Show simple item record

dc.contributor.advisorSoetarto, Endriatmo
dc.contributor.advisorPandjaitan., Nurmala K. Pandjaitan.
dc.contributor.authorFahrunnisa
dc.date.accessioned2017-01-30T07:27:23Z
dc.date.available2017-01-30T07:27:23Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82699
dc.description.abstractRezim Orde Baru telah meletakkan dasar pembangunan ekonomi Indonesia berbasis pada ekstraksi sumber daya alam. Untuk mendukung kebijakan tersebut maka dicetuskannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) No.1 yang didukung oleh Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1978. Atas dasar ini negara menetapkan hubungan melalui Kontrak Karya dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) tahun 1986. PT.NNT adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas dan tembaga dan mendapatkan area konsesi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa seluas 1.127.134 ha. Beroperasinya PT.NNT di Sumbawa khsusnya di Blok Elang Dodo telah menyulitkan masyarakat secara ekonomi, sosial maupun budaya. Area konsesi perusahaan juga masuk kedalam wilayah adat masyarakat. Kondisi ini kemudian menyebabkan ketegangan hubungan dan saling klaim antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah daerah. Disisi lain masyarakat juga bertentangan dengan masyarakat yang setuju dengan keberadaan perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis latar historis dan klaim antar pihak, memuncaknya ketegangan hubungan multi pihak di Hutan Dodo serta implikasinya. Penelitian dilakukan dari Maret sampai Agustus 2015 yang berlokasi di Desa Lebangkar dan Desa Lawin Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa, NTB. Penelitian juga dilakukan diberbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kabupaten Sumbawa yang meliputi Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertambangan, Badan Pertanahan Nasional, serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Sumbawa. Metode pengumpulan data dan analisa data dilakukan secara kualitatif yang berlandas pada paradigma konstruktivis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertentangan telah mengakar sejak tahun 1933 saat masyarakat adat dipindahkan oleh pemerintah ke luar Hutan Dodo. Ketegangan hubungan berlanjut ketika pemerintah menjalin kontrak karya dengan perusahaan dalam hal konsesi pertambangan di Hutan Dodo. Dengan otoritas yang dimilikinya, perusahaan membatasi akses masyarakat ke Hutan Dodo karena dianggap mengganggu aktivitas perusahaan. Disisi lain, keberadaan perusahaan dianggap masuk ke wilayah adat masyarakat tanpa ijin serta menggangu aktivitas ekonomi, sosial-budaya sehingga menyulitkan masyarakat. Atas dasar ini, terjadilah pertentangan antara masyarakat Lebangkar dan Lawin dengan perusahaan. Ketegangan hubungan antara ketiga pihak ini terus berlanjut. Bahkan, sejak tahun 2000 masing-masing pihak berupaya membangung power baik melalui mekanisme berbasis hak maupun berbasis relasional dan struktural. Pihak-pihak lain yang turut berkepentingan dalam proses ini diantaranya masyarakat se-Kecamatan Ropang dan Kecamatan Lantung. Ketegangan selanjutnya mencapai fase krisis pada tahun 2006 ditandai pembakaran camp milik perusahaan di Hutan Dodo oleh masyarakat yang berasal dari Kecamatan Ropang. Hal ini menuai kecaman dari Kecamatan Lantung yang setuju dengan keberadaan perusahaan. Pasca pembakaran camp, aksi kolektif masyarakat sempat terhenti, namun tahun 2008 konfrontasi kembali terlihat sampai dengan awal 2011, dengan kehadiran Masyarakat Adat Cek Bocek dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menuntut diakui sebagai masyarakat hukum adat. Tahun 2011 konfrontasi yang menguat dan sampai pada fase krisis tepat pada saat kegiatan eksplorasi tahap II berlangsung. Masyarakat Cek Bocek melakukan pembubaran aktivitas perusahaan, yang kemudian masyarakat justru mendapat intimidasi dari perusahaan dan aparat keamanan yang ada. Aksi ini berujung pada saling lapor ke Kepolisian. Terjadinya krisis juga karena dilantiknya Sultan Sumbawa beserta Lembaga Adat Tanah Sawamwa (LATS) dan keberadaannya diakui oleh pemerintah daerah sumbawa. Sejak 2012 sampai saat ini, adalah fase-fase konfrontasi, semua pihak yang berkepentingan terus menerus membangun power agar mendapatkan otoritas di Hutan Dodo. Berlangsungnya ketegangan hubungan ini telah menyebabkan distribusi otoritas dan struktur yang lebih longgar. Dalam artian apa yang menjadi harapan masyarakat mulai di akomodir baik oleh perusahan maupun pemerintah. Tetapi, disisi lain muncul rasa tidak suka, kecemburuan sosial, sentimen dari masyarakat yang mendukung perusahaan ataupun yang mengagap dirinya masyarakat Sumbawa asli karena Cek Bocek dianggap hanya mencari keuntungan dan keberadaannya dianggap menggangu investasi sehingga perekrutan tenaga kerja menjadi tertunda. Bila disimak lebih jauh, argumen ketidaksukaan lebih bersifat struktural tekait tenaga kerja, ketimpangan ekonomi maupun pembangunan yang ada di Sumbawa. Dapat dikatakan bahwa konflik horizontal yang menguat bukan karena perbedaan identitas atau terkait etnis namun lebih pada materialisme. Seperti yang dinyatakan Malasevic bahwa konflik etnis pada dasarnya adalah konflik kelas yang tersembunyi, sehingga pertentangan antar sesama masyarakat di Sumbawa disebabkan ketimpangan struktur. Namun hal ini perlu diseikapi dengan tegas, karena pada titik tertentu dapat meluas yang berujung pada konflik berdarah-darah karena terkadang melibatkan emosi, sentimen dari masing-masing kelompok masyarakat.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcSociologyid
dc.subject.ddcAgrarian Societiesid
dc.subject.ddc2014id
dc.subject.ddcSumbawa-NTBid
dc.titleEskalasi Ketegangan Hubungan Multi Pihak Dan Implikasi Dari Perebutan Sumber Agraria Di Kabupaten Sumbawa, Ntbid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordHutan Dodoid
dc.subject.keywordHutan Sumbawaid
dc.subject.keywordKonflik Agrariaid
dc.subject.keywordKontestasi Aksesid
dc.subject.keywordMasyarakat Adatid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record