Status Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla Serrata - Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat
View/ Open
Date
2017Author
Kumalah, Ayu Annisa
Wardiatno, Yusli
Setyobudiandi, Isdradjad
Fahrudin, Achmad
Metadata
Show full item recordAbstract
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu potensi komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yang secara khas berasosiasi dengan ekosistem mangrove yang masih baik, sehingga terdegradasinya habitat akan memberikan dampak terhadap keberadaan populasi kepiting bakau. Kabupaten Subang memiliki luas hutan mangrove sebesar 9 013.78 ha yang tersebar di sepanjang pesisir pantai dan daerah aliran sungai. Sebagian besar masyarakat pesisir Kabupaten Subang telah memanfaatkan kawasan perairannya untuk pengembangan perikanan, diantaranya telah diusahakan sebagai tambak tumpang sari (silvofishery). Kawasan tersebut memiliki potensi dan peranan penting sebagai penyangga kehidupan khususnya bagi masyarakat nelayan skala kecil (small-scale fisheries). Menurut nelayan setempat, wilayah pesisir Kabupaten Subang sering mengalami abrasi pantai dan mengalami penurunan produksi kepiting bakau dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sehingga, perlu diketahui status keberlanjutan perikanan S. serrata di Kabupaten Subang. Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji status biologi populasi kepiting bakau di Kabupaten Subang yang meliputi struktur ukuran, parameter pertumbuhan, laju mortalitas serta tingkat kematangan gonad; (2) mengidentifikasi kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian; (3) mengestimasi pendapatan dan nilai kelayakan usaha penangkapan kepiting bakau dan (4) megkaji status keberlanjutan pengelolaan perikanan kepiting bakau di Kabupaten Subang.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mayangan, Tanjung Tiga dan Blanakan Kabupaten Subang selama empat bulan yaitu pada bulan Maret – Juni 2016. Pengambilan data ekologi dilakukan di 7 substasiun pengamatan yang terletak di areal muara sungai dan areal silvofishery dengan menggunakan metode transek kuadrat. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan alat bantu kuisioner. Data biologi S. serrata dianalisis dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II, serta status keberlanjutan pengelolaan S. serrata dianalisis dengan bantuan program RAPFISH.
Hasil analisis strukutur ukuran menunjukkan lebar karapas S. serrata yang tertangkap di lokasi penelitian (muara sungai dan areal silvofishery) berkisar antara 56 – 125 mm (jantan) dan 62 – 115 mm (betina) dengan bobot terbesar kepiting jantan 338 g dan betina 176 g. Hasil analisis hubungan lebar karapas (CW) dan bobot tubuh menunjukkan pola pertumbuhan S. serrata jantan bersifat alometrik positif, sedangkan betina bersifat alometrik negatif. Lebar karapas asimtotik (CW∞) yang dapat dicapai kepiting jantan lebih besar dari kepiting betina yaitu 170.85 mm (jantan), 166 mm (betina) di areal muara sungai dan 143 mm (jantan), 122.65 mm (betina) di areal silvofishery. Koefisien pertumbuhan (K) kepiting bakau jantan lebih kecil dari kepiting betina dengan masing-masing 0.11/th dan 0.24/th di areal muara sungai serta 0,19/th dan 0.5/th di areal silvofishery. Laju mortalitas total (Z) S. serrata jantan yaitu 0.53 dan 0.90 lebih rendah dari betina yaitu 0.73 dan 1.18. Laju mortalitas alami (M) kepiting jantan
(0.25 dan 0.15) lebih kecil dari laju penangkapan (F) (0.27 dan 0.75), yang berarti kematian total kepiting jantan lebih banyak disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Sedangkan nilai M S. serrata betina (0.45 dan 0.79) lebih dari sebagian nilai Z, yang berarti mortalitas S. serrata betina lebih banyak disebabkan oleh mortalitas alami (M). Laju ekspoiltasi (E) S. serrata jantan di lokasi penelitian mencapai 51% (muara sungai) dan 55% (areal silvofishery), ini mengindikasikan telah terjadi lebih tangkap atau over eksploitasi dimana nilai E>50%. Sedangkan laju eksploitasi betina masing-masing sebesar 40%, dan 33% yang berarti masih di bawah laju eksploitasi optimal yang diperbolehkan. Hubungan jumlah individu S. serrata dengan kerapatan vegetasi mangrove memiliki hubungan yang cukup kuat yaitu r = 0.96 (muara sungai) dan 0.99 (areal silvofishery) dengan nilai signifikan p<0,05. Pendapatan bersih nelayan kepiting bakau rata-rata sebesar Rp 1 524 500/bulan, pendapatan terkecil Rp 880 000/bulan, sedangkan pendapatan tertinggi Rp 2 530 000/bulan. Tingkat pendapatan nelayan kepiting bakau sebagian besar dibawah upah minimum kabupaten (UMK) Subang sebesar Rp 2 149 720/bulan. Usaha penangkapan kepiting bakau di Teluk Bintan memiliki rasio (R/C) rata-rata 4.60. Hasil analisis RAPFISH diperoleh indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 34.44% (kurang berkelanjutan), dimensi ekonomi 51.46% (cukup berkelanjutan), dimensi sosial 52.02% (cukup berkelanjutan), dimensi teknologi 38.85% (kurang berkelanjutan), dan dimensi kelembagaan sebesar 44.32% (kurang berkelanjutan). Secara keseluruhan, dari lima dimensi yang dikaji, didapatkan indeks keberlanjutan pengelolaan S. serrata di Kabupaten Subang sebesar 44.68% (kurang berkelanjutan).
Collections
- MT - Fisheries [2934]