Formalisasi Semu: Bentuk Hubungan Kerja Kerumahtanggaan di Yogyakarta.
Date
2017Author
Muryanti
Wahyuni, Ekawati Sri
Kinseng, Rilus A.
Hubeis, Aida Vitayala S.
Metadata
Show full item recordAbstract
Fenomena hubungan kerja antara majikan dan Pembantu Rumah Tangga (PRT) sudah berlangsung sangat lama semenjak lahirnya keluarga yang membagi pekerjaan domestik dan publik. Pada masyarakat Yogyakarta terdapat tradisi ngenger sebagai awal mula hubungan kerja kerumahtanggaan yang dilandasi hubungan spiritual, emosional dan pengabdian. Pada perkembangannya tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap jasa pekerja rumah tangga, hubungan kerja kerumahtanggaan yang bersifat pengabdian berubah pada hubungan kerja yang berorientasi keuntungan. Hubungan kerja informal (kekeluargaan) menggeser tradisi ngenger. Hubungan kerja bersifat informal (kekeluargaan) yang memperhitungkan untung rugi banyak diterapkan oleh pengguna jasa dan pekerja rumah tangga karena adanya ikatan emosional serta fasilitas yang diterima oleh pekerja rumah tangga dari pengguna jasa. Situasinya berubah dengan dilakukannya ratifikasi Konvensi ILO 189 tahun 2011, yaitu munculnya beberapa peraturan tentang pekerja rumah tangga. Implikasinya hubungan kerja informal (kekeluargaan) berubah menjadi hubungan kerja yang bersifat formal, yang ditandai dengan adanya kontrak kerja, kejelasan beban kerja pekerjaan kerumahtanggaan dan kejelasan upah.
Secara umum penelitian ini menganalisis: (1) Pola-pola relasi hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga. Bagaimana bentuk, karakteristik dan praktik relasi tersebut dalam keluarga yang menggunakan pekerja rumah tangga. (2) Perubahan-perubahan pola relasi antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga dengan adanya peraturan tentang pekerja rumah tangga dan (3) Dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga. Apakah hubungan kerja yang bersifat formal tersebut benar-benar diterapkan dalam hubungan kerja kerumahtanggaan ataukah pengguna jasa menerapkan pola hubungan kerja informal (kekeluargaan) dan formal sekaligus. Bagaimanakah dilema yang dialami oleh pengguna jasa dan pekerja rumah tangga dalam hubungan kerja kerumahtanggaan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara garis besar, pola hubungan kerja kerumahtanggaan antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga terbagi menjadi dua, yakni: (1) hubungan kerja yang bersifat informal (kekeluargaan) dan (2) hubungan kerja yang bersifat formal. Karakter hubungan kerja kekeluargaan adalah sebagai berikut: tidak ada kontrak kerja, tidak ada jam kerja, beban kerja tidak jelas, rekruitmen dari mulut ke mulut, adanya ikatan emosional antara pengguna jasa dan pekerja rumah tangga, mendapatkan berbagai macam fasilitas (hutang, pinjaman atau hibah), pekerja rumah tangga menjadi bagian dari keluarga yang terjadi pada kasus pekerja rumah tangga yang tinggal di rumah pengguna jasa. Karakter hubungan kerja formal adalah sebagai berikut: memiliki kontrak kerja, jam kerja jelas, beban kerja jelas, pola rekruitmen melalui yayasan profesional, tidak mendapatkan berbagai macam fasilitas, pekerja rumah tangga merupakan pekerja yang bekerja sebagai pramurukti dan baby sitter. Hubungan kekeluargaan dilandasi relasi patron-klien, sedangkan hubungan kerja formal
meniadakan relasi patron-klien sehingga hubungan bersifat formal. Responden penelitian lebih menyukai hubungan kekeluargaan dibandingkan hubungan formal. Hal ini menunjukan masih menguatnya relasi patron klien dibandingkan relasi formal.
Formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan, yang berupaya mengubah hubungan kerja yang bersifat informal (kekeluargaan) menjadi hubungan kerja yang bersifat formal ditandai dengan adanya peraturan tentang pekerja rumah tangga. Peraturan yang mengatur hubungan kerja kerumahtanggaan tersebut mengubah: (1) definisi pekerja rumah tangga, dari istilah pembantu rumah tangga (PRT) berubah menjadi pekerja rumah tangga (PkRT). Perbedaan definisi PkRT saat ini dibandingkan dengan sebelumnya, terkait adanya pembagian kerja domestik (kerumahtanggaan, pramurukti dan baby sitter), pekerja rumah tangga terbagi menjadi dua: PRT informal (kekeluargaan), selanjutnya disebut Pembantu Rumah Tangga/PRT) dan pekerja rumah tangga formal (selanjutnya disebut Pekerja Rumah Tangga/PkRT) yang bekerja sebagai pramurukti dan baby sitter. (2) Perubahan ragam pola-pola hubungan kerja yang terbentuk: (1) relasi kekeluargaan dengan waktu kerja penuh waktu yang variasi jumlah PkRT yang bekerja: (i) pengguna jasa dengan satu PkRT, pengguna jasa dengan 2-3 PkRT dan pengguna jasa dengan lebih dari 3 PkRT; (ii) relasi kekeluargaan dengan waktu kerja pocokan yang bervariasi waktunya, yaitu: 2-3 jam, 3-5 jam dan 5-8 jam dan (iii) relasi kekeluargaan dengan PkRT sendiri (belum berkeluarga) dan PkRT beserta keluarganya. (2) Relasi formal sama dengan pekerjaan formal dengan jumlah jam kerja selama 7 jam. Meskipun demikian, stereotipi pekerja rumah tangga di kalangan pengguna jasa dan pekerja rumah tangga sendiri hingga saat ini masih rendah. Stereotipi tersebut ditandai dengan berbagai macam penyebutan yang masih mengarah pada pembantu, berasal dari kelas bawah dengan akses yang minim, tidak memiliki keterampilan, rentan sebagai komoditas dan memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi kepada pengguna jasa.
Formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan tidak serta merta dapat mengubah pengguna jasa dan pekerja rumah tangga menerapkan relasi formal tersebut. Pada praktiknya, pengguna jasa yang menerapkan hubungan kerja formal (menggunakan jasa pramurukti dan baby sitter) juga menerapkan hubungan kerja informal (kekeluargaan). Bentuknya, pada saat memulai hubungan kerja formal dengan menggunakan kontrak kerja dan adanya kejelasan pengupahan. Sisi lain, pengguna jasa memberikan fasilitas (asuransi sosial) kepada pekerja rumah tangga pada saat ada kebutuhan ekonomi sebagai bentuk hubungan kerja kekeluargaan. Pada situasi ini, muncul dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan.
Dilema formalisasi hubungan kerja kerumahtanggaan disebabkan oleh: (1) sebutan pembantu untuk pekerja rumah tangga; (2) tidak adanya jenis dan klasifikasi pekerjaan kerumahtanggaan; (3) tidak adanya standard pengupahan; (4) Perjanjian kerja dan sifat hubungan kerja antara tertulis atau lisan; (5) tidak adanya pendidikan dan keterampilan pekerjaan kerumahtanggaan; dan (6) pekerjaan kerumahtanggaan merupakan pekerjaan di sektor informal.
Collections
- DT - Human Ecology [537]