excellent-quality oocytes ovulated by CSH treatment was 239 and 137 oocytes were collected from the recombinant group. Interestingly, recombinant stimulation successfully induced the ovulation of 400 oocytes in the estrus phase. Unfortunately, the efficacy ratio in this phase is lower than in diestrus (30,8:34,3). Therefore, hormonal stimulation with CSH or recombinant hormones in the diestrus phase is strongly recommended.
Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) merupakan metode untuk mengoptimalkan reproduksi hewan, utamanya di bidang konservasi. ART digunakan untuk mempertahankan populasi satwa liar yang terancam punah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi stimulasi dua hormon pendukung TRB, yaitu PMSG-hCG (homon stimulasi biasa/CSH) dengan hormon rekombinan (hormon stimulasi baru). Penelitian ini dilakukan pada 63 ekor mencit betina pada empat fase estrus yang berbeda. Baik sediaan CSH dan hormon rekombinan mengandung senyawa seperti-FSH dan -LH yang diberikan secara berurutan pada pukul 16.00-17.00 WIB dengan jeda 47-48 jam. Pengamatan keberhasilan stimulasi dilakukan melalui evaluasi jumlah respons positif mencit terhadap stimulasi dan jumlah oosit terovulasikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CSH dan hormon rekombinan efektif diberikan pada fase diestrus. Sebanyak 60% mencit merespons stimulasi CSH dan 80% mencit lain merespons stimulasi rekombinan. Jumlah oosit berkualitas baik yang diovulasikan mencit perlakuan CSH adalah 239 oosit dan 137 oosit dari mencit perlakuan rekombinan. Menariknya, stimulasi rekombinan berhasil menginduksi ovulasi 400 oosit pada fase estrus. Sayangnya, rasio efektivitas hormon pada fase ini kurang dari pada fase diestrus (30,8:34,3). Oleh karena itu, stimulasi hormon baik CSH dan hormon rekombinan disarankan untuk diberikan pada fase diestrus.
2022-12-29
2022-12-29
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115751
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1127182022-07-21T07:49:16Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Kadar Kolesterol Darah Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) pada Fase Starter, Grower dan Layer
Yuvensius, Yuvensius
Satyaningtijas, Aryani
Nisa, Chairun
Cholesterol is one of fat formation components which is also the main sterol in animal tissues. Therefore its presence are contributing to development and growth of the body. This study aimed to determine blood cholesterol levels and body weight of quail in the starter,grower and layer phases, which were taken at the age of 18 days, 25 days and 330 days. The quail (Coturnix coturnix Japonica) used were ten tails of the starter phase, grower phase and layer phase. Blood cholesterol levels were measured using a NESCO MultiCheck 3 in 1 tool and body weight was calculated using a digital scale. Cholesterol levels decreased from the starter (158,40 mg/dL) phase to the grower phase (123,00 mg/dL) and increased again in the layer phase (219,6 mg/dL). The highest blood cholesterol value was obtained in the layer phase. The body weight over time continued to experience an increase and the increase in body weight from the starter to the layer phase was not followed by an increase in cholesterol levels. Cholesterol levels are used according to their physiological needs
Kolesterol merupakan salah satu komponen pembentuk lemak yang juga
merupakan sterol utama dalam jaringan hewan, oleh karena itu kehadirannya
memberikan kontribusi untuk perkembangan dan pertumbuhan tubuh. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kadar kolesterol darah dan bobot badan burung
puyuh pada fase starter, grower dan layer, yang diambil pada umur 18 hari, 25 hari
dan 330 hari. Burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica) yang digunakan sebanyak
sepuluh ekor pada masing-masing fase starter, fase grower dan fase layer. Kadar
kolesterol darah diukur menggunakan alat NESCO MultiCheck 3 in 1 dan berat
badan dihitung menggunakan timbangan digital. Kadar kolesterol menurun dari
fase starter (158,40 mg/dL) ke fase grower(123,00 mg/dL) dan meningkat lagi pada
fase layer(219,6 mg/dL). Nilai kolesterol darah tertinggi diperoleh pada fase layer.
Bobot badan dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan yang dan
peningkatan bobot badan dari fase starter ke fase layer tidak diikuti dengan
peningkatan kadar kolesterol yang artinya bobot badan tidak berpengaruh pada
kadar kolesterol burung puyuh. Kadar kolesterol digunakan sesuai dengan
kebutuhan fisiologisnya
2022-07-21
2022-07-21
2022-07-21
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112718
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1227492023-07-28T03:24:51Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Resistansi Antibiotik pada Klebsiella spp. yang Diisolasi dari Anjing di Klinik Vetopet dan House of Blessing Dog Shelter
Aimar, Rival
Hardiati, Aprilia
Subangkit, Mawar
Klebsiella spp. merupakan bakteri Gram negatif dan bersifat patogen potensial pada anjing. Penggunaan antibiotik yang tidak bijak dalam mengobati infeksi bakteri dapat menyebabkan masalah resistansi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran resistansi Klebsiella spp. yang diisolasi dari anjing di Klinik Vetopet dan House of Blessing Dog Shelter terhadap beberapa jenis antibiotik. Metode penelitian ini terdiri dari koleksi sampel, isolasi, identifikasi, dan uji resistansi antibiotik menggunakan metode disk diffusion Kirby-Bauer berdasarkan Clinical and Laboratory Standar Institute 2021. Antibiotik yang diuji terdiri dari amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, doksisiklin, enrofloksasin, eritromisin, gentamisin dan metronidazol. Isolat Klebsiella spp. telah resistan terhadap metronidazol dan eritromisin. Doksisiklin, enrofloksasin, dan gentamisin masih sensitif terhadap Klebsiella spp.. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi dokter hewan dalam memilih jenis antibiotik untuk mengobati infeksi Klebsiella spp.
Klebsiella spp. is a Gram negative bacteria and a potential pathogen in dogs. Unwise use antibiotic in treating bacterial infections can lead resistance problems. This study aims to identify illustrate the resistance of Klebsiella spp. isolated from dogs at the Vetopet Clinic and the House of Blessing Dog Shelter against several types of antibiotics. This research method consists of sample collection, isolation, identification, and antibiotic resistance test was conducted by Kirby-Bauer disk diffusion method based on Clinical and Laboratory Standar Institute 2021. The antibiotics tested consisted of amoxicillin-clavulanic acid, ampicillin, doxycycline, enrofloxacin, erythromycin, gentamicin, and metronidazole. Isolates of Klebsiella spp. have been resistant to metronidazole and erythromycin. Doxycycline, enrofloxacin, and gentamicin are still sensitive to Klebsiella spp.. The results of this study are expected to be a reference for veterinarians in choosing the type of antibiotic to treat Klebsiella spp. infection.
2023-07-28
2023-07-28
2023
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/122749
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1128812022-07-27T05:17:19Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Gambaran Eritrosit Sapi Perah Friesian Holstein yang Dipelihara di Dataran Rendah Tropis
Juniardi, Endi
Tarigan, Ronald
Pribadi, Eko Sugeng
Status kesehatan sapi perah pada periode laktasi dapat dipengaruhi oleh
suhu lingkungan yang tidak nyaman. Hubungan antara tingkat kelembapan dan
suhu lingkungan akan manghasilkan nilai temperature humidity index (THI) yang
dapat digunakan sebagai indikator tingkat cekaman panas pada sapi perah
Friesien Holstein. Penelitian ini bertujuan memperoleh data tentang gambaran
jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan indeks eritrosit serta
mengetahui pengaruh lingkungan terhadap status kesehatan sapi perah di dataran
tropis yang panas dan lembap. Untuk mengetahui gambaran hematologi pada sapi
perah, telah dilakukan uji hematologi pada sembilan sapi perah Friesian Holstein
di peternakan sapi perah komersil yang terletak di Kecamatan Terbanggi Besar,
Kabupaten Lampung Tengah. Sampel darah diambil melalui vena coccygealis
dan dimasukan ke dalam tabung berisi antikoagulan Ethylenediamine tetra acetic
acid (EDTA) untuk dilakukan penghitungan terhadap jumlah eritrosit, kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit. Suhu pada Penelitian ini rata-rata pada kisaran
27,1 ± 3,6 °C dan kelembapan sebesar 81,3 ± 10,3 %. Hasil yang diperoleh adalah
jumlah eritrosit 6,24 ± 0,72 x 106
/µL, kadar hemoglobin 13,40 ± 6,42 g/dL, nilai
hematokrit 29,57 ± 3,24 %, MCV 47,47 ± 2,29 fl, MCH 21,21 ± 9,38 pg dan
MCHC 42,53 ± 18,73 g/dL. Hasil tersebut menunjukkan sapi perah yang berada
di dataran rendah tropis mengalami cekaman panas sehingga menurunkan jumlah
eritrosit, meningkatkan hemoglobin dan hematokrit yang menyebabkan sapi
perah mengalami cekaman ringan.
Dairy cows health status in the lactation period can be affected by
uncomfortable environmental temperatures. The relationship between humidity
level and ambient temperature will produce a temperature humidity index (THI)
value which can be used as an indicator of heat stress level in Friesien Holstein
dairy cows. This study aims to obtain data on the erythrocytes count, hemoglobin
levels, hematocrit values and erythrocyte index and to determine the effect of the
environment on the health status of dairy cattle in hot and humid tropical plains.
To find out the hematological description in dairy cows, a hematological test was
carried out on nine Friesian Holstein dairy cows at a commercial dairy farm
located in Terbanggi Besar District, Central Lampung Regency. Blood samples
were taken through the coccygeal vein and put into a tube containing the
anticoagulant Ethylenediamine tetra acetic acid (EDTA) to calculate the
erythrocyte count, hemoglobin level and hematocrit value. The average
temperature in this study was in the range of 27,1 ± 3,6 °C and the humidity was
81,3 ± 10,3 %. The results obtained were erythrocyte count 6,24 ± 0,72 x 106
/µL,
hemoglobin level 13,40 ± 6,42 g/dL, hematocrit value 29.57 ± 3.24%, MCV 47,47
± 2,29 fl, MCH 21,21 ± 9,38 pg and MCHC 42,53 ± 18,73 g/dL. These results
indicate that dairy cows located in tropical lowlands experience heat stress,
thereby reducing the number of erythrocytes, increasing hemoglobin and
hematocrit which causes dairy cows to experience mild stress
2022-07-27
2022-07-27
2022-07-27
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112881
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1144742022-09-12T15:13:10Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Karakteristik Morfofungsi Skelet Ekstremitas Kaki Soa Layar (Hydrosaurus amboinensis)
Simangunsong, Yanri Rizky Natanael
Nurhidayat
Novelina, Savitri
Sailfin Lizard is a lizard that has a semi-aquatic life and has a sail fin on its
tail. These lizards can be found in habitats close to water such as rivers, lakes, and
estuaries of mangrove forests. This study aimed to observe morphofunction
characteristic of appendicular skeleton of Sailfin Lizard (Hydrosaurus
amboinensis), associated with their function and behavior. Morphofunction
characteristic of the appendicular skeleton of Sailfin Lizard was studied by
observing and measuring the bones that make up the extremities. The naming of
bones and their parts is based on the Nomina Anatomica Veterinaria 2017 and other
journal. The clavicle and interclavicle bones are located anterior to the
scapulacoracoid which has convex shape. The patella ulnar bone is found at the
humeroulnar joint and the radius et ulna bone has a relatively long antebrachial
interosseum space. On the hind legs, coxae bone has a relatively broad acetabulum,
two lunula bones and patellar mineralization are found at the femorotibiofibular
joint, and tibia et fibula bones have a relatively long interosseum cruris space. The
palmar part of the ossa carpi is found in the palmar sesamoid bone, while the tarsi
bones have a fused astragalus and calcaneus bones to become os
astragalocalcaneus. The size of the pedis skeleton is relatively long compare to the
manus skeleton and has a different middle phalanx bone. The ekstremity skeletal
structure allows the Sailfin Lizard to do movements such as walking, running,
climbing, running on water and swimming.
2022-09-12
2022-09-12
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114474
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124112022-07-12T00:18:13Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etil Asetat Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens) pada Mencit (Mus musculus).
Wibowo, Bintang Aditia Tri
Mustika, Aulia Andi
Manalu, Wasmen
Larva black soldier fly (BSF) spesies Hermetia illucens mengandung berbagai senyawa antimikrob yang berpotensi menjadi alternatif pengobatan infeksi saluran pernapasan akut oleh bakteri dan virus sekaligus mencegah resistansi antimikrob, namun laporan keamanannya masih belum diketahui secara luas. Uji toksisitas akut ekstrak etil asetat larva BSF bertujuan mengetahui kisaran nilai LD50 ekstrak etil asetat larva BSF dengan metode fixed dose procedure dari BPOM (2014). Pengujian dilakukan pada mencit ddY betina dewasa selama 14 hari dengan 2 tahap uji, yaitu uji pendahuluan pada 3 kelompok dosis (0, 300, dan 2000 mg/kg BB) yang masing-masing terdiri atas 1 ekor mencit, lalu dilanjutkan dengan uji utama pada 2 kelompok dosis (0 dan 2000 mg/kg BB) yang masing-masing terdiri atas 5 ekor mencit. Kisaran nilai LD50 pada penelitian ini diperoleh dari mortalitas dan gejala toksik yang muncul selama 14 hari pada semua mencit uji utama setelah pemberian oral tunggal. Parameter pendukung yang diamati adalah bobot badan, patologi anatomi organ, bobor absolut organ, dan bobot relatif organ mencit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada mortalitas dan gejala toksik pada semua mencit uji LD50. Ekstrak etil asetat larva BSF bersifat tidak toksik dengan nilai LD50>2000 mg/kg BB.
Black soldier fly (BSF) larvae of Hermetia illucens species has various antimicrobial compounds that have the potential to be an alternative treatment for acute respiratory infections by bacteria and viruses while preventing antimicrobial resistance. However, the safety reports are still not widely known. The acute toxicity test of ethyl acetate extract of BSF larvae aimed to determine LD50 values of ethyl acetate extract of BSF larvae using the fixed-dose procedure method. The test was carried out on adult female ddY mice with 2 test stages, namely a preliminary test on three dose groups (0, 300, and 2000 mg/kg BW) each consisting of 1 mouse, then the main test on two dose groups (0 and 2000 mg/kg BW), each consisting of 5 mice. The LD50 value range in this study was obtained from mortality and toxic symptoms that appeared 14 days in all main test mice after a single oral administration. Supporting parameters observed were body weight, macropathology, and relative organ weight of mice. The results showed there was no mortality and no toxic sympthoms in all LD50 test mice. Ethyl acetate extract of BSF larvae was non-toxic with LD50 value was ≥2000 mg/kg.b.w.
2022-07-12
2022-07-12
2022-07-08
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112411
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124442022-07-13T00:06:08Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Kadar Asam Urat Puyuh pada Umur Pemeliharaan yang Berbeda (18, 25, dan 330 Hari)
Hendrawan, Moh. Yogie
Satyaningtijas, Aryani Sismin
Manalu, Wasmen
Puyuh merupakan unggas dengan masa hidup yang relatif pendek disertai laju metabolisme yang tinggi dengan pertumbuhan dan perkembangan yang relatif cepat. Puyuh memiliki beberapa fase umur pemeliharaan yang berpotensi memiliki kebutuhan diet yang berbeda, termasuk kebutuhan protein yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh puyuh. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (protein) dan kadarnya dalam darah menggambarkan kondisi fisiologis tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar asam urat darah dan bobot badan pada puyuh fase starter (umur 18 hari), grower (umur 25 hari), dan layer (umur 330 hari). Umur pemeliharaan merupakan kelompok perlakuan pada penelitian ini dengan masing-masing berjumlah sepuluh ekor per kelompok. Pengukuran kadar asam urat pada darah diambil dari rute intravena (vena brachialis) dan diukur dengan menggunakan uric acid meter. Hasil penelitian menunjukkan hasil rata-rata kadar asam urat pada masing-masing fase starter, grower, dan layer adalah 8,41; 10,65; dan 8,52 mg dL-1 dengan rata-rata bobot badan masing-masing fase sebesar 70; 103,5; dan 213,2 g. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (P≥0,05) antara umur pemeliharaan dengan kadar asam urat pada tubuh puyuh. Hasil penelitian dapat menjadi informasi ilmiah tentang kadar asam urat puyuh pada masing-masing umur yang berhubungan dengan kondisi fisiologis tertentu
Quail is a bird with a relatively short life span with a high metabolic rate and rapid growth rate. The difference of rearing age has the potential of different dietary needs, such as protein which is used to grow. Uric acid is the end product of purine (protein) metabolism and its levels in the blood can be measured and describe certain physiological conditions. This study aimed to determine uric acid levels and body weight in the quail starter phase (18 days), grower phase (25 days), and layer phase (330 days), which were determined as groups of treatment with ten quails in each rearing age. Measurement of uric acid levels using blood taken from the intravenous (brachial vein) and measured using a uric acid meter. The results showed that the average uric acid levels in each of the starter, grower, and layer phases were 8,41; 10,65; and 8,52 mg dL-1 with average body weights of each phase were 70; 103,5; and 213,2 g. The results of statistical analysis showed that there was no difference (P≥0.05) in the uric acid levels in the blood among the rearing ages. The results of the study can be used for scientific information regarding quail uric acid levels at each age associated with certain physiological conditions.
2022-07-13
2022-07-13
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112444
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1146752022-10-05T07:28:29Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1146322022-09-23T08:36:59Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Kadar Glukosa Darah Burung Puyuh pada Fase Starter, Grower, dan Layer
Milna, Resi
Satyaningtijas, Aryani
Ekastuti, Damiana
Puyuh merupakan salah satu unggas yang dapat menghasilkan telur dan daging yang berperan sebagai sumber protein hewani di Indonesia. Puyuh memiliki tiga fase pemeliharaan yang kemungkinan membutuhkan jumlah karbohidrat yang berbeda yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan. Glukosa merupakan salah satu senyawa karbohidrat yang berperan sebagai sumber energi utama dalam proses metabolisme. Penelitian ini bertujuan mengetahui kadar glukosa darah burung puyuh (Coturnix coturnix Japonica) pada fase starter, grower, dan layer. Penelitian ini menggunakan puyuh sebanya 30 ekor puyuh yang terdiri dari 10 ekor puyuh pada fase starter (umur 18 hari), 10 ekor pada fase grower (umur 25 hari), dan 10 ekor pada fase layer (umur 330 hari). Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan glukometer (EasyTouch® GCU) dengan pengambilan darah melalui vena brachialis. Rata-rata hasil pengukuran masing-masing pada fase starter, grower, dan layer yaitu 282,30; 266,40; dan 257,60 mg/dL dengan rata-rata bobot badan secara berurutan 70; 103.50; dan 213,20. Analisis statistik menunjukkan hasil bahwa tidak ada pengaruh fase pemeliharaan dengan kadar glukosa darah puyuh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peternak maupun praktisi dalam mengetahui kondisi fisiologi puyuh (kadar glukosa darah) pada setiap fase pertumbuhan puyuh.
Quail is one of the poultry that produces eggs and meat. This Product is a source of animal protein in Indonesia. Quail has three phases of rearing which may require different amounts of carbohydrates needed in the growth process. Glucose is a carbohydrate compound that acts as the main energy source in metabolic processes. This study aims to determine the blood glucose levels of quail (Coturnix coturnix Japonica) in the starter, grower and layer phases. This study used 30 female quails consisting of 10 quail in each phase with age of starter phase, grower phase and the layer phase 18, 25 and 330 days respectively. Measurement of blood glucose levels using a glucometer (EasyTouch® GCU) by taking blood through the brachial vein. The average results of each measurement in the starter, grower, and layer phases are 282.30; 266.40; and 257.60 mg/dL with an average body weight of 70;103.50; and 213.20. Statistical analysis showed that there was no effect of the rearing phase on quail blood glucose levels. The results of this study are expected to be useful for both farmers and veterinary clinicians in understanding the physiological condition of quail (blood glucose level) in each phase of quail growth.
2022-09-23
2022-09-23
2022-09
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114632
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1127972022-07-25T04:49:57Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Efektivitas Infusa Umbi Bawang Merah (Allium Cepa L.) Sebagai Antidiare pada Mencit (Mus musculus)
Purohita, Adwisto Saktika
Mustika, Aulia Andi
Sutardi, Lina Noviyanti
Umbi bawang merah secara turun-temurun sudah digunakan sebagai
pengobatan tradisional. Secara empiris umbi bawang merah digunakan dalam
pengobatan diare. Belum ada riset farmakologi dari aktivitas antidiare umbi bawang
merah. Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antidiare umbi bawang merah
dengan menggunakan metode proteksi intestinal dan transit intestinal, serta
menentukan konsentrasi efektif yang memberikan efek antidiare terbaik pada
mencit. Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit yang dibagi menjadi 6
kelompok. Kelompok perlakuan terdiri atas kelompok kontrol negatif (Tween 80
[1%]), kelompok kontrol positif (Loperamid HCl), dan empat kelompok perlakuan
infusa bawang merah dengan konsentrasi bertingkat (1,25%, 2,5%, 5%, dan 10 %).
Perlakuan metode uji proteksi intestinal dan uji transit intestinal diberikan melalui
rute peroral. Parameter yang digunakan pada metode proteksi intestinal adalah
frekuensi defekasi dan konsistensi feses sedangkan pada metode transit intestinal
digunakan persentase rasio lintasan penanda dibandingkan dengan panjang usus
keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan infusa umbi bawang dengan
konsentrasi 1,25%, 2,5%, 5%, dan 10% memiliki aktivitas antidiare. Konsentrasi
1,25% menunjukkan aktivitas antidiare terbaik.
2022-07-25
2022-07-25
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112797
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1145372022-09-17T07:31:00Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Gambaran Kadar Kalsium (Ca) Fosfor (P) dalam Darah Sapi Perah (Friesian holstein) dan Kadar Mineral pada Pakan.
Nayunda, Muhammad Urba
Maheshwari, Hera
Amin, Akhmad Arif
Serum mengandung beberapa substansi penting di antaranya mineral, enzim,
bilirubin, kreatinin, serta nutrien lainnya. Kalsium (Ca) dan fosfor (P) termasuk
mineral yang sangat dibutuhkan oleh sapi perah karena memiliki peran biokimia
dan fisiologis untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam tubuh dan sapi hanya
dapat memperoleh kedua mineral tersebut dari pakan. Penelitian ini bertujuan
mengetahui gambaran kadar kalsium (Ca) fosfor (P) dalam darah sapi perah
(Friesian holstein) dan kadar mineral pada pakan. Penelitian ini juga menggunakan
metode deskriptif untuk menganalisis gambaran kadar kalsium (Ca), fosfor (P)
dalam darah sapi perah FH dan kadar mineral pada pakan. Hasil pemeriksaan serum
menunjukkan dua sampel memiliki kadar kalsium (Ca) fosfor (P) yang tergolong
diatas standar nilai normal, dan satu sampel lainnya tergolong sesuai standar nilai
normal. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar nutrien mineral pada pakan
masih tergolong di bawah besaran angka dari penyerapan nutrien mineral kalsium
(Ca) dan fosfor (P) pada saluran pencernaan usus halus yang dimanisfestasikan
dengan kadar kedua nutrien mineral dalam darah pada umumnya. Tingginya kadar
mineral (Ca, P) pada darah sapi perah FH dikarenakan kadar mineral (Ca, P) yang
diperoleh tidak hanya dari hasil konsumsi mineral (Ca, P) murni pakan konsentrat
saja, namun juga bisa diperoleh dari hasil proses pencernaan komposisi penyusun
ransum (pakan) lainnya yaitu dari pakan hijauan.
2022-09-17
2022-09-17
2022-09-16
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114537
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126452022-07-19T14:43:31Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Drugs Used to Treat Heartworm in Dogs in Gasing Veterinary Hospital in Selangor, Malaysia
Shieh, Zhi Yang
Andriyanto
Basri, Chaerul
Heartworm disease or dirofilariasis is caused by a nematode of the species
Dirofilaria immitis, that results in severe lung disease, heart failure, other organ
damage, and death in pets, mainly dogs. It is transmitted by mosquitoes and is very
prevalent in tropical countries such as Malaysia. The main objective of this study is
to analyze the main and adjunct therapeutic drugs used to treat heartworm in dogs
of different cases, as well as the purpose or function of each drug. Secondary data
in the form of medical records were collected from Gasing Veterinary Hospital,
Malaysia, involving canine patients diagnosed with heartworm disease. Based on
100 heartworm cases of all four classes, the drugs prescribed varied and depends
on the condition, severity, class of heartworm disease and the treatment plan. It was
concluded that the types of drugs used to treat and manage heartworm disease in
dogs consisted of antibiotic, phosphodiesterase (PDE) inhibitors, liver supplement,
adulticide, corticosteroids, anti-platelets, diuretics, angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor, anthelmintic, and antihistamine. The most frequently prescribed
drug was anti-platelets (83%) followed by adulticide (80%) among the 100 cases.
Penyakit cacing jantung atau dirofilariasis disebabkan oleh nematoda dari
spesies Dirofilaria immitis, yang mengakibatkan penyakit paru-paru yang parah,
gagal jantung, kerusakan organ lain, dan kematian pada hewan peliharaan, terutama
anjing. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk dan sangat lazim di negara-negara
tropis seperti Malaysia. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
obat terapeutik utama dan sampingan yang digunakan untuk mengobati cacing
jantung pada anjing di berbagai kasus, serta tujuan atau fungsi masing-masing obat
tersebut. Data sekunder berupa rekam medis telah dikumpulkan dari Rumah Sakit
Hewan Gasing, Malaysia, yang melibatkan pasien anjing penderita penyakit
heartworm. Berdasarkan 100 kasus heartworm dari keempat kelas, obat yang
diberikan bervariasi dan tergantung pada kondisi, tingkat keparahan, kelas penyakit
heartworm, dan rencana pengobatan. Kesimpulannya, jenis obat yang digunakan
untuk mengobati penyakit cacing jantung pada anjing terdiri dari antibiotik,
inhibitor phosphodiesterase (PDE), suplemen hati, adulticide, kortikosteroid,
antiplatelet, diuretik, inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE), anthelmintik,
dan antihistamin. Obat yang paling sering diberikan adalah anti-platelet (83%)
diikuti oleh adulticide (80%).
2022-07-19
2022-07-19
2022-07-19
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112645
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1122512022-07-02T12:57:39Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Kajian Diferensial Leukosit pada Mencit (Mus muscullus) Pasca Imunisasi Aβ40 dan Aβ42 sebagai Marka Penyakit Alzheimer
Margareta, Novia D.
Darusman, Huda Shalahudin
Novelina, Savitri
Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang bersifat irreversibel dan progresif yang terkait dengan perubahan sel-sel saraf, sehingga menyebabkan kematian sel otak dan terjadinya demensia. Pengamatan terhadap diferensial leukosit dapat membantu dalam mendiagnosa penyakit ini dengan tepat. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran diferensial leukosit pada mencit terhadap respon imunisasi amyloid beta Aβ40 dan Aβ42. Penelitian ini menggunakan 22 ekor mencit (Mus muscullus) Balb/c jantan dan betina dengan berat badan 20-35 gr. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, kelompok mencit kontrol, kelompok mencit vaksinasi antigen amyloid Aβ40 dan kelompok mencit vaksinasi antigen amyloid beta Aβ42. Sampel darah dimabil melalui vena coccygea sebanyak 0,5 ml setiap mencit. Sampel darah diambil pada hari ke-0, 14 dan 24 setelah diimunisasi. Hasil menunjukkan kelompok mencit yang diimunisasi amyloid beta 40 (Aβ40) dan amyloid beta 42 (Aβ42) menyebabkan peningkatan jumlah limfosit dan neutrofil yang signifikan, sedangkan kelompok mencit kontrol tidak menunjukkan perubahan leukosit yang signifikan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa pemberian imunisasi antigen amyloid beta Aβ40 dan Aβ42 pada mencit tidak memengaruhi jumlah basofil, eosinofil, neutrofil batang serta monosit.
Alzheimer's is an irreversible and progressive neurodegenerative disease associated with changes in nerve cells, leading to brain cell death and dementia. Observation of differential leukocytes can help in diagnosing the disease precisely. This study aims to find out the differential picture of leukocytes in mice against amyloid beta Aβ40 and Aβ42 immunization responses. This study used 22 mice (Mus muscullus) Balb / c male and female with a weight of 20-35 grams. Mice were divided into three groups, namely, the control mice group, the Aβ40 amyloid antigen vaccination mice group and the Aβ42 amyloid beta antigen vaccination mice group. Blood samples are taken through the coccygea vein as much as 0.5 ml per mice. Blood samples are taken on days 0, 14 and 24 after immunization. Results showed the mice group immunized amyloid beta 40 (Aβ40) and amyloid beta 42 (Aβ42) caused a significant increase in lymphocyte and neutrophil counts, while the control mice group showed no significant leukocyte changes. Based on the observations, it can be concluded that immunization of amyloid beta Aβ40 and Aβ42 antigens on mice does not affect the number of basophils, eosinophils, bar neutrophils and monocytes.
2022-07-02
2022-07-02
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112251
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1153212022-11-23T00:05:43Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Identifikasi Ekspresi Gen ADAM17 sebagai Marka Alzheimer pada Otak Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Hasya, Karin Katina
Darusman, Huda Shalahudin
Sudarnika, Etih
Penyakit Alzheimer adalah penyakit degeneratif otak yang mengganggu
fungsi dasar neuron, sehingga dapat berujung kematian pada penderita yang
kemampuan motoriknya tidak lagi berfungsi. Pengobatan spesifik untuk menangani
penderita penyakit Alzheimer belum ditemukan. Masih terdapat banyak pertanyaan
mengenai penyakit dan pengobatan penyakit Alzheimer. Salah satu metode yang
digunakan untuk mengenal lebih dalam tentang penyakit ini adalah dengan
menggunakan hewan model. Monyet ekor panjang merupakan primata yang
memiliki kedekatan filogeni dengan manusia. Monyet ekor panjang tua juga
memiliki karakteristik yang sama dengan manusia yang mengidap penyakit
Alzheimer. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ekspresi gen a disintegrin and
metalloproteinase 17 (ADAM17) sebagai marka penyakit Alzheimer pada monyet
ekor panjang. Penelitian ini menggunakan 6 sampel otak monyet ekor panjang
bagian hipokampus dan korteks. Monyet sebelumnya telah dikelompokkan menjadi
kelompok usia tua dan muda. Deteksi ekspresi gen ADAM17 dilakukan dengan
menggunakan RT-qPCR. Hasil analisis data menunjukkan tidak berbeda nyata
antara ekspresi gen ADAM17 pada tiap regio dan kelompok usia, namun didapatkan
hasil bahwa ekspresi gen ADAM17 banyak ditemukan pada hewan tua dan regio
hipokampus.
Alzheimer's disease is a neurodegenerative disease that disrupts the basic
functions of the neurons, potentially leading patients to death. There is no specific
treatment for Alzheimer's disease. There are still many questions about Alzheimer's
disease and its treatment. One of the methods often used to get to know more about
this disease is to use animal models. The long-tailed monkey is a primate that has a
phylogenetic closeness to humans. Aged long-tailed monkeys also have the same
characteristics as humans with Alzheimer's disease. This study aimed to identify a
disintegrin and metalloproteinase 17 (ADAM17) gene expression as a marker of
Alzheimer's disease in long-tailed monkeys. This study used 6 brain samples of
long-tailed monkeys in the hippocampus and cortex. Monkeys have previously been
grouped into old and young age groups. The detection of ADAM17 gene expression
was performed using RT-qPCR. The results of data analysis showed that there was
no significant difference between ADAM17 gene expression in each region and age
group, but the results showed that ADAM17 gene expression was mostly found in
old monkeys and the hippocampus region.
2022-11-23
2022-11-23
2022-11-22
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115321
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1131012022-08-02T14:47:30Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Toksisitas Akut Infusa Biji Kelor (Moringa oleifera L.) pada Mencit (Mus musculus)
Elin, Elin
Andriyanto, Andriyanto
Pristihadi, Diah Nugrahani
Potensi biji kelor sebagai bahan obat herbal telah banyak diketahui, namun informasi
spesifik mengenai tingkat toksisitas dan keamanan dari biji kelor masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keamanan infusa biji kelor pada mencit
menggunakan metode penentuan nilai lethal dose 50 (LD50), serta memberikan informasi
tentang tingkat keamanan infusa biji kelor untuk perkembangannya sebagai bahan obat
herbal. Sebanyak 20 ekor mencit betina dibagi menjadi empat kelompok dan lima ulangan.
Mencit percobaan yang tidak diberi infusa biji kelor dikelompokkan sebagai kontrol,
sedangkan yang diberi infusa biji kelor dosis 5, 10, dan 15 g/kg BB sebagai perlakuan.
Pemberian infusa biji kelor dilakukan satu kali pada awal penelitian secara oral kemudian
mencit diamati gejala klinis, mortalitas, dan bobot badannya. Pada akhir penelitian, mencit
percobaan dikorbankan untuk dievaluasi parameter patologi anatomi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian infusa biji kelor mendukung pertumbuhan bobot badan
mencit secara normal, tanpa menyebabkan kemunculan gejala klinis patologis atau bahkan
kematian. Simpulan penelitian ini ialah infusa biji kelor termasuk bahan yang praktis tidak
toksik serta aman dan berpotensi untuk dijadikan obat herbal bagi masyarakat
The potential of moringa seeds as herbal medicinal ingredients has been widely
known, but specific information regarding the level of toxicity and safety of moringa
seeds is still very limited. This study aims to analyze the safety level of moringa seed
infusion in mice using the lethal dose 50 (LD50) assessment method, as well as to
provide information about the safety level of Moringa seed infusion for its
development as a herbal medicine. A total of 20 female mice were divided into four
groups with each contain 5 mice. Experimental mice that were not given moringa
seed infusion as a control, while those given moringa seed infusion at doses of 5, 10,
and 15 g/kg BW were the treatment. Moringa seed infusion was administered once at
the beginning of the study orally and then clinical symptoms, mortality, and body
weight were observed. At the end of the study, experimental mice were sacrificed for
pathological views. The results showed that giving moringa seed infusion to mice did
not cause death or specific clinical symptoms and normal growth. It was concluded
that the infusion of moringa seeds including practically non-toxic ingredients.
2022-08-02
2022-08-02
2022-08-02
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/113101
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1143342022-09-04T14:34:14Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Toksisitas Akut Infusa Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) pada Mencit (Mus musculus)
Yulianawati, Nur Indria
Mustika, Aulia Andi
Ilyas, Abdul Zahid
Daun sirih hijau (Piper betle L.) banyak digunakan masyarakat sebagai tanaman herbal. Kandungannya dipercaya dapat menjadi obat alternatif dalam mengatasi berbagai masalah penyakit. Salah satu manfaatnya yaitu tanaman ini memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Kurangnya informasi mengenai kemanan dari daun sirih hijau (Piper betle L.), sehingga perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk menentukan tingkat toksisitas akut dari infusa daun sirih hijau pada mencit dengan nilai LD50 dan memberikan informasi ilmiah mengenai tingkat keamanan daun sirih hijau. Sebanyak 20 ekor mencit dikelompokkan menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol diberi akuades, sedangkan kelompok perlakuan diberi infusa daun sirih hijau dengan dosis 5, 10, dan 15 g/kg BB. Pengamatan dilakukan selama 14 hari, kemudian diamati mortalitas, pengamatan fisiologis, dan gejala klinis. Parameter lain yang diamati yaitu bobot badan serta bobot organ absolut dan relatif (jantung, hati, ginjal, limpa, usus, dan paru-paru) mencit. Data dianalisis menggunakan one way analysis of variance (ANOVA) dan uji Tukey. Hasil menunjukkan bahwa pemberian infusa daun sirih hijau tidak menyebabkan kematian sehingga dapat disimpulkan nilai LD50 >15 g/kg BB dan termasuk dalam kategori praktis dan tidak toksik.
Green betel leaf (Piper betle L.) are widely used by the community as a herbal plant. One of the benefits is that this plant has the ability to act as an antibacterial. Lack of information about the safety of green betel leaf, so more indepth research is needed. This study was conducted to determine the acute toxicity level of the infusion of green betel leaf on mice with a value of LD50. A total of 20 mice were divided into 4 groups. The control group was given aquades, while the treatment group was given infusions of green betel leaf at doses of 5, 10, and 15 g/kg BB. Observations were made for 14 days, then observed mortality, physiological observations, and clinical symptoms. Other parameters observed were body weight, absolut organ weights and relative organ weights (heart, liver, kidneys, spleen, intestines, dan lungs) in mice. Data were analyzed using one-way analysis of variance (ANOVA) and Tukey tests. The results showed that the infusion of green betel leaves did not cause death so that it can be concluded that the value of ld50 >15 g / kg BB and belongs to the category of practical and non-toxic.
2022-09-04
2022-09-04
2022-09-02
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114334
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1142792022-09-01T23:50:05Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Gambaran Sel Darah Putih pada Macaca fascicularis dengan Status Infeksi Plasmodium spp.
Ahi, Natania Sorara
Darusman, Huda Shalahudin
Setiyono, Agus
Keadaan hutan Indonesia sangat cocok sebagai tempat berkembangbiak
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan vektor malaria (Plasmodium spp.),
serta pemanfaatan area hutan oleh manusia mungkinkan terjadinya penyebaran
penyakit malaria pada manusia melalui monyet. Plasmodium spp. ditularkan dari
individu ke individu lainnya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Pada penelitian ini
penggunaan monyet ekor panjang sebagai hewan model dikarenakan memiliki
anatomi dan fisiologi yang sama dengan manusia. Sampel yang digunakan berupa
whole blood dari Macaca fascicularis, selanjutnya dibuat ulasan darah diatas gelas
objek dan diwarnai dengan Giemsa. Sampel tersebut telah dikonfrimasi status
infeksi Plasmodium spp. melalui uji Polymerase Chain Reaction (PCR),
selanjutnya ulasan tersebut dilakukan perhitungan diferensial leukosit. Data yang
didapat dianalisis secara deskriptif dan diolah secara statistik dengan uji Mann
Whitney. Hasil perhitungan diferensial leukosit menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata pada jenis neutrofil batang antara monyet ekor panjang yang positif
infeksi Plasmodium spp. dengan kontrol negatif. Hasil pengamatan menunjukkan
fase infeksi Plasmodium spp. yang ditemukan pada sampel darah adalah fase
tropozoid, fase skizon, dan fase gametosit.
The condition of Indonesia's forests is very suitable as a breeding ground for
long-tailed monkeys (Macaca fascicularis) and malaria vectors (Plasmodium spp.),
and the use of forest areas by humans allows the spread of malaria to humans
through monkeys. Plasmodium spp. transmitted from individual to individual
through the bite of the Anopheles mosquito. In this study, the use of long-tailed
monkeys as animal models is due to having the same anatomy and physiology as
humans. The sample used was whole blood from Macaca fascicularis, then blood
smear preparations was made on an object glass and stained with Giemsa. The
sample has confirmed the infection status of Plasmodium spp. through the
Polymerase Chain Reaction (PCR) test, then calculated the differential leukocyte
count. The data obtained were analyzed descriptively and statistically with the
Mann Whitney test. The results of the differential leukocyte count showed a
significant difference in the types of stem neutrophils between long-tailed monkeys
that were positive for Plasmodium spp. infection with negative control. The results
showed that the infection phase of Plasmodium spp. The results showed that the
infection phase found in blood samples are trophozoite stage, schizont phase, and
gametocyte phase.
2022-09-01
2022-09-01
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114279
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1133402022-08-09T04:03:53Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Pemeriksaan Darah pada Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Bidara Laut (Strychnos ligustrina) dan Dihidroartemisinin-Piperakuin Fosfat (DHP) sebagai Antimalaria
Andini, Haula Fadya
Sa'diah, Siti
Cahyaningsih, Umi
Kombinasi ekstrak bidara laut dan dihidroartemisinin-piperakuin fosfat
(BL-DHP) terbukti efektif sebagai antimalaria, namun belum diketahui
toksisitasnya. Penelitian ini merupakan bagian pengujian toksisitas subkronis pada
mencit jantan dan betina selama 28 hari. Metode pengujian dilakukan berdasarkan
peraturan BPOM RI menggunakan 3 tingkatan dosis yaitu dosis rendah, sedang,
dan tinggi. Parameter pada penelitian ini berupa gambaran hematologi, biokimia,
dan elektrolit darah dianalisis menggunakan one way ANOVA-Duncan test. Hasil
gambaran hematologi meliputi eritrosit, hemoglobin, hematokrit, PDW, limfosit,
dan granulosit berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan kontrol, sementara
pada kelompok satelit tidak berbeda signifikan. Gambaran biokimia darah meliputi
SGPT dan SGOT berbeda signifikan pada dosis sedang dan tinggi, namun bersifat
reversibel pada kelompok satelit. Gambaran elektrolit tidak berbeda signifikan pada
kelompok perlakuan maupun satelit. Berdasarkan uji hematologi, biokimia, dan
elektrolit darah, kombinasi BL-DHP aman digunakan pada dosis rendah
(200mg/KgBB ekstrak bidara + 111 mg/kgBB DHP), namun perlu dilakukan
pengamatan parameter lainnya seperti tingkat kematian dan histopatologi organ.
The combination of S.ligustrina (bidara laut) and dihydroartemisininpiperaquine
phosphate (BL-DHP) proved as effective antimalarial, but the toxicity
degree is not yet known. This study is the part of subchronic toxicity test in male
and female mice for 28 days and tested using NA-DFC guidelines with low,
medium, and high doses. The parameters in this study, hematology, biochemical,
and electrolyte features of blood, were analyzed by one way ANOVA-Duncan test.
Hematological features include erythrocytes, hemoglobin, hematocrit, PDW,
lymphocytes, and granulocytes were significantly different from control group,
while the satellite group was not significantly different. Biochemical features
included SGPT and SGOT were significantly different at medium and high doses,
but reversible in satellite group. Electrolyte features did not show significant
changes in treatment and satellite group. Based on hematology, biochemical, and
electrolyte test, BL-DHP is safe at low dose (200mg/KgBW bidara extract + 111
mg/kgBW DHP), but mortality rate and organ histopathology need to be monitored.
2022-08-09
2022-08-09
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/113340
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126902022-07-20T23:58:28Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
A Study of The Treatment for Feline Urethral Obstruction (FUO) at My Animal Veterinary Clinic, Melaka, Malaysia in 2021
Yik, Soon Seong
Andriyanto
Tarigan, Ronald
Feline urethral obstruction (FUO) is a general and emergency manifestation of feline urinary tract disease. Generally, the clinical signs of FUO are stranguria, feel discomfort or vocalizing when straining to urinate, increased agitation, hematuria, lethargy, anorexia and even vomiting. This case study was designed to collect and analyze the data of treatment of feline urethral obstruction (FUO) at My Animal Veterinary Clinic, Melaka, Malaysia in 2021. The secondary data of the type of treatment used was obtained from “MedexVet Clinic Management System” in My Animal Veterinary Clinic, Melaka, Malaysia. Then, the data obtained was then recorded and analyzed descriptively using Microsoft Excel® 2016. Antibiotics are the most prescribed medications for FUO at My Animal Veterinary Clinic in 2021, accounting for 97.26%. The least prescribed medications are α1-adrenergic antagonists and antiseizures, accounting for 1.37%, respectively. In conclusion, the most used treatment combination at My Animal Veterinary Clinic, Melaka, Malaysia in 2021 was medications, IV fluids, urinary catheterization, and urologic diet.
Feline urethral obstruction (FUO) adalah manifestasi umum dan darurat penyakit saluran kemih kucing. Umumnya, gejala klinis FUO termasuk stranguria, merasa tidak nyaman atau bersuara saat ingin buang air kecil, agitasi meningkat, hematuria, lesu, anoreksia dan bahkan muntah. Studi kasus ini dirancang untuk mengumpulkan dan menganalisis data pengobatan FUO di Rumah Sakit Hewan My Animal Melaka, Malaysia pada tahun 2021. Data sekunder dari jenis perawatan yang digunakan diperoleh dari “MedexVet Clinic Management System” Data yang diperoleh kemudian dicatat dan dianalisis secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel® 2016. Antibiotik adalah obat yang paling banyak diresepkan untuk FUO di Rumah Sakit Hewan My Animal pada tahun 2021, terhitung 97,26%. Obat yang paling sedikit diresepkan adalah antagonis α1- adrenergik dan anti kejang, masing-masing menyumbang 1,37%. Kesimpulannya, kombinasi pengobatan yang paling banyak digunakan di Rumah Sakit Hewan My Animal, Melaka, Malaysia pada tahun 2021 adalah obat-obatan, cairan IV, kateterisasi urin, dan diet urologi.
2022-07-20
2022-07-20
2022-07-20
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112690
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1123982022-07-11T12:48:08Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Termogram Gajah Sumatra Berdasarkan Pencitraan Regio Tubuh Menggunakan Kamera Termal Inframerah Di Taman Margasatwa Ragunan
Aziz, Yaksube
Koekoeh, Santoso
Maheshwari, Hera
Gajah Sumatra adalah satwa endotermis dan rentan terhadap cekaman
panas. Kamera termal inframerah dapat digunakan untuk mengukur suhu tubuh
tanpa melakukan kontak langsung, non-invasif, dan efisien. Penelitian ini
menggunakan 3 ekor gajah dengan tujuan mempelajari pola suhu normal
berdasarkan citra termal setiap regio permukaan tubuh gajah menggunakan kamera
termal inframerah dan menentukan regio tertentu untuk memperkirakan suhu inti
tubuh gajah. Temperature humidity index (THI) kandang diukur sebanyak tiga kali
setiap pukul ±09.00 saat pagi dan ±12.00 WIB saat siang selama 5 hari. Hasil
pengukuran mikroklimat kandang adalah 79.4 pada saat pagi dan 78.9 pada saat
siang. Rata-rata suhu permukaan tubuh pada regio mata, pipi, moncong, toraks, dan
abdomen adalah 32°C; 31.75°C; 30.60°C; 31.40°C; 31.46°C pada sesi pagi dan
33.84°C; 33.71°C; 31.81°C; 33.53°C; 33.61°C pada sesi siang. Walaupun suhu
mata, pipi, moncong, toraks, dan abdomen tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi mata
memiliki suhu paling tinggi diantara keempat regio. Pengukuran suhu setiap regio
permukaan tubuh gajah selama 5 hari tidak berbeda nyata pada sesi pagi dan siang.
2022-07-11
2022-07-11
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112398
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1143112022-09-02T08:41:08Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Pengaruh Pemberian Nanoenkapsulasi Prostaglandin terhadap Gambaran Sel Darah Putih pada Domba Betina
Armaniarva, Aqshal
Santoso, Koekoeh
Nanoenkapsulasi merupakan teknik untuk menyalut suatu senyawa (dapat berupa padatan, cairan, maupun gas) dengan suatu polimer yang berukuran 10 - 1000 nm. Nanoenkapsulasi prostaglandin F2 alfa (PGF2α) dapat digunakan sebagai salah satu bahan sinkronisasi estrus pada domba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian nanoenkapsulasi prostaglandin F2 alfa (PGF2α) melalui injeksi intravulva, intravagina, dan spray pada permukaan hidung terhadap profil sel darah putih. Penelitian menggunakan 16 ekor domba yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakukan yaitu kelompok tanpa pemberian (kontrol), injeksi intravulva, intravaginal, dan spray nasal. Studi dilaksanakan selama 28 minggu dengan lama pemberian perlakuan selama 8 minggu. Studi ini menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) pada total jumlah leukosit (p=0,021), persentase neutrofil (p=0,023), persentase eosinofil (p=0,020), dan persentase monosit (p=0,047) di setiap perlakuan. Perbedaan tidak nyata ditunjukkan pada persentase basofil (p=1,000), persentase limfosit (p=0,142), dan rasio N/L (p=0,050) di setiap perlakuan. Studi ini menyimpulkan Pemberian nanoenkapsulasi prostaglandin F2 alfa (PGF2α) pada domba mempengaruhi total jumlah leukosit, persentase neutrofil, persentase eosinofil, dan persentase monosit. Pemberian nanoenkapsulasi PGF2α pada domba tidak mempengaruhi persentase basofil, persentase limfosit, dan rasio neutrofil/limfosit (rasio N/L).
2022-09-02
2022-09-02
2022-09-02
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114311
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1143172022-09-03T01:38:35Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Analisis Perilaku Makan Kukang (Nycticebus coucang) di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB
Supama, Famela Noviani
Darusman, Huda Shalahudin
Adnyane, I Ketut Mudite
Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB merupakan lembaga konservasi ex-situ yang memfasilitasi penangkaran dan penelitian pada primata, salah satunya adalah kukang (Nycticebus coucang). Evaluasi kesejahteraan kukang di penangkaran dapat dilakukan dengan menganalisis perilaku makan dengan metode focal animal sampling melalui rekaman video CCTV. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perilaku makan kukang di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Hasil penelitian menunjukkan perilaku makan memiliki proporsi yang relatif kecil dibanding perilaku lainnya. Perilaku makan dilakukan pada sore hingga pagi hari. Lokasi yang digunakan kukang untuk makan antara lain sarang, cabang pohon, atap kandang, serta lantai kandang. Kukang cenderung melakukan perilaku makan di cabang pohon. Pakan yang diberikan pada kukang terdiri atas telur ayam rebus, pisang, pepaya, dan air minum. Pakan yang teramati paling banyak dimakan oleh kukang adalah pisang. Pola perilaku makan yang dapat teramati, diantaranya pergerakan mendekati pakan, posisi makan, cara memegang pakan, cara makan, serta pergerakan menjauhi pakan.
The Primate Research Center (PRC) IPB is an ex-situ conservation institution which facilitates captive breeding and research for primates, one of which are slow lorises (Nycticebus coucang). Evaluation of the welfare of slow lorises in captive breeding performed by analyzing the feeding behavior with focal animal sampling method through CCTV video recordings. The aim of this study was to determine the feeding behavior of slow lorises at the PRC IPB. The results showed that the feeding behavior had a relatively smaller proportion than other behaviors. The feeding behavior was carried out in the afternoon until morning. The locations used by slow lorises to eat were nests, tree branches, cage roofs, and cage floors. The slow lorises tend to eat on tree branches. The feeds given to slow lorises consist of boiled eggs, bananas, papayas, and drinking water. The feeds observed eaten the most by slow lorises were bananas. The feeding behavior patterns that could be observed, include movement towards the feeds, feeding positions, how to hold the feeds, how to eat, and movement away from the feeds.
2022-09-03
2022-09-03
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114317
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1131512022-08-03T08:08:52Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Efektivitas Infusa Daun Keji Beling (Strobilanthes crispus Blume) sebagai Antidiare pada Mencit (Mus musculus)
Zakiyah, Aida
Mustika, Aulia Andi
Sa'diah, Siti
Tanaman keji beling telah lama digunakan untuk pengobatan penyakit pada
manusia, namun penelitian terkait manfaat tanaman keji beling sebagai antidiare
masih sedikit. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi secara ilmiah efek infusa
daun keji beling sebagai antidiare dengan metode proteksi intestinal dan transit
intestinal pada mencit. Penelitian ini menggunakan 36 ekor mencit yang dibagi
menjadi enam kelompok terdiri dari kelompok kontrol negatif (Tween 80 [1%]),
kontrol positif (suspensi loperamid HCl), dan empat kelompok perlakuan infusa
daun keji beling dengan konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, dan 100% yang diberikan
secara oral. Parameter yang diamati yaitu frekuensi defekasi, konsistensi feses, dan
rasio lintasan marker usus. Berdasarkan metode proteksi intestinal, infusa daun keji
beling dengan konsentrasi 12,5%, 25%, dan 50% memiliki efek antidiare,
sedangkan pada metode transit intestinal hanya infusa daun keji beling konsentrasi
50% yang memiliki efek antidiare. Berdasarkan kedua metode, infusa daun keji
beling konsentrasi 50% menunjukkan efek antidiare yang paling efektif.
Keji beling plant has long been used for the treatment of diseases in human,
but research regarding the benefits of the keji beling plant as an antidiarrheal are
still few. The purpose of this study was to evaluate scientifically the effect of keji
beling leaf infusion as an antidiarrheal with intestinal protection and intestinal
transit method in mice. This study used 36 mice which were divided into six groups
consisting of a negative control group (Tween 80 [1%]), a positive control group
(loperamide HCl suspension), and four groups of treatment with a keji beling leaf
infusion concentration of 12,5%, 25%, 50%, and 100% given orally. The
parameters observed were the frequency of defecation, the consistency of faeces,
and the ratio of marker passages in the intestines of mice. Based on intestinal
protection method, infusion of keji beling leaf with concentrations of 12.5%, 25%,
and 50% has an antidiarrheal effect, while in the intestinal transit method only the
infusion of keji beling leaf with concentration of 50% has an antidiarrheal effect.
Based on the two methods, infusion of keji beling leaf at a concentration of 50%
showed the most effective antidiarrheal effect.
2022-08-03
2022-08-03
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/113151
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1127322022-07-22T00:20:17Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
The Effect of Different Types of Enrichment on Stereotypic Behaviour of Captive Hylobates lar at Gibbon Rehabilitation Project in Raub, Pahang, Malaysia
Wee Kee, Ching
Setijanto, Heru
Setiyaningsih, Surachmi
Owa serudung, juga dikenal sebagai Hylobates lar, sangat terancam punah. Rehabilitasi merupakan salah satu solusi untuk mencegah owa dari kepunahan. Untuk mengembalikan owa ke alam liar, owa harus siap secara fisik dan mental untuk kembali ke alam liar serta memenuhi tujuh kriteria pelepasan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami penyebab, akibat, dan solusi perilaku stereotipik dan menyelidiki pengaruh empat perangkat pengayaan yang berbeda (pengayaan taktil, penciuman, makanan dan kognitif serta sosial) terhadap pengurangan perilaku stereotipik. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi. Penataan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS) dan Microsoft Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran manusia memicu terjadinya masturbasi dan demonstrasi posterior. Pemberian pengayaan membantu pengurangan perilaku stereotip. Dari empat perangkat pengayaan yang berbeda, owa serudung paling banyak berinteraksi dengan kain dan pisang (pengayaan taktil); namun, kotak penggali gantung lebih efektif dalam mengurangi perilaku stereotip meskipun owa paling sedikit tertarik padanya.
White-handed gibbon, also known as Hylobates lar, are highly endangered and threatened with extinction. Rehabilitation is one of the solutions to prevent the gibbon from extinction. To reintroduce the gibbons into the wild, gibbons must be both physically and mentally ready to return to the wild as well as achieve seven criteria of release. This research aimed to understand the causes, effects and solutions to the stereotypic behaviour and investigate the effect of four different enrichment devices (tactile, olfactory, food and cognitive as well as social enrichment) on the reduction of stereotypic behaviour in one captive gibbon. The data were collected using the observation method. Data arrangement and analysis were done by using The Statistical Package for Social Sciences for Windows (SPSS) and Microsoft Excel. The result showed that the presence of humans triggers masturbation and posterior demonstration. The giving of enrichment helped the reduction of stereotypic behaviour . Of the four different enrichment devices, the gibbon interacted the most with the cloth and banana leaves (tactile enrichment); however, the hanging digging box was more effective in reducing the stereotypic behaviour even though the gibbon had the least interest on it.
2022-07-22
2022-07-22
2022-07-21
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112732
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1127272022-07-22T00:09:04Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Efektivitas Infusa Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) sebagai Analgesik pada Mencit (Mus musculus)
Wandelina, Fany
Fahrudin, Mokhamad
Pristihadi, Diah Nugrahani
Daun sirih hijau (Piper betle L.) merupakan tanaman herbal yang berasal dari Asia yang dipercaya dapat digunakan sebagai pereda nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek analgesik infusa daun sirih hijau menggunakan metode hot water immersion tail-flick test. Selain itu, bertujuan untuk mengevaluasi adanya perubahan fisiologis pada mencit yang terjadi selama masa induksi analgesik dan pengobatannya menggunakan daun sirih hijau. Penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit jantan galur DDY dan mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sejumlah mencit tersebut dibagi menjadi 5 kelompok yaitu satu kontrol negatif (grup 1; diberi akuades), satu kontrol positif (grup 2; diberi ibuprofen), dan tiga kelompok perlakuan (kelompok III, IV, dan V; diberi infusa daun sirih hijau dengan dosis masing-masing 1, 3, dan 5 g/kg BB mencit). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan one-way analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian didapatkan dosis efektif dari infusa daun sirih hijau untuk menghasilkan efek analgesik adalah 3 g/kg BB yang ditunjukan pada menit ke-60 sebesar ± 5,29 detik. Pemberian infusa daun sirih hijau juga ditemukan tidak menyebabkan abnormalitas pada fisiologis mencit. Disimpulkan bahwa infusa daun sirih hijau dapat digunakan sebagai sediaan analgesik alami. Kata kunci: analgesik, daun sirih hijau (Piper betle L.), mencit (Mus musculus)
The green betel leaf (Piper betle L.) is an Asian origin herbal plant that is reckoned as a pain reliever remedy. This study aims to prove the analgesic effect of green betel leaf infusion using the hot water immersion tail-flick test method. In addition, it aims to evaluate the physiological changes in mice (Mus musculus) that occur along with the analgesic induction and its treatment by using the green betel leaf infusion. This study was performed by using 25 male DDY mice and followed a completely randomized design (CRD). The mice were divided into 5 groups, namely a negative control (group I; was given aquadest), a positive control (group II; was given ibuprofen), and three treatment groups (group III, IV, as well as V; were given the green betel leaf infusion at a dose of 1, 3, and 5 g/kg BW respectively). The collected data was analyzed by using the one-way analysis of variance (ANOVA) which was followed by the Tukey test. The results showed that the effective dose of the green betle leaf infusion to generate analgesic effect was at a dose of 3 g/kg BW which was shown at the 60th minute with ±5,29 seconds of latencies. The administration of the green betle leaf infusion was also found not to cause any abnormalities in the mice’s physiology. It was concluded that the infusion of green betel leaf can be used as a natural analgesic. Keywords: analgesic, green betel leaf (Piper betle L.), mice (Mus musculus)
2022-07-22
2022-07-22
2022-07-21
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112727
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1123632022-07-08T23:55:57Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Pertumbuhan dan Kecernaan Pakan pada Domba yang Mengonsumsi Pelet Daun Katuk dan Campuran Batang Lunak dengan Daun Katuk Depolarisasi
Wulandari, Nenis Rahma
Suprayogi, Agik
Adnyane, I Ketut Mudite
Bahan baku produksi imbuhan pakan pelet katuk depolarisasi masih mengandalkan daun katuk, belum ada upaya memanfaatkan batang lunak sebagai substitusi bahan baku. Penelitian ini bertujuan mengetahui respon pemberian pelet daun katuk (D) dan pelet campuran batang lunak dengan daun katuk (DBL) dalam berbagai dosis terhadap pertumbuhan bobot badan dan kecernaan pakan. Sebanyak 21 ekor domba jantan lokal masa tumbuh diberi pakan rumput lapang dan konsentrat, dibagi menjadi 7 kelompok perlakuan masing-masing terdiri atas tiga ekor domba, yaitu kelompok kontrol, pelet daun katuk 5 g (D1), 10 g (D2), 15 g (D3), dan pelet campuran batang lunak dengan daun katuk 5 g (DBL1), 10 g (DBL2), 15 g (DBL3). Pemberian pakan perlakuan sesuai dosisnya, dilakukan setiap hari selama 10 minggu. Pengukuran parameter dilakukan terhadap pertambahan bobot badan (PBB) dan pertambahan bobot badan harian (PBBH), serta kecernaan pakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian pelet daun katuk (D) 10 dan 15 g serta pelet campuran batang lunak dengan daun katuk (DBL) 15 g mampu meningkatkan PBB dan PBBH domba jantan. Pemberian pelet campuran batang lunak dengan daun katuk (DBL) 15 g mampu meningkatkan kecernaan lemak kasar hingga 94,09 ± 0,61%. Substitusi batang lunak dalam pelet daun katuk dapat digunakan sebagai bahan baku pelet katuk depolarisasi.
The raw material for depolarized katuk pellets (Katulac®) production still relies on katuk leaves, katuk soft stems never been used as a substitution. This research designed to determine administration response of katuk leaves pellet (D) and a mixture of soft stems with katuk leaves pellet (DBL) in various doses to body weight gain (PBB) and digestibility. Experimental animals were 21 local rams which fed with grass and concentrate, divided into 7 groups that consisted of three rams, namely: control group (control), katuk leaves pellet 5 g (D1), 10 g (D2), 15 g (D3), and mixture of soft stems with katuk leaves pellet 5 g (DBL1), 10 g (DBL2), 15 g (DBL3). The treatment given every day in 10 weeks according to the doses. Parameter measurements were on body weight gain (PBB), daily body weight gain (PBBH), and feed digestibility. The study showed that giving pellet (D) 10 and 15 g and (DBL) 15 g could increase PBB and PBBH of rams. Pellet (DBL) 15 g administration showed a crude fat digestibility in the value of 94.09 ± 0.61%. It’s still possible to substitute soft stems as raw material in depolarized katuk pellets.
2022-07-08
2022-07-08
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112363
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126402022-07-19T13:34:29Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Therapeutic Drugs Used in Canine Monocytic Ehrlichiosis Treatment in Century Animal Clinic Tawau, Sabah, Malaysia 2019-2021
Yunus, Yosua
Andriyanto
Siswandi, Riki
Canine ehrlichiosis is a serious and sometimes fatal tick-borne disease that is cause by infectious bacteria of the Ehrlichia genus. The most common species that infects dogs include Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii and Ehrlichia canis, with the latter being the most common species found in dogs. The primary vector of Ehrlichia canis is Rhipicephalus sanguineus, a brown dog tick. The study aims to obtain and analyze data of therapeutic drugs used in the treatment of CME in Century Animal Clinic Tawau from 2019 to 2021 as well as analyzing the purpose and function of each drug. Based on 65 cases that were collected from the clinic, it is concluded that the types of drugs used for the treatment of CME consist of antibiotics (22%), corticosteroid (11%) and supplementary drugs (67%). The most used antibiotic was doxycycline followed by oxytetracycline and the combination of both respectively. The corticosteroid administered consist of only prednisolone while there were total of 6 types of supplements used with Sangobion® for iron deficiencies, vitamin B-complex, Neurobion forte®, and folic acid for anemic condition while Azodyl® and Nefrotec ds® are used as kidney supplement.
Canine ehrlichiosis adalah penyakit tick-borne yang serius dan kadang- kadang fatal yang disebabkan oleh bakteri menular dari genus Ehrlichia. Spesies yang paling umum yang menginfeksi anjing termasuk Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii dan Ehrlichia canis, dengan yang terakhir menjadi spesies yang paling umum ditemukan pada anjing. Vektor utama Ehrlichia canis adalah Rhipicephalus sanguineus, kutu anjing berwarna coklat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan dan menganalisis data obat terapeutik yang digunakan dalam pengobatan CME di Klinik Hewan Century Tawau dari tahun 2019 hingga 2021 serta menganalisis tujuan dan fungsi masing-masing obat. Berdasarkan 65 kasus yang dikumpulkan dari klinik, disimpulkan bahwa jenis obat yang digunakan untuk pengobatan CME terdiri dari antibiotik (22%), kortikosteroid (11%) dan obat tambahan (67%). Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah doksisiklin diikuti oksitetrasiklin dan kombinasi keduanya. Kortikosteroid yang diberikan hanya terdiri dari prednisolon sedangkan total 6 jenis suplemen yang digunakan dengan Sangobion® untuk defisiensi besi, vitamin B kompleks, Neurobion forte®, dan asam folat untuk kondisi anemia sedangkan Azodyl® dan Nefrotec ds® digunakan sebagai suplemen ginjal.
2022-07-19
2022-07-19
2022-07-19
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112640
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1148192022-10-05T07:29:12Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124942022-07-15T00:09:10Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Infusa Daun Pepaya (Carica papaya L.) sebagai Stimulator Stamina pada Mencit (Mus musculus)
Mahfudah, Ira
Andriyanto
Manalu, Wasmen
Manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari memerlukan energi untuk menjaga stamina atau daya tahan tubuh. Penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan individu cepat merasa lelah sehingga menghambat aktivitas sehari– hari. Pemilihan daun pepaya sebagai obat herbal stimulator stamina tubuh merupakan alternatif pengobatan tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Penelitian ini bertujuan mempelajari efektivitas infusa daun pepaya sebagai stimulator stamina tubuh dalam berbagai dosis pada mencit, dan mengamati perubahan fisiologis tubuh meliputi suhu, frekuensi napas dan denyut jantung. Uji efektivitas stamina menggunakan metode ketahanan renang (swimming endurance). Penelitian ini menggunakan 25 ekor mencit jantan yang dikelompokkan menjadi lima kelompok: kontrol positif diberikan kafein, kontrol negatif diberikan akuades, dan kelompok perlakuan dengan diberikan infusa daun pepaya pada dosis 1, 3, dan 5 g/kg BB. Setiap kelompok terdiri atas lima ekor mencit. Data dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian didapatkan dosis efektif pada uji stamina adalah 3 g/kg BB sebesar 80,18 detik. Daun papaya dapat menyebabkan perubahan fisiologis meliputi penurunan suhu, denyut jantung, dan frekuensi napas, namun masih dalam rentang normal. Kesimpulan penelitian ini adalah daun pepaya memiliki potensi sebagai stimulator stamina alami. Kata kunci: daun pepaya, infusa, stamina, stimulator.
Humans need energy to maintain stamina or endurance in order to carry out daily activities. Decrease in endurance will cause individuals to feel tired quickly, so it will inhibit daily activities. The selection of papaya leaves as an herbal medicine is an alternative to traditional medicine to increase endurance. This study aimed to investigate the effectiveness of papaya leaf infusion as a stamina stimulator with various doses in mice and to observe physiological changes in the body including temperature, respiratory rate, and heart rate. The stamina was tested using swimming endurance method. This study used 25 male mice which were divided into five groups: positive control (with caffeine), negative control (with distilled water), and the treatment groups with papaya leaf infusion at doses of 1, 3, and 5 g/kg BW. Each group consisted of five mice. The data collected were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA), then continued with the Tukey test. The results showed that the effective dose in the stamina test was 3 g/kg BW for 80,18 seconds. Papaya leaf is able to cause physiological changes with a decrease in temperature, heart rate, and respiratory rate, but still in normal ranges. It is concluded that papaya leaf has the potential to be a natural stamina stimulator. Keywords: infusion, papaya leaf, stamina, stimulant.
2022-07-15
2022-07-15
2022-07-14
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112494
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1145132022-10-05T07:27:15Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126462022-07-19T14:47:05Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Therapeutic Drugs Used Myxomatous Mitral Valve Degeneration (MMVD) in Dogs at Gasing Veterinary Hospital in Selangor,
Huey, Lynette Ong
Andriyanto
Hadi, Upik Kesumawati
Myxomatous mitral valve degeneration (MMVD) is a chronic degenerative
disease in which the cardiac valves, mainly the mitral valve, undergo leaflet
thickening or prolapse due to aging process or genetic factor. There are five stages
of MMVD in dogs, namely stage A, stage B1, stage B2, stage C, and finally stage
D. Clinical symptoms of MMVD can be seen from stage C onwards, where
congestive heart failure signs are obvious. The study aims to obtain and analyze
secondary data of the therapeutic drugs used in the treatment of MMVD at Gasing
Veterinary Hospital in the year 2021. The highest percentage of drugs used were
ACE inhibitors and positive inotropes both at 33%. Diuretics were the second most
administered drug at 26%. Other therapeutic drugs which were administered in
smaller proportions include bronchodilators at 5%, antiplatelet at 2%, and calcium
channel blocker at 1%. It was concluded that the types of drugs that were
administered in MMVD cases comprised of ACE inhibitors, positive inotropes,
diuretics, bronchodilators, antiplatelet, and calcium channel blocker.
Myxomatous mitral valve degeneration (MMVD) adalah suatu penyakit
degeneratif kronik pada katup jantung yang ditandai dengan penebalan atau prolaps
katup karena proses penuaan atau faktor genetik, terutama terjadi pada katup mitral.
Terdapat lima stadium MMVD pada anjing, yaitu stadium A, stadium B1, stadium B2,
stadium C, dan terakhir stadium D. Gejala klinis MMVD dapat dilihat dari stadium C
dan seterusnya, ditandai dengan adanya gagal jantung kongestif yang terlihat jelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dan menganalisis data sekunder obat
terapeutik yang digunakan dalam pengobatan MMVD di Rumah Sakit Hewan Gasing
tahun 2021. Persentase obat tertinggi yang digunakan berupa ACE inhibitor dan inotrop
positif dengan persentase keduanya sebesar 33%. Diuretik adalah obat kedua yang
paling banyak diberikan dengan persentase sebesar 26%. Obat terapeutik lain yang
diberikan dalam proporsi yang lebih kecil diantaranya bronkodilator 5%, antiplatelet
2%, dan antagonis kalsium 1%. Secara kesimpulan, jenis obat yang diberikan pada
kasus MMVD terdiri dari ACE inhibitor, inotrop positif, diuretik, bronkodilator,
antiplatelet, dan antagonis kalsium.
2022-07-19
2022-07-19
2022-07-19
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112646
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126912022-07-20T23:59:27Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Tool manipulation to obtain a food reward in lar gibbons (Hylobates lar)
Selvam, Kuhan Panneer
Darusman, Huda Shalahudin
Satrija, Fadjar
Tool manipulation in Hylobates lar has not been well documented in Malaysia. The main aim of this study is to assess whether lar gibbons are capable of manipulating objects to obtain a food reward. We assessed whether lar gibbons can learn to pull on a rake-like object to gain a food reward without specific training. The main task that is to be observed is the pulling of a rake-like rod to obtain a food reward with a time limit of 60 minutes. All the gibbons managed to obtain the reward at least once throughout the five trials. The gibbons are seen using a trial-error approach which proved to be successful in obtaining the reward. Female gibbons were also observed to be more cautious in attending to a new task or object compared to male gibbons. This can be seen when female gibbons made more interactions with tools prior successful trial compared to the male gibbons.
Manipulasi alat di Hylobates lar belum didokumentasikan dengan baik di Malaysia. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menilai apakah owa lar mampu memanipulasi objek untuk mendapatkan ganjaran makanan. Kami menilai apakah owa lar dapat belajar menarik benda seperti penggaruk untuk mendapatkan ganjaran makanan tanpa pelatihan khusus. Tugas utama yang harus diamati adalah menarik garu seperti garu untuk mendapatkan ganjaran makanan dengan batas waktu 60 menit. Semua owa berhasil mendapatkan ganjaran setidaknya sekali selama lima percobaan. Owa terlihat menggunakan pendekatan trial-error yang terbukti berhasil mendapatkan ganjaran. Owa betina juga diamati lebih berhati-hati dalam mengerjakan tugas atau objek baru dibandingkan dengan owa jantan. Hal ini terlihat ketika owa betina lebih banyak berinteraksi dengan alat sebelum percobaan berhasil dibandingkan dengan owa jantan.
2022-07-20
2022-07-20
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112691
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124552022-09-08T02:43:01Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Profil Bahan Baku Katuk Depolarisasi dan Palatabilitas Imbuhan Pakan Katuk pada Domba dan Sapi Potong
Azurianda, Miftahul
Suprayogi, Agik
Mustika, Aulia Andi
Daun tanaman katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) sebagai obat atau imbuhan
pakan (feed additive) dapat meningkatkan produksi ternak dan sekresi air susu baik pada
manusia maupun hewan. Diketahui bahwa tanaman katuk memiliki bagian lain yang bisa
dimanfaatkan dan diolah untuk dijadikan tepung pelet katuk, yaitu batang lunak. Bagian
batang lunak secara proporsional dapat sebagai bahan baku pengganti daun dalam proses
produksi pelet feed additive untuk ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pemanfaatan batang lunak sebagai bahan baku pellet katuk depolarisasi dan palatabilitas
katuk terhadap domba dan sapi potong. Penelitian menggunakan 8 ekor domba dan 12
ekor sapi potong untuk uji palatabilitas dan menggunakan 18 kg tanaman katuk. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa panjang batang lunak yang dipanen pada periode pertama
tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan panen periode kedua, namun untuk bobot daun dan
bobot panjang batang lunak berbeda nyata dengan panen periode kedua (p<0,05). Panen
periode pertama menghasilkan bobot daun dan batang lunak lebih tinggi dari panen
periode kedua. Hasil uji palatabilitas terhadap domba menunjukan baik pelet D maupun
pelet DBL sama-sama disukai oleh domba. Uji palatabilitas pelet dan bubuk katuk
terhadap sapi melihatkan perbedaan yang nyata (p<0,05), sapi lebih menyukai katuk
dalam bentuk pelet dibanding bubuk.
Katuk plant leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr) as a drug or feed
additive (feed additive) can increase livestock production and milk secretion in
both humans and animals. It is known that the katuk plant has other parts that can
be utilized and processed to make katuk pellet flour, namely the soft stem. The
soft stem portion can be proportionately as raw material for leaf replacement in
the process of producing feed additive pellets for livestock.This research aims
toknowing the utilization of soft stems as raw material for depolarizing katuk
pellets and the palatability of katuk for sheep and beef cattle.The study used 8
sheep, 12 cows for palatability testing and used 18 kg of katuk plants.The results
showed that the length of soft stems harvested in the first period was not
significantly different (p>0,05) from the second period, but leaf weight and soft
stem length were significantly different from those of the second period (p<0,05).
The first harvest period resulted in higher leaf and soft stem weights than the
second period harvest. The results of the palatability test on sheep showed that
both D pellets and DBL pellets were equally favored by sheep. The palatability
test of pellets and katuk powder on cattle showed a significant difference
(p<0,05), cattle preferred katuk in the form of pellets compared to powder.
2022-07-13
2022-07-13
2022-07
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112455
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124032022-07-12T00:01:08Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Identifikasi Entamoeba histolytica pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pusat Studi Satwa Primata IPB Menggunakan Nested PCR
Khairunnisa, Putri Yasmin
Darusman, Huda Shalahudin
Sudarnika, Etih
Monyet ekor panjang banyak ditemukan di Indonesia, khususnya di wilayah Bali, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa. Interaksi antara manusia dan monyet ekor panjang meningkatkan risiko transmisi penyakit zoonotik akibat infeksi protozoa pada monyet ekor panjang. Entamoeba spp. diketahui sebagai protozoa yang paling banyak menginfeksi monyet ekor panjang. Spesies Entamoeba histolytica memiliki risiko zoonosis. Spesies ini diketahui sebagai penyebab amoebiasis yang menimbulkan ratusan ribu kasus kematian pada manusia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi spesies Entamoeba yang menginfeksi monyet ekor panjang di Pusat Studi Satwa Primata IPB. Metode nested PCR dipilih karena dianggap sebagai metode yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi dalam mengenali spesies Entamoeba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 dari 20 (30%) sampel positif Entamoeba spp. dan 5 dari 20 (25%) sampel tersebut positif Entamoeba histolytica. Upaya pencegahan infeksi Entamoeba histolytica pada monyet ekor panjang dapat dilakukan melalui peningkatan sanitasi kandang, pemerhatian manajemen perkandangan, dan pemberian vaksin.
Long-tailed macaques are commonly found in Indonesia, especially in Bali, Kalimantan, Sumatra, and Java. The interaction between humans and long-tailed macaques increases the risk of zoonotic disease transmission due to protozoan infection in long-tailed macaque. Entamoeba spp. is known to be the most common protozoan infects long-tailed macaque. Entamoeba histolytica species cause zoonotic risk. This species also known as the cause of amoebiasis which causes hundreds of thousands of deaths in humans. Therefore, this study was conducted to identify species of Entamoeba that infects long-tailed macaques in Primate Research Center IPB University. The nested PCR method was chosen because it is considered to have high sensitivity and specificity in identifying Entamoeba species. The result showed that 6 out of 20 (30%) samples were positive for Entamoeba spp. and 5 out of 20 (25%) of these samples were positive for Entamoeba histolytica. Prevention of Entamoeba histolytica infection in long-tailed macaques can be done through improving cage sanitation, intensifying cage management, and administering vaccines.
2022-07-12
2022-07-12
2022-07-11
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112403
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1157202022-12-28T05:43:18Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Produksi Embrio pada Berbagai Fase Estrus Mencit setelah Penyuntikan Kombinasi PMSG-hCG dan r-hFSH – r-hCG.
Salsabila, Cyntia Bella
Boediono, Arief
Sunartatie, Titiek
Perkembangan teknologi rekayasa genetika menghasilkan suatu inovasi sediaan hormonal gonadotropin rekombinan yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi yang bermanfaat di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan mempelajari dan mengidentifikasi efektivitas respons stimulasi superovulasi pemberian sediaan hormon gonadotropin eksogen (PMSG/Folligon® dan hCG/Chorulon®) dengan hormon rekombinan (r-FSH:r-LH/Pergoveris® dan r-hCG/Ovidrel®) terhadap tahap perkembangan embrio di fase siklus estrus yang optimal pada produksi embrio secara in vivo pada mencit (Mus musculus). Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina dan jantan yang telah diaklimatisasi selama 2 minggu. Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok perlakuan. Pada kelompok pertama diberikan sediaan kombinasi Folligon® dan Chorulon® dan kelompok kedua diberikan sediaan kombinasi Pergoveris® dan Ovidrel®. Untuk mengetahui fase estrus pada mencit, masing-masing kelompok perlakuan dilakukan pemeriksaan ulas vagina. Seluruh kelompok perlakuan diinjeksi Folligon®-Chorulon® dan Pergoveris®-Ovidrel® secara intraperitoneal. Perkawinan mencit dilakukan setelah penyuntikan Chorulon® atau Ovidrel®. Koleksi embrio dilakukan pada hari ke-3 setelah dikawinkan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah ovulasi embrio mencit pada setiap fase siklus estrus tidak berpengaruh nyata. Respon stimulasi superovulasi yang optimal cenderung terdapat pada mencit yang distimulasi menggunakan hormon kombinasi Pergoveris® dan Ovidrel® pada fase estrus.
The development of genetic engineering technology has resulted in an innovation of recombinant gonadotropin hormonal preparations that can be applied to increase reproductive efficiency which is beneficial in the future. This study aims to study and identify the effectiveness of the superovulation stimulation response by administering exogenous gonadotropin hormones (PMSG/Folligon® and hCG/Chorulon®) with recombinant hormones (r-FSH:r-LH/Pergoveris® and r-hCG/Ovidrel®) on the stages of embryo development in the optimal estrus cycle in embryo production in vivo in mice (Mus musculus). The experimental animals used in this study were female and male mice that had been acclimatized for 2 weeks. This research was conducted in two treatment groups. The first group was given a combination of Folligon® and Chorulon® and the second group was given a combination of Pergoveris® and Ovidrel®. To determine the estrus phase in mice, each treatment group was examined by vaginal smear. All treatment groups were injected intraperitoneally with Folligon®-Chorulon® and Pergoveris®-Ovidrel®. The mating of mice was carried out after injection of Chorulon® or Ovidrel®. Embryo collection was carried out on the 3rd day after the mating. The results showed that the average number of ovulations of mouse embryos in each phase of the estrous cycle had no significant effect. Optimal superovulation stimulation responses tend to occur in mice stimulated using a combination of Pergoveris® and Ovidrel® hormones during the estrous phase.
2022-12-28
2022-12-28
2022-12-28
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115720
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124602022-07-13T04:36:29Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Kemampuan Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai Sediaan Analgesik pada Mencit (Mus musculus)
Nisrina, Rahayu
Manalu, Wasmen
Soesatyoratih, RR
Pain becomes an unpleasant thing for everyone who feels it. With the development of the times, there are more people who use herbal plants as an alternative medicine. Sappan wood is one of the herbal plants which has analgesic properties. This research aims to investigate the effectiveness of sappan wood infusion as an analgesic in various doses in mice. Analgesic effectiveness test was carried out using the hot water immersion tail-flick test method. For the purpose of the study, it uses 25 male mice which were the negative control group, positive control group, infusion of sappan wood at doses of 1, 3, and 5 g/kg BW. Each experimental group consisted of 5 mice. The collected data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and continued with the Tukey test. The results showed that the infusion of sappan wood was able to provide an analgesic effect at the most effective dose at a dose of 1 g/kg BW. Compound in sappan wood that act as analgesics are flavonoids, alkaloids, and saponins. The conclusion of this study is that the infusion of sappan wood can be used as an alternative for safe and inexpensive analgesic preparations. Keywords: analgesic, herbal medicine, infusion, mice, sappan wood
Nyeri menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan bagi setiap orang yang merasakannya. Semakin berkembangnya zaman, masyarakat semakin banyak memanfaatkan tanaman herbal sebagai pengobatan alternatif. Kayu secang merupakan salah satu tanaman herbal yang memiliki khasiat sebagai analgesik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efektivitas infusa kayu secang sebagai analgesik dalam berbagai dosis pada mencit. Uji efektivitas analgesik dilakukan melalui metode hot water immersion tail-flick test. Penelitian menggunakan 25 ekor mencit jantan yang dikelompokkan menjadi kelompok kontrol negatif, kontrol positif, infusa kayu secang dosis 1, 3, dan 5 g/kg BB. Setiap kelompok percobaan terdiri atas 5 ekor mencit. Hasil perolehan data dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infusa kayu secang mampu memberikan efek analgesik pada mencit dengan khasiat paling efektif pada dosis 1 g/kg BB. Senyawa dalam kayu secang yang berperan sebagai analgesik adalah flavonoid, alkaloid, dan saponin. Kesimpulan dari penelitian ini adalah infusa kayu secang mampu digunakan sebagai alternatif sediaan analgesik yang aman dan murah. Kata kunci: analgesik, infusa, kayu secang, mencit, obat herbal
2022-07-13
2022-07-13
2022-07-13
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112460
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1155572022-12-15T07:29:40Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Studi Kasus Profil Hematologi pada Koloni Macaca fascicularis di Penangkaran PSSP dengan Infeksi Klebsiella pneumoniae
Shabiha, Alifia Aziza Nur
Darusman, Huda Shalahudin
Supriatna, Iman
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah hewan model karena
memiliki kemiripan dengan manusia secara morfologis. Informasi mengenai profil
hematologi monyet ekor panjang dengan kasus Klebsiella pneumoniae masih
sangat terbatas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan
pada kasus Klebsiella pneumoniae pada monyet ekor panjang. Data sampel
didapatkan dari lab PSSP sejumlah 27 sampel darah yang sudah dianalisis dengan
alat hematology analyzer dan PCR. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dan
ditampilkan dalam bentuk rata-rata ± standar deviasi. Data tersebut dibandingkan
dengan profil hematologi Macaca fascicularis normal. Nilai profil hematologi rata-
rata pada Macaca fascicularis di penangkaran PSSP baik dari yang positif dan
negatif Klebsiella pneumoniae mengalami penurunan adalah leukosit, eritrosit,
hemoglobin hematokrit, MCV, trombosit dan PDW, sedangkan yang mengalami
kenaikan adalah MCH, MCHC dan RDW. Hal ini menunjukkan terjadinya
leukopenia, anemia mikrositik hiperkromik, dan trombositopenia yang dapat terjadi
akibat infeksi Klebsiella pneumoniae.
The long-tailed monkey (Macaca fascicularis) is a model animal because it
is morphologically similar to humans. Information on the hematological profile of
long-tailed monkeys with Klebsiella pneumoniae cases is still very limited. The
results of this study are intended to serve as a reference in the case of Klebsiella
pneumoniae in long-tailed monkeys. The sample data was obtained from the PSSP
laboratory. A total of 27 blood samples were analyzed using a hematology analyzer
and PCR. The data were then analyzed descriptively and presented in terms of mean
and standard deviation. These data were compared with the normal Macaca
fascicularis hematological profile. The mean values of the hematological profile in
captive Macaca fascicularis of PSSP, both positive and negative Klebsiella
pneumoniae, were decreased in leukocytes, erythrocytes, hemoglobin, hematocrit,
MCV, platelets, and PDW, while those showing an increase in MCH, MCHC, and
RDW. This indicates the occurrence of leukopenia, hyperchromic microcytic
anemia, and thrombocytopenia, which can occur due to infection with Klebsiella
pneumoniae.
2022-12-15
2022-12-15
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115557
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1157382022-12-29T04:25:37Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Deteksi Suhu Permukaan Tubuh Sapi Mastitis Menggunakan Kamera Termal Inframerah
Azkandhiya, M. Hilman
Santoso, Koekoeh
Novelina, Savitri
Mastitis merupakan peradangan saluran ambing akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae yang dapat menyebabkan penyakit sistemik dan dapat mengakibatkan menurunnya produksi susu. Metode pengujian mastitis telah banyak dilakukan, salah satunya kamera termal inframerah untuk membantu diagnosa sapi mastitis, suhu sapi mastitits dapat dideteksi dini menggunakan kamera termal inframerah atau memudahkan deteksi. Penelitian ini bertujuan mendeteksi, membandingkan dan menentukan rata-rata suhu permukaan sapi non-mastitis dan sapi mastitis berdasarkan suhu permukaan ambing, suhu lingkungan, suhu per regio, dan suhu rektal di daerah Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pengambilan termal suhu tubuh sapi dilakukan pada pukul 05.00-06.00 dan 14.00-15.00 selama lima hari di lima kandang yang berbeda. Regio yang dipotret citra termalnya adalah regio mata, hidung, toraks, abdomen, empat kuartir ambing, vulva. Hasil rata-rata keseluruhan suhu permukan tubuh sapi nonmastitis dan sapi mastitis yaitu mata 32.33±0.25 dan 33.79±0.37, hidung 29.60±0.89 dan 31.54±0.96, toraks 31.69±0.58 dan 32.54±0.79, abdomen 31.03±0.35 dan 32.35±0.60, kuartir kiri depan 31.75±0.48 dan 32.99±0.57, kuartir kiri belakang 32.13±0.85 dan 32.95±0.95, kuartir kanan depan 32.14±0.00 dan 33.50±0.49, kuartir kanan belakang 31.87±0.57 dan 33.04±0.73, vulva 32.32±0.59 dan 33.55±0.40. Regio tubuh terbaik mendeteksi suhu permukaan sapi mastitis yaitu regio mata, hidung, kuartir ambing belakang, dan vulva, sedangkan regio yang mendekati suhu inti adalah mata dan vulva.
2022-12-29
2022-12-29
2022-12-29
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115738
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1154132022-12-02T05:58:36Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Jumlah BDM (Butir Darah Merah), Hemoglobin dan Hematokrit Burung Puyuh pada Fase Starter, Grower, dan Layer
Riadi, Fabio Amanda
Satyaningtijas, Aryani Sismin
Supriyono
Burung puyuh merupakan salah satu sumber diversifikasi produk daging dan telur. Tahap pertumbuhan pada masa pemeliharaan burung puyuh sebagai unggas petelur terdiri dari fase starter, fase grower, dan fase layer. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mempelajari profil butir darah merah berupa jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit pada pertumbuhan burung puyuh starter, grower, dan layer. Sebanyak 30 ekor burung puyuh terdiri dari 10 ekor masing-masing fase diambil darahnya melalui vena brachialis untuk dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan jumlah butir darah merah pada fase starter, grower, layer berturut- turut yaitu 4,73 x 106/mm3, 3,91 x 106/mm3, 3,89 x 106/mm3. Kadar hemoglobin pada fase starter, grower, layer yaitu 9,86 g/dL, 9,42 g/dL, 11,88 g/dL. Nilai hematokrit pada fase starter, grower, layer, yaitu 29,55 %,33,00 %, dan 30,45 %. Hasil ini menunjukkan nilai yang fluktuatif dari jumlah butir darah merah, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit pada semua fase burung puyuh, namun terjadi peningkatan yang signifikan pada kadar hemoglobin fase layer.
Quail is a diversified source of meat and egg products. The growth stage during the rearing of quail as laying birds consists of a starter phase, a grower phase, and a layer phase. This study aims to determine and study the profile of red blood cells in the form of the number of erythrocytes, hemoglobin levels and hematocrit values on the growth of starter, grower, and layer quail. A total of 30 quails consisting of 10 birds of each phase, blood was taken through the brachial vein for analysis. The results showed that the number of red blood cells in the starter, grower, layer phases were 4.73 x 106/mm3, 3.91 x 106/mm3, 3.89 x 106/mm3. Hemoglobin levels of starter, grower, layer phases were 9.86 g/dL, 9.42 g/dL, 11.88 g/dL. The hematocrit values of starter, grower, layer phases were 29.55%, 33.00%, and 30.45%. These results showed a fluctuating value of the number of red blood cells, hemoglobin levels and hematocrit values in all phases of quail, but there was a significant increase in hemoglobin levels in the layer phase.
2022-12-02
2022-12-02
2022-12-01
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115413
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126372022-07-19T12:52:57Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Therapeutic Drugs Used in Feline Calicivirus Treatment at Jawhari Cat Veterinary Centre
Filzah, Izzah Izzati
Andriyanto
Mayasari, Ni Luh Putu Ika
Feline calicivirus (FCV) is one of the infectious viruses that causes diseases and affects the upper respiratory tract and oral cavity. FCV is highly widespread and a major pathogen of cats worldwide. In many countries, FCV infection is the biggest problem and more prevalent in high-density cat environments. The study aims to obtain and analyse secondary data of therapeutic drugs and treatment used in FCV cases at Jawhari Cat Veterinary Centre. The method used to conduct this study is by collecting the secondary data on medications used in the treatment of FCV during the year 2020 and analyse by using Microsoft Excel® 2016. The type of treatments used in FCV cases at Jawhari Cat Veterinary Centre in 2020 are antibiotics (95,5%), antihistamines (43,8%), anti-inflammatory drugs (NSAIDs) (25,9%), bronchodilators (1,8%), mucolytics (8,9%) and supplements (100%). The most common choices of antibiotic used are azithromycin, oxytetracycline and doxycycline. The anti-inflammatory drug of choice for the pain and discomfort management were meloxicam and tolfenamic acid. Bronchodilator and mucolytic were given to the chronic symptom patient as it were helping to clearing the respiratory pathway in the severe infections.
Feline calicivirus (FCV) adalah salah satu virus menular yang menyebabkan penyakit dan mempengaruhi saluran pernapasan bagian atas dan rongga mulut. FCV sangat tersebar luas dan merupakan patogen utama kucing di seluruh dunia. Di banyak negara, infeksi FCV adalah masalah terbesar dan lebih umum di lingkungan kucing dengan kepadatan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dan menganalisis data sekunder obat terapeutik dan pengobatan yang digunakan pada kasus FCV di Jawhari Cat Veterinary Centre. Metode yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data sekunder obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan FCV selama tahun 2020 dan menganalisis dengan menggunakan Microsoft Excel® 2016. Jenis pengobatan yang digunakan pada kasus FCV di Jawhari Cat Veterinary Centre tahun 2020 adalah antibiotik (95,5%), antihistamin (43,8%), obat antiinflamasi (OAINS) (25,9%), bronkodilator (1,8%), mukolitik (8,9%) dan suplemen (100%). Pilihan antibiotik yang paling umum digunakan adalah azitromisin, oksitetrasiklin dan doksisiklin. Obat anti-inflamasi pilihan untuk manajemen nyeri dan ketidaknyamanan adalah meloxicam dan asam tolfenamic. Bronkodilator dan mukolitik diberikan kepada pasien gejala kronis karena membantu membersihkan jalur pernapasan pada infeksi berat.
2022-07-19
2022-07-19
2022-07-19
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112637
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1143602022-09-05T12:59:29Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Hematological and Blood Chemistry Analysis of Macaca Fascicularis with Positive Infection to Klebsiella Pneumoniae
Yee, Vivia Tiong Ing
Darusman, Huda Salahudin
Dewi, Fitriya Nur Annisa
Klebsiella pneumoniae belongs to the family Enterobacteriaceae and is found
in mouth and intestine. Klebsiella pneumoniae has been reported in various
nonhuman primate species with the cases of pneumonia, septicemia, and enteritis.
This secondary study purposed to obtain information of clinical pathology profile
related to Klebsiella infection in cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). This
secondary study was conducted on three long-tailed monkeys which showed
positive results in the bacterial culture test. The secondary study was based on blood
analysis to evaluate hematology and blood chemistry. The results demonstrate that
monkeys with Klebsiella pneumoniae exhibited marked changes in erythrocytes,
hemoglobin, hematocrit and mean corpuscular hemoglobin concentration values in
hematology as well as creatinine, total protein, and albumin levels and
albumin/globulin ratio in blood chemistry profile. The changes may indicate the
incidence of anemia, liver disease, thrombocytopenia, dehydration, inflammatory
response and kidney disease, which may be associated with Klebsiella pneumoniae
infection.
2022-09-05
2022-09-05
2022-09-05
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114360
en
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1147422022-10-05T07:30:11Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1144932022-10-05T07:26:44Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1142532022-09-01T00:16:04Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Analisis Perilaku Makan Tarsius (Tarsius spectrumgurskyae) di Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM IPB
Utami, Dini Nur Cahyaning
Darusman, Huda Shalahudin
Dewi, Fitriya Nur Annisa
Tarsius spectrumgurskyae merupakan satwa endemik Indonesia yang rentan
terhadap ancaman kepunahan, sehingga diperlukan evaluasi perilaku makan di
penangkaran sebagai upaya pelestarian konservasi ex-situ. Penelitian ini bertujuan
menguraikan pola perilaku makan T. spectrumgurskyae di penangkaran Pusat Studi
Satwa Primata Institut Pertanian Bogor melalui pengamatan tidak langsung.
Penelitian dilakukan terhadap video hasil rekaman kamera closed circuit television
(CCTV) pada 3 ekor T. spectrumgurskyae dewasa dengan metode focal animal
sampling di kandang konservasi PSSP IPB. Hasil pengamatan menunjukkan
perilaku makan memiliki persentase rataan sebesar 2,62±0,46% dari keseluruhan
perilaku harian. Pola perilaku makan bervariasi, dimulai dari pergerakan mendekati
dan menjauhi pakan yang terdiri dari quadrupedal walking, climbing, dan jumping.
Tarsius menangkap mangsa dengan mulutnya. Posisi makan tarsius terdiri atas
posisi duduk, berdiri, dan vertical clinging. Cara tarsius memakan mangsa:
dipegang dengan 1 atau 2 kaki depan dan dikunyah tanpa dipegang. Lokasi makan
yang digunakan tarsius adalah ranting pohon, kotak pakan, tempat minum, sarang,
dan dinding kawat. Pola perilaku makan didominasi oleh pergerakan mendekati
pakan quadrupedal walking, posisi makan duduk, mangsa dipegang dengan 1 kaki
depan, dan berlokasi di ranting pohon. Frekuensi makan dan minum tarsius
mengalami peningkatan pada sore dan pagi hari, mengalami fluktuasi pada malam
hari, serta beristirahat pada siang hari.
Tarsius spectrumgurskyae is a vulnerable endemic species of Indonesia,
therefore it is necessary to evaluate its eating behavior in captivity. The aim of this
study was to describe the eating behavior pattern of T. spectrumgurskyae in
captivity at the Primate Research Center of IPB University. The study was
conducted by performing focal animal sampling on video recordings of 3 adult T.
spectrumgurskyae to collect behavior activity budgets. The results showed that
eating behavior had an average percentage of 2.62±0.46% from the total daily
behavior. The pattern of eating behavior includes the movement toward and away
from the feed, which consisted of quadrupedal walking, climbing, and jumping.
Tarsiers caught prey with their mouths, followed by an eating position consisted of
sitting, standing, and vertical clinging. The tarsiers were found to eat their prey by
exhibiting the following activities: grasping with 1 or 2 forelegs and chewing the
prey without being held. The eating locations were tree branches, feed boxes,
drinking containers, nests, and wire walls. The pattern of eating behavior was
dominated by the movement of approaching the feed by quadrupedal walking,
sitting position, holding prey with one front leg, and located on a tree branch. The
frequency of eating and drinking of tarsiers increased in the afternoon and morning,
fluctuated at night, and they rested during the day.
2022-09-01
2022-09-01
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114253
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126952022-07-21T00:02:32Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Analgesic effect of Moringa seed (Moringa oleifera) infusion on mice (Mus musculus)
Sugeng, Hana Shady Hidayah
Andriyanto
Priosoeryanto, Bambang Pontjo
Indonesia is a country full of diverse plants which many of them has been used for herbal or traditional medicine that is a safer and more affordable alternative medicine to replace chemical medicine. Moringa plant is one of the plants that contain many beneficial compounds that could be obtain in most of its part, one of them being the seed. This study aimed to observe the effectiveness of moringa seed infusion as an analgesic in various doses in mice. A total of 25 male mice were used, where each group consist of five mice. It was grouped into a control group, positive control group and a treatment group that was given moringa seed infusion at doses of 1, 3, and 5 g/kg BW (body weight). The analgesic test was carried out using the hot water tail immersion method. The data taken were the average increase in pain response and observation of physiological changes after administration of the infusion. The results showed that the effective dose in the analgesic test was 5 g/kg BW. In conclusion, moringa seed infusion has a potential as an analgesic at dose 5 g/kg BW.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan tumbuhan yang banyak diantaranya telah dimanfaatkan untuk pengobatan herbal atau tradisional yang merupakan obat alternatif yang lebih aman dan terjangkau untuk menggantikan obat kimia. Tanaman kelor merupakan salah satu tanaman yang banyak mengandung senyawa bermanfaat yang dapat diperoleh pada sebagian besar bagiannya, salah satunya adalah bijinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas infusa biji kelor sebagai analgesik dalam berbagai dosis pada mencit. Jumlah mencit jantan yang digunakan sebanyak 25 ekor, dimana setiap kelompok terdiri dari lima ekor mencit. Dikelompokkan menjadi kelompok kontrol, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan yang diberi infusa biji kelor dengan dosis 1, 3, dan 5 g/kg BB (bobot badan). Uji analgetik dilakukan dengan metode hot water tail immersion (perendaman ekor di air panas). Data yang diambil adalah rata-rata peningkatan respon nyeri dan observasi perubahan fisiologis setelah pemberian infus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis efektif pada uji analgesik adalah 5 g/kg BB. Kesimpulannya, infusa biji kelor berpotensi sebagai analgesik dengan dosis 5 g/kg BB.
2022-07-21
2022-07-21
2022-07-20
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112695
en_US
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1124962022-07-15T00:14:29Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Uji Toksisitas Akut Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Pada Mencit (Mus musculus).
Muhammad, Albarido
Andriyanto, Andriyanto
Setiadi, Dedi Rahmat
Kayu secang (Caesalpinia sappan L.) sering dikonsumsi karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Tujuan penelitian ini adalah menentukan toksisitas dari infusa kayu secang sehingga dapat dijadikan acuan untuk pengujian berikutnya. Penelitian ini menggunakan 20 ekor mencit betina yang dibagi menjadi empat kelompok; satu kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diberi akuades dan kelompok perlakuan diberi infusa kayu secang dengan dosis 5, 10, dan 15 g/kg BB. Pemberian infusa kayu secang dan akuades menggunakan sonde lambung dan diberikan dalam dosis tunggal. Pengamatan dilakukan selama 14 hari setelah perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya perubahan perilaku dan didapatkan nilai LD50 yaitu 16,6 g/kg BB. Perubahan bobot badan tampak berbeda nyata pada dosis 10 g/kg pada hari ke-7 dan 14. Rata-rata bobot organ absolut dan relatif tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05) dan tidak ditemukan kelainan secara makroskopis pada organ. Kesimpulan penelitian ini adalah kayu secang termasuk ke dalam kategori relatif tidak membahayakan dan aman untuk digunakan.
Sappanwood (Caesalpinia sappan L.) is often consumed because it is believed to be able to cure various types of diseases. Acute toxicity testing was carried out to assess the safety level of sappanwood. This study used 20 female mice which were divided into four groups; one control group and three treatment groups. The control group was fed with distilled water and the treatment groups were fed with sappanwood with 5, 10, and 15 g/kg body weight doses. Sappanwood and distilled water was administered using a gastric tube and given in a single dose. The observation started in 14 days after treatment. Based on research results, there is a change in behavior and the obtained LD50 value was 16,6 g/kg body weight. Changes in body weight were significantly different on 10 g/kg body weight doses. However, the absolute and relative organ weight was not significantly different at the 95% confidence level (p>0,05), and there was no abnormality found in macroscopic organs. It was conclude that sappanwood infusion categorized in relatively non dangerous or non toxic substance.
2022-07-15
2022-07-15
2022-07
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112496
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1153762022-11-28T23:32:40Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Studi Reliabilitas Kit Deteksi Amiloid Sebagai Penapisan Penyakit Alzheimer
Ningrum, Emilna Mega
Darusman, Huda Shalahudin
Retnani, Elok Budi
Penyakit Alzheimer adalah penyakit neurodegeneratif yang merusak otak
secara bertahap dan merupakan bagian dari demensia. Penyakit demensia
Alzheimer disebabkan oleh berbagai faktor sehingga sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti terapi yang tepat. Pembuatan kit sebagai alat diagnostik
untuk menunjang pengembangan penapisan terhadap penyakit Alzheimer
merupakan upaya strategis yang dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan kajian reliabilitas kit deteksi amiloid yang dikembangkan menjadi uji
alternatif penapisan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan kit komersial.
Penapisan berbasis pendeteksian dengan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) dapat bekerja secara efektif dan akurat dalam mengoptimalkan
bahan antibodi spesifik atau antibodi monoklonal terhadap peptida Aβ42.
Berdasarkan hasil dan interpretasi dari nilai batas deteksi, koefisien inter dan intra-
assay, kit ELISA yang dikembangkan secara in house memiliki kemampuan deteksi
Aβ42 yang menyamai Kit ELISA komersial yang telah tersedia (MyBioSource
MBS288507).
Kata kunci: Aβ42, ELISA, penapisan, penyakit Alzheimer, reliabilitas kit
Alzheimer’s Disease is a progressive neurodegenerative disease that
damages the brain and is part of dementia. Alzheimer’s dementia is caused by
various factors that until now the proper therapy is uncertain. Kit production as a
diagnostic tool to support the development of screening for Alzheimer’s disease is
a strategic effort. Screening based on detection with Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA) can work effectively and accurately to optimize a
specific antibody material or monoclonal antibody to the Aβ42 peptide. This study
aimed to research the reliability of the amyloid detection kit which was developed
as an alternative screening test for Alzheimer’s disease compared to commercially
available kits. Based on the results and interpretation of limits of detection, inter
and intra-assay coefficients, the in-house ELISA kit has comparable Aβ42 detection
to the commercially available ELISA kit (MyBioSource MBS288507).
Keywords: Aβ42, Alzheimer’s disease, ELISA, reliability kit, screening
2022-11-28
2022-11-28
2022-11-25
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115376
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1127762022-07-25T00:07:40Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Toksisitas Akut Lethal Dose 50 (LD50) Infusa Daun Pepaya California Jantan (Carica papaya L.) pada Mencit
Sari, Nurma
Andriyanto, Andriyanto
Safika, Safika
Pepaya (Carica papaya L) merupakan tanaman yang berpotensi untuk dijadikan sebagai obat beragam penyakit. Penelitian ini bertujuan mengetahui toksisitas ekstrak daun pepaya California jantan pada mencit betina menggunakan metode penentuan nilai lethal dose 50 (LD50), pengaruhnya pada organ tubuh mencit, dan konsentrasi ekstrak daun pepaya yang paling efektif. Penelitian ini menggunakan 20 mencit galur DDY yang terbagi ke dalam 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol (pemberian akuades) dan kelompok perlakuan yang diberikan infusa daun pepaya California jantan dengan dosis 5, 10, dan 15 g/kg BB secara per oral. Variabel yang diamati adalah mortalitas, gejala klinis, respons fisiologis, bobot badan, dan bobot relatif organ. Pengujian toksisitas akut LD50 menunjukkan bahwa infusa daun pepaya California jantan termasuk ke dalam sediaan yang bersifat praktis tidak toksik. Pemberian infusa daun pepaya California jantan sampai dengan dosis 15 g/kg BB tidak menyebabkan gejala toksisitas, seperti gejala klinis yang bersifat patologis, perubahan makroanatomi organ, maupun kematian. Selain itu, pemberian infusa juga memiliki efek terhadap peningkatan dan penurunan bobot badan, walaupun tidak signifikan. Infusa daun pepaya California jantan dengan dosis 10 g/kg BB terbukti paling efektif dalam meningkatkan pertambahan bobot badan secara normal dan tidak menimbulkan sifat toksik.
Papaya (Carica papaya L.) is a plant that has the potential to be used as a medicine. This study was conducted to determine the toxicity of male California papaya leaf extract in female mice using the lethal dose 50 (LD50) method, to observe its effect on organ shape, and to determine the most effective concentration. This study used 20 DDY mice which were divided into four groups; control (aquadest) and treatment groups with different infusion at dose 5, 10, and 15 g/kg BW orally. Variables observed were mortality, clinical symptoms, physiological response, body weight, and relative organ weights. Based on the LD50 acute toxicity test showed that the male California papaya leaf infusion was included in a practically non-toxic preparation. Administration of male California papaya leaves infusion up to a dose of 15 g/kg BW did not cause symptoms of toxicity, such as pathological clinical symptoms, abnormalities in organ macroanatomy, or death. In addition, infusion also has an effect on increasing and decreasing body weight, although it is not significant. Infusion of male California papaya leaves at a dose of 10 g/kg BW was proven to be the most effective in increasing normal body weight and did not cause toxic.
2022-07-25
2022-07-25
2022-07-22
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112776
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1126562022-07-20T00:33:31Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Kajian Kasus Abortus Pada Sapi Perah di KPSBU Lembang
Santi, Firstina Claudia
Prasetyaningtyas, Wahono Esthi
Rahmawan, Ali
Abortus merupakan penghentian masa kebuntingan yang mengakibatkan
fetus keluar sebelum waktu kelahiran. Abortus pada ternak sering terjadi sehingga dapat mengurangi angka kelahiran ternak potensial, penurunan populasi ternak produktif, serta kerugian dari segi ekonomi. Penyebab abortus pada sapi perah disebabkan oleh berbagai faktor, faktor infeksi salah satunya yaitu Brucellosis. Sebanyak 30 spesimen swab vagina dari KPSBU Lembang hasil surveilans Balai Veteriner Subang digunakan untuk penelitian ini. Isolasi bakteri dengan kultur di Brucella agar dan biphasic. Kemudian dilakukan uji biokimiawi untuk mendeteksi genus Brucella sp. Identifikasi spesies Brucella abortus dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer IS711 Brucella. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian abortus yang terjadi tidak disebabkan oleh Brucella abortus, hal ini menunjukkan bahwa abortus diduga disebabkan oleh faktor infeksi patogen seperti bakteri Brucella canis, Brucella melitensis, Campylobacter foetus, dan Chlamdydia abortus. Penyebab infeksi protozoa yaitu Neospora caninum dan faktor non infeksi disebabkan oleh pakan yang terkontaminasi.
Abortion is the termination of pregnancy that causes the fetus to come out
before birth. Abortion in livestock often reduces potential livestock birth rates, decreases productive livestock populations, and causes economic losses. Abortion in dairy cattle is caused by various factors, one of which is infection Brucellosis. A total of 30 vaginal swab specimens from KPSBU Lembang is the surveillance of Balai Veteriner Subang used for this study. Bacterial isolation in Brucella agar and biphasic. Then a biochemical test to detect the genus Brucella sp. The polymerase chain reaction (PCR) method identifies Brucella abortus with primer IS711 Brucella. The results showed that the incidence of abortion was not caused by Brucella abortus, this indicated that the abortion was thought to be caused by pathogenic infections such as bacteria Brucella canis, Brucella melitensis,Campylobacter foetus, and chlamdydia abortus. The cause of protozoan infection is Neospora caninum and non-infectious factors are caused by contaminated feed.
2022-07-20
2022-07-20
2022-07-19
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112656
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1158242023-01-07T01:55:59Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1142172022-08-30T13:41:16Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
analisis perilaku harian dan sosial kukang (nycticebus coucang) pada pusat studi satwa primata LPPM-IPB
Dewaruci, Rahmaulana Bayu
Darusman, Huda Shalahudin
Setijanto, Heru
Indonesia memiliki tiga jenis kukang, yaitu Nycticebus coucang yang tersebar di Sumatera dan Kepulauan Riau, Nycticebus menangesis yang tersebar diKalimantan, Bangka Belitung, dan Nycticebus javanicus (kukang jawa) yang hanyatersebar di pulau Jawa dan Panaitan. Kukang juga dikenal sebagai hewan yang hidup soliter di habitat aslinya. Perilaku sosial sangat jarang ditemukan pada pengamatan kukang di habitat aslinya. Status keberadaan kukang sekarang menjadi hewan yang dilindungi akibat banyaknya perburuan liar. Guna meningkatkanpopulasi kukang sudah banyak konservasi yang dibuat untuk melestarikan kukang.Salah satu faktor penentu keberhasilan suatu konservasi ex situ yaitu keadaan kandang satwa yang merupakan habitat buatan yang mewakili habitat alaminya dialam. Dalam pengelolaan kandang diperlukan pengayaan kandang sebagai suatu metode yang mempresentasikan habitat aslinya di alam. Kegiatan pengamatan perilaku sosial juga perlu diamati guna memperkirakan keberhasilan kegiatan mating dan memperbanyak populasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hewan soliter seperti kukang mengalami peningkatan aktivitas dan interaksi sosial pada Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB.
2022-08-30
2022-08-30
2022-08-30
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/114217
id
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1128572022-07-27T00:12:34Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Effect of Moringa Seed (Moringa oleifera) Infusion on Stamina Performance in Mice (Mus musculus)
Husna, Hanifati
Manalu, Wasmen
Mohamad, Kusdiantoro
Some individuals may have different levels of fatigue or stamina. Stamina is related to strength which is associated with the immune response. Moringa oleifera seed extract relieved fatigue because it contains high antioxidants and glucosinolate glucomoringin, which has been shown to reduce the increase of intracellular oxidative stress. This study aimed to observe the effectiveness of Moringa oleifera seed infusion as a stamina stimulator in mice. This experiment involved 25 male mice, divided into five groups (5 mice in each group), consisting of M. oleifera seed infusion at doses of 0, 1, 3, 5 g/kg BW as negative control and treatment groups, and caffeine at a dose of 6.5 mg/kg BW as positive control group. The stamina effectiveness was evaluated using a swimming endurance test which measured swimming duration and physiological parameters every 15 minutes for 2 hours after administration. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and then continued with Tukey’s test. The result showed that M. oleifera seed infusion at dose 3 g/kg BW was the shortest swimming duration difference (Δ) value, with no difference compared to 5 g/kg BW and caffeine groups but significantly different compared to 0 and 1 g/kg BW groups. M. oleifera seed infusion at dose 3 g/kg BW also showed a lower delta (decrease) ratio value on temperature and heart rate after the endurance test, compared to the negative control. There was no difference in respiration rate delta ratio of all groups. In conclusion, M. oleifera seed infusion potentially maintains stamina performance in mice at a dose of 3 g/kg BW.
Setiap individu memiliki level kelelahan atau stamina yang berbeda-beda. Stamina berhubungan dengan kekuatan dan secara tidak langsung memengaruhi respon imunitas. Ekstrak biji kelor (Moringa oleifera) mentah telah dilaporkan dapat mengurangi kelelahan karena mengandung antioksidan yang tinggi dan glukosinolat glukomoringin yang mampu stress oksidatif intraselular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas infusa biji kelor sebagai obat anti lelah atau penambah stamina pada mencit. Sebanyak 25 ekor mencit jantan dibagi menjadi 5 kelompok (5 ekor mencit per kelompok), yaitu infusa biji M. oleifera dengan dosis 0, 1, 3, 5 g/kg BB masing-masing sebagai kelompok kontrol negatif dan perlakuan, dan kafein dosis 13 mg/kg BB sebagai kelompok kontrol positif. Efektivitas infusa sebagai stimulator stamina diuji menggunakan uji ketahanan berenang dan pengukuran dilakukan setiap 15 menit selama 2 jam setelah pemberian infusa terhadap lama waktu berenang, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung, dan frekuensi
nafas. Analisis data menggunakan analisis ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusa biji M. oleifera dosis 3 g/kg BW memiliki nilai penurunan durasi berenang yang paling kecil dibandingkan dengan kelompok dosis 0 dan 1 g/kg BB, tetapi tidak berbeda dengan kelompok dosis 5 g/kg BB dan kelompok kafein. Pemberian infusa 3 g/kg BW juga menunjukkan nilai delta (penurunan) rasio suhu tubuh dan denyut jantung yang lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol negatif. Tidak terdapat perbedaan nilai delta respirasi pada semua kelompok. Simpulan yang didapatkan adalah infusa biji M. oleifera berpotensi mempertahankan performa stamina mencit pada dosis 3 g/kg BB.
2022-07-27
2022-07-27
2022-07-26
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/112857
en_US
IPB University
oai:repository.ipb.ac.id:123456789/1153022022-11-21T03:42:59Zcom_123456789_7465com_123456789_25com_123456789_9col_123456789_117
Potensi Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai Stimulator Stamina Tubuh pada Mencit (Mus musculus)
Epiyanti, Rere
Rahminiwati, Min
Pristihadi, Diah Nugrahani
Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat herbal telah dilakukan turun-temurun untuk menyembuhkan penyakit ataupun menjaga kebugaran tubuh. Salah satu pemanfaatan tumbuhan sebagai obat herbal adalah obat stimulator stamina. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas infusa kayu secang sebagai stimulator stamina dan pengaruhnya terhadap fisiologis tubuh. Uji stimulator stamina infusa kayu secang dilakukan pada 20 ekor mencit jantan dengan menggunakan metode swimming endurance. Mencit dikelompokkan menjadi lima kelompok perlakuan yakni satu kelompok kontrol negatif (perlakuan akuades), satu kelompok kontrol positif (perlakuan kafein 6,5 mg/kg BB), dan tiga kelompok perlakuan yang diberi infusa kayu secang dengan dosis masing-masing 1, 3, dan 5 g/kg BB. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistik t - Student dan uji non-parametrik Kruskal-wallis yang dilanjutkan dengan uji Dunn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infusa kayu secang efektif meningkatkan stamina pada dosis 1 g/kg BB dengan total kemampuan berenang sebesar 732 detik. Efek peningkatan stamina ini terbedakan secara signifikan pada menit ke-30 waktu pengamatan. Ketiga dosis infusa kayu secang meningkatkan ketahanan berenang mencit yang setara dengan mencit kontrol positif dan lebih tinggi secara nyata dari mencit kontrol negatif. Infusa kayu secang juga ditemukan tidak mempengaruhi fisiologis tubuh mencit secara signifikan yang ditunjukkan dengan suhu tubuh, frekuensi napas, dan frekuensi denyut jantung dalam rentang normal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kayu secang memiliki efek stimulator stamina pada mencit terutama pada dosis 1 g/kg BB. Kata kunci: fisiologi, infusa, kayu secang, stamina
The use of plants as an herbal medicine to cure disease or maintain body fitness has been carried out for generations. One of the uses of plants as herbal medicine is stamina stimulator. This study aimed to examine the potential of herbal medicine from sappan wood infusion as a stamina stimulator and its effect on body physiology. The stamina test was carried out on 20 male mice using the swimming endurance method. The mice were divided into 5 grouped, namely one group of a negative control group (aquadest treatment), one group of a positive control group (caffeine 6,5 mg/kg BW treatment), and three treatment groups that were given sappan wood infusion at a dose of 1, 3, or 5 g/kg BW respectively. The data were analyzed by using the t-Student test and Kruskal-Wallis continued with Dunn's test. The results showed that the sappan wood infusion effectively increased the stamina at a dose of 1 g/kg BW with a total swimming endurance of 732 seconds. This effect was significantly different at the 30th -minute observation. The three doses of sappan wood infusion increased the mice’s ability to swim which was equal to positive control mice and significantly higher than negative control mice. The secang wood infusion also did not affect the mice’s physiology as indicated by body temperature, respiratory rate, and heart rate in the normal range. Therefore, it was concluded that sappan wood infusion has a stamina stimulator effect in mice, especially at a dose of 1 g/kg BW. Keywords: infusion, physiology, sappan wood, stamina
2022-11-21
2022-11-21
2022
Undergraduate Thesis
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/115302
id
IPB University