UT - Veterinary Clinic Reproduction and Pathologyhttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/1152024-03-29T09:00:54Z2024-03-29T09:00:54ZPerubahan patologis organ paru-paru, hati dan usus pada ayam buras yang kecacingan dan diinfeksi Pasteurella multocidaFajariahhttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/1441682024-03-28T04:47:23Z2002-01-01T00:00:00ZPerubahan patologis organ paru-paru, hati dan usus pada ayam buras yang kecacingan dan diinfeksi Pasteurella multocida
Fajariah
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran perubahan makroskopis organ paru-paru, hati dan usus serta perubahan mikroskopis organ paru-paru dan usus ayam buras yang kecacingan atau diinfeksi Pasteurella multocida, atau campuran keduanya....
2002-01-01T00:00:00ZDampak negatif Hypocalcemia terhadap sapi perah dan upaya penanggulangannya : Suatu studi kasus di kawasan usaha peternakan (kunak) sapi perah Cibungbulang BogorAgustin, Irlia Nurhttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/1441372024-03-28T04:01:10Z2002-01-01T00:00:00ZDampak negatif Hypocalcemia terhadap sapi perah dan upaya penanggulangannya : Suatu studi kasus di kawasan usaha peternakan (kunak) sapi perah Cibungbulang Bogor
Agustin, Irlia Nur
Hypocalcemia merupakan penyakit metabolisme yang terjadi sebelum, pada saat atau setelah melahirkan. Kejadian ini ditandai dengan rendahnya kadar calcium dalam darah akibat peningkatan kebutuhan calcium untuk memproduksi susu terutama kolostrum. Faktor umur, stress pada saat melahirkan, penurunan nafsu makan serta susunan ransum yang tidak tepat pada saat kering kandang dapat menyebabkan terjadinya hypocalcemia.
Sapi perah yang mengalami hypocalcemia menunjukkan kelemahan otot kaki, sehingga berdiri tidak stabil, jatuh, berbaring lemas dan susah untuk bangun. Sapi dapat mengalami patah tulang pada saat jatuh dan bila terlalu lama berada dalam posisi berbaring dapat menyebabkan nekrosa otot kaki. Bila tidak segera ditangani akan terjadi tympani dan pneumoni yang dapat berakhir dengan kematian. Pengobatan akan berhasil bila dilakukan secara cepat dan tepat begitu terlihat gejala awal. Pemberian ransum rendah calcium pada saat kering kandang yang disertai dengan pemberian vitamin D efektif dalam pencegahan hypocalcemia.
Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 49 ternak sampel pernah mengalami hypocalcemia. Kejadian yang paling sering pada usia laktasi ketiga (44,9%) dan waktu kejadian yang paling sering setelah melahirkan (77,5%). Kejadian ini dapat disertai dengan perlukaan (59,2%), patah tulang (10,2%), kembung (24,5%) dan kembung yang disertai dengan sesak napas (18,4%). Bila terjadi sebelum melahirkan ataupun saat melahirkan, dapat menyebabkan distokia (54,5%), retensio secundinae (27,3%) sedangkan anak yang dilahirkan dapat mengalami kematian (18,2%). Umumnya ternak yang tidak sembuh pada pengobatan pertama diafkir oleh pemiliknya (53,1%). Pengobatan kasus di lapangan dilakukan dengan pemberian preparat calcium yang diinjeksi secara intravena, sedangkan untuk pencegahan calcium diberi secara subkutan sebelum melahirkan. Upaya pencegahan lain adalahdengan perubahan susunan ransum saat kering kandang dan pemberian vitamin D.
Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui kondisi di lapangan mengenai kejadian hypocalcemia, dampak negatif yang ditimbulkan serta upaya penanggulangannya di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan secara primer melalui wawancara dengan peternak untuk pengisian kuisioner sebanyak 100 responden yang dipilih secara acak serta wawancara dengan paramedis. Sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan mengenai kejadian hypocalcemia yang terdapat di KPS Bogor…
2002-01-01T00:00:00ZRespon biologis ulat sutera instar IV terhadap iradiasi sinar gamma (137Cs)Marwanhttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/1440942024-03-28T03:10:20Z2002-01-01T00:00:00ZRespon biologis ulat sutera instar IV terhadap iradiasi sinar gamma (137Cs)
Marwan
Radiasi dalam sistim biologis laksana sebuah pisau bermata dua. la merupakan alat yang sangat berguna dan bermanfaat tetapi juga merupakan musuh yang sangat perkasa (Djojosoebagio, 1988). Penggunaan radiasi sudah sangat luas digunakan baik untuk kepentingan damai maupun untuk kepentingan militer. Dibidang pertanian radiasi banyak digunakan untuk peningkatan mutu genetik tanaman, sterilisasi serangga, dibidang kedokteran dipakai untuk sterilisas alat bedah, pembuatan radiovaksin, radiotherafi dll. Radiasi juga banyak digunakan untuk penelitian-penelitian.
Penggunaan radiasi yang tidak tepat, pembuangan limbah radionuklida kelingkungan terbuka ataupun terjadi kebocoran instalasi nuklir bisa memberi efek negatif bagi kelangsungan hidup manusia dan lingkungan. Karena sinar radioaktif tidak bisa dideteksi dengan pancaindra dan pengaruhnya baru bisa diketahui setelah terjadi kerusakan pada lingkungan sehingga perlu dibuat suatu bioindikator. Ulat sutera (Bombyx mori L.) selain sebagai serangga yang bermanfaat dalam kegiatan agroindustri yang menghasilkan serat sutera alam (Samsijah dan Andadari, 1992) yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi juga bisa dijadikan sebagai hewan percobaan. Ulat sutera (Bombyx mori L.) memiliki beberapa syarat utama sebagai hewan coba, sehingga serangga ini berpeluang dijadikan sebagai hewan coba untuk penelitian bioindikator spesies uji.
Penelitian ini terdiri dari 5 dosis perlakuan yaitu: 0 Gy, 50 Gy, 100 Gy, 150 Gy dan 200 Gy pada 200 larva ulat sutera. Setiap dosis perlakuan terdiri dari 20 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu larva ulat sutera. Parameter yang diteliti adalah pertambahan bobot badan larva instar IV dan V, bobot pupa, lama instar IV dan V, kualitas kulit kokon dan survival (kemampuan bertahan hidup).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma dosis akut pada larva awal instar IV memperlihatkan pengaruh nyata terhadap bobot badan basah instar IV yaitu terjadi penurunan sebesar 39,14% (D100), bobot kulit kokon terjadi penurunan sebesar 39,35 % (D200). Bobot pupa terjadi penurunan sebesar 26,26% (D200). Larva yang diradiasi dengan dosis 50 Gy dapat bertahan hidup 85% sampai akhir instar V (hari ke 14), sedangkan D200 hanya 50%. Pada tahap pupa yang mampu bertahan hidup sampai hari ke tujuh setelah mengokon (84.61%) dan pada D200 tidak satu pupapun yang bertahan hidup sampai hari ketujuh setelah mengokon (mortalitas 100%). Namun bobot badan instar V, lama instar dan persentase kokon tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (P>0,05)…
2002-01-01T00:00:00ZPenyakit-penyakit penting pada sapi-kerbau dan penangannya di rumah potong hewan cakung DKI JakartaLubis, Rosmawatyhttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/1440712024-03-28T02:46:36Z1985-01-01T00:00:00ZPenyakit-penyakit penting pada sapi-kerbau dan penangannya di rumah potong hewan cakung DKI Jakarta
Lubis, Rosmawaty
Rumah Potong Hewan Cakung Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebagaimana juga RPH lainnya, sebagai unit pelayanan masyarakat merupakan sumber daging sehat bagi konsumen, sumber data atau informasi penyakit, tempat pengendalian pemotongan hewan besar bertanduk yang betina, disamping juga sebagai sumber pendapatan daerah.
Survey ini bertujuan untuk mengetahui kondisi RPH Cakung secara umum, mempelajari penyakit-penyakit yang sering ditemukan dan frekuensi kejadiannya pada sapi-kerbau di RPH, perlakuan terhadap karkas yang menyimpang, perkiraan kerugian ekonominya, serta untuk memperoleh gambaran situasi penyakit-penyakit pada sapi-kerbau di daerah asal ternak.
Secara umum ditinjau dari segi sarana dan fasilitas yang dimiliki, RPH Cakung termasuk RPH yang baik dan modern, dimana sejak tanggal 23 Juni 1983 mulai resmi beroperasi sebagai pusat pemotongan hewan sapi dan kerbau di DKI Jakarta. Ternak yang dipotong berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan propinsi lainnya. Pada waktu mulai beroperasi, jumlah pemotongan masih sedikit karena banyak pemilik yang tidak mau memotongkan ternaknya di RPH Cakung, melainkan memotongnya di luar RPH. Setelah beberapa waktu kemudian, baru pemotongan dapat berjalan lancar. Biasanya pemotong- an akan meningkat menjelang lebaran, mencapai 2000 ekor per hari. Tetapi pada saat diberlakukannya perubahan jam pemotongan menjadi siang hari untuk pelayuan daging, ter- jadi lagi penurunan jumlah pemotongan di RPH, yang mempu- nyai dampak meningkatnya pemotongan gelap di DKI Jakarta.
Rata-rata hewan yang dipotong berjumlah 400 ekor per hari. Manajemen untuk menghasilkan daging yang sehat dan utuh sudah diterapkan, walaupun dalam pelaksanaannya ma- sih perlu ditingkatkan lagi, terutama kecermatan serta ketelitian di dalam pemeriksaan ante dan post mortem, se- suai dengan peraturan perundangan yang berlaku…dst
1985-01-01T00:00:00Z